Hal yang mengganjal dari membaca kumpulan cerpen yang
ditulis oleh banyak orang adalah perpindahan gaya.
Seperti yang saya alami saat membaca buku cerpen pilihan Kompas 2003, Waktu Nayla. Setelah membaca “Malaikat Kecil” karya Indra Tranggono, saya butuh sedikit penyesuaian ketika langsung membaca cerpen selanjutnya, “Gus Jakfar” karya A. Mustofa Bisri. Cara meminimalisir jet lag membaca di buku seperti ini adalah memberi jeda bagi otak kita sebelum membuka lembar cerpen selanjutnya.
Dari 18 cerpen yang ada di buku ini, ada beberapa cerpen yang sudah saya baca di kumcer yang lain. “Waktu Nayla”, “Legenda Wongasu”, dan “Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan!” Tapi tentu interpretasi saya terhadap cerpen-cerpen pun sudah berbeda dengan saat saya membaca pertama dulu.
Dari 18 cerpen, hanya satu yang mengganjal ketika saya baca.
“Mata Sunyi Perempuan Takroni” karya Triyanto Triwikromo.
Apa yang berbeda dengan cerpen ini? Beberapa diksi.
Setting cerpen ini adalah di dekat Makam Al-Baqi, Madinah. Namun,
diksi penyampaiannya (dalam tuturan tokoh, ya) menggunakan bahasa daerah Jawa: kemruyuk
dan gesang. Karena mengganjal saat membaca, saya Googling, apa
itu Takroni. Ternyata….
Arab Takroni adalah panggilan untuk Arab yang berasal dari Afrika Hitam. Kebanyakan mereka merantau ke Arab Saudi dan berasal dari Afrika Timur sepertidari Etiopia, Sudan, Somalia, Djibouti dan pantai Afrika Timur maupun negara Afrika Hitam lainnya. Kita juga tidak tahu sejak kapan mereka dipanggil dengan Takroni. Untuk membedakan mereka dengan orang Arab asli cukup mudah terutama dari wajah dan warna kulit. (“Arab-Arab Takroni di Cipayung”, ditulis oleh: Bang Nasr, sumber: http://regional.kompasiana.com)
Jadi, nggak ada kaitannya dengan Indonesia, toh, apalagi
Jawa. Tadinya saya kira TKW Indonesia yang sudah lama di sana, mirip-mirip
orang-orang di Suriname itu. Ternyata bukan. Itulah yang mengganjal di cerpen
ini. Diksi yang dipilih dalam tuturan masih ada yang dari bahasa Jawa, padahal
setting dan tokoh murni orang Arab sana. Kalau diletakkan di narasi, masih lebih
bisa diterima, cuman ini di tuturan….
Lanjut ke cerpen lain yang akan dibahas, “Kembalinya
Pangeran Kelelawar” karyaBre Redana. Saya bener-bener nggak paham metafor apa
yang coba diwakilkan dengan Pangeran Kelelawar itu.
Cerpen favorit saya di buku ini.., hm…, “Sinar Mata Ibu” dan
“Malaikat Kecil”. Tentang keluarga semua… Jangan2 saya lagi mellow… *kacaan*
*cantik, kok* *haghaghag, abaikan*
Cerpen yang paling menyebalkan, maksudnya model cerpen yang
setelah baca bikin kita ngerasa sesak karena jengkel—jengkel dengan kemungkinan
kebenaran hal yang dialami tokoh itu di dunia nyaya—di buku ini adalah cerpen
terakhir “Perempuan Semua Orang”.
Kutipan favorit…, ternyata dari Seno, yang sudah saya
penggal-penggal.
Kehidupannya sudah termesinkan sebagai buruh.... Begitu harus cari uang tanpa pemberi tugas, otaknya mampet karena sudah tidak biasa berpikir sendiri....--p.33,Legenda Wongasu—SGA
***
Ada emosi naik turun saat membaca buku ini, tapi untuk
ukuran cerpen Kompas, saya rasa buku ini cukup dengan tiga bintang.
Sekian.
(^-^)
Waw ...diksinya sastra Indonesia banget ... tp ada sentuhan emak-emak labil *kabur*
ReplyDeleteJujur, saya ini ketinggalan banget kalau sudah bahas sastrawan Indonesia kontemporer. Mungkin, kapan2 saya harus mulai membacanya. Pinjem dong.
Ngahahahaha....
DeleteDikau berkutat dengan Sastra Inggris Klasik? *lirik sirik*
udah lama nggak baca model begini jadi kangen, deh. Ish, itu jugak pinjem Mbak Rina. Aku punya yang kumcer pilihan 20 tahun. Bagus2... >_<
Baca, gih *maksa*
horeee akhirnya blognya kebuka *lalu pamitan nonton youtube
ReplyDeletebuset.
Deleteoi, blog dikau modelnya ajaib, yak, kolom2 gitu, ahahahaha... *terbiasa mainstream saya*