Entri Populer

Thursday, 8 January 2015

Waktu Nayla Cerpen Pilihan Kompas 2003



Hal yang mengganjal dari membaca kumpulan cerpen yang ditulis oleh banyak orang adalah perpindahan gaya. 

Seperti yang saya alami saat membaca buku cerpen pilihan Kompas 2003, Waktu Nayla. Setelah membaca “Malaikat Kecil” karya Indra Tranggono, saya butuh sedikit penyesuaian ketika langsung membaca cerpen selanjutnya, “Gus Jakfar” karya A. Mustofa Bisri. Cara meminimalisir jet lag membaca di buku seperti ini adalah memberi jeda bagi otak kita sebelum membuka lembar cerpen selanjutnya.

 


Dari 18 cerpen yang ada di buku ini, ada beberapa cerpen yang sudah saya baca di kumcer yang lain. “Waktu Nayla”, “Legenda Wongasu”, dan “Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan!” Tapi tentu interpretasi saya terhadap cerpen-cerpen pun sudah berbeda dengan saat saya membaca pertama dulu.


Dari 18 cerpen, hanya satu yang mengganjal ketika saya baca. “Mata Sunyi Perempuan Takroni” karya Triyanto Triwikromo. 

Apa yang berbeda dengan cerpen ini? Beberapa diksi.
Setting cerpen ini adalah di dekat Makam Al-Baqi, Madinah. Namun, diksi penyampaiannya (dalam tuturan tokoh, ya) menggunakan bahasa daerah Jawa: kemruyuk dan gesang. Karena mengganjal saat membaca, saya Googling, apa itu Takroni. Ternyata….


Arab Takroni adalah panggilan untuk Arab yang berasal dari Afrika Hitam. Kebanyakan mereka merantau ke Arab Saudi dan berasal dari Afrika Timur sepertidari Etiopia, Sudan, Somalia, Djibouti dan pantai Afrika Timur maupun negara Afrika Hitam lainnya. Kita juga tidak tahu sejak kapan mereka dipanggil dengan Takroni. Untuk membedakan mereka dengan orang Arab asli cukup mudah terutama dari wajah dan warna kulit. (“Arab-Arab Takroni di Cipayung”, ditulis oleh: Bang Nasr, sumber: http://regional.kompasiana.com)


Jadi, nggak ada kaitannya dengan Indonesia, toh, apalagi Jawa. Tadinya saya kira TKW Indonesia yang sudah lama di sana, mirip-mirip orang-orang di Suriname itu. Ternyata bukan. Itulah yang mengganjal di cerpen ini. Diksi yang dipilih dalam tuturan masih ada yang dari bahasa Jawa, padahal setting dan tokoh murni orang Arab sana. Kalau diletakkan di narasi, masih lebih bisa diterima, cuman ini di tuturan….

Lanjut ke cerpen lain yang akan dibahas, “Kembalinya Pangeran Kelelawar” karyaBre Redana. Saya bener-bener nggak paham metafor apa yang coba diwakilkan dengan Pangeran Kelelawar itu. 

Cerpen favorit saya di buku ini.., hm…, “Sinar Mata Ibu” dan “Malaikat Kecil”. Tentang keluarga semua… Jangan2 saya lagi mellow… *kacaan* *cantik, kok* *haghaghag, abaikan*

Cerpen yang paling menyebalkan, maksudnya model cerpen yang setelah baca bikin kita ngerasa sesak karena jengkel—jengkel dengan kemungkinan kebenaran hal yang dialami tokoh itu di dunia nyaya—di buku ini adalah cerpen terakhir “Perempuan Semua Orang”.

Kutipan favorit…, ternyata dari Seno, yang sudah saya penggal-penggal.


Kehidupannya sudah termesinkan sebagai buruh.... Begitu harus cari uang tanpa pemberi tugas, otaknya mampet karena sudah tidak biasa berpikir sendiri....--p.33,Legenda Wongasu—SGA



***

Ada emosi naik turun saat membaca buku ini, tapi untuk ukuran cerpen Kompas, saya rasa buku ini cukup dengan tiga bintang.
Sekian.
(^-^)


4 comments:

  1. Waw ...diksinya sastra Indonesia banget ... tp ada sentuhan emak-emak labil *kabur*
    Jujur, saya ini ketinggalan banget kalau sudah bahas sastrawan Indonesia kontemporer. Mungkin, kapan2 saya harus mulai membacanya. Pinjem dong.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngahahahaha....
      Dikau berkutat dengan Sastra Inggris Klasik? *lirik sirik*
      udah lama nggak baca model begini jadi kangen, deh. Ish, itu jugak pinjem Mbak Rina. Aku punya yang kumcer pilihan 20 tahun. Bagus2... >_<
      Baca, gih *maksa*

      Delete
  2. horeee akhirnya blognya kebuka *lalu pamitan nonton youtube

    ReplyDelete
    Replies
    1. buset.
      oi, blog dikau modelnya ajaib, yak, kolom2 gitu, ahahahaha... *terbiasa mainstream saya*

      Delete

Pages