Entri Populer

Friday, 30 January 2015

Dokumen Jibril (Kumpulan Cerpen Republika)



Saya suka kumcer. Soalnya, lebih bisa dinikmati saat waktu senggang lagi nggak banyak.

Kumcer dari Republika ini berisi 20 cerpen pilihan dari 11 tahun. Sebelumnya, saya baca cerpen pilihan Kompas, dari Salawat Dedaunan sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta, yang dipilih dari kurun waktu 20 tahun. Jadi, perbandingan sedikit banyak akan terjadi.

Buku ini ternyata adalah kumpulan khusus karya penulis perempuan. Saya tau agak telat karena langsung baca isi, nggak pake liat-liat back cover.




Kumcer ini dibuka dengan tulisan Abidah, “Gugur Daun Mapel”. Sejak membaca karyanya, “Geni Jora” (Pemenang Kedua Sayembara Novel DKJ 2003), saya tahu bahwa tulisan Abidah bukan selera saya, termasuk yang ini. Bukan apa-apa, dia banyak menggunakan istilah yang dekat dengan dunia Timur Tengah (entah itu bahasa, istilah, sejarah, budaya, dan sebagainya) dan saya yang sangat tidak dekat dengan dunia itu keburu pusing dengan istilah-istilah yang dia gunakan. *Alasan, bilang aja males mikir berat* Tapi, di  dalamnya tetap ada pengetahuan berarti. Ternyata, di Arab sana ada juga sistem kasta. Wow! 

Waktu saya bahas dengan suami saya, dia bilang, “Di mana-mana ada, dalam dunia semut pun ada kasta.” *hasyah*

Cerpen kedua, karya Asma Nadia, “Ranti Menderas”, membuat saya sedikit terkejut. Saya pernah juga dulu pas masih muda SMA baca novel karya Asma Nadia, tapi lupa apa, pokoknya selalu kental berbau islami dan model penceritaan yang standar. Secara mengejutkan, di sini dia pakai teknik bercerita yang menarik dan hal yang berbau islami hanya disisipkan sedikit di akhir tapi tetep ngena.

Cerpen ketiga sudah pernah saya baca di mana lupa, yang pasti editannya lebih bagus daripada yang di sini. Kalau suatu saat saya temukan, mungkin akan saya bandingkan dari segi editing. Karena re-read, efeknya lebih kuat dulu. 

Lalu, saya menemukan karya lain dari Dewi Sartika, salah satu penulis favorit saya. Karya dia, Dadaisme, pemenang pertama sayembara novel DKJ 2003, bagus banget. “Aku menunggu, aku menunggu, lalu menunggu…” *berubah jadi Spongebob* tapi Dewi Sartika nggak ngeluarin karya lagi. Setahu saya, menjadi pemenang DKJ adalah salah satu pelicin langkah untuk digebet sama penerbit-penerbit kece.
*Perkenalkan, saya salah satu calon pemenang pertamanya* *benerin kerah* *abaikan*
Dan, cerpen dia yang berjudul “Pohon” di buku ini lumayan. 

Kebanyakan, cerpen-cerpen karya perempuan di Republika ini berisi permasalahan hidup dari sudut pandang perempuan. *ya iyalah* Maksud saya, cerpen perempuan jadi terasa cenderung seperti bercerita masalah yang sering dihadapi perempuan tapi sulit mereka ungkapkan. 

Karya Helvy Tiana Rosa misalnya, yang menceritakan mengenai kegelisahan seorang istri atas perubahan suaminya yang sangat mungkin telah memiliki selingkuhan. Atau Evi Idawati, menggambarkan kegelisahan seorang istri yang berusaha menjaga hatinya yang terpesona oleh laki-laki lain agar tidak lanjut terpaut. Atau Titik Sugiyarti yang berkisah tentang suami yang minta izin sang istri untuk poligami.

Ada juga yang berusaha mengungkap dari sudut pandang laki-laki. “Lelaki di Atas Tembok Berlin” dan “Perahu Nuh”. Keduanya berhasil dengan baik. Bahwa bagaimanapun laki-laki tetap ingin dan perlu diposisikan sebagai kepala rumah tangga.
“Bagaimanapun juga, jangan merasa kalah ketika mengalah kepada istri.”—p. 134

“Ranti Menderas”, “Pohon”, “Dua Bisikan Kebenaran”, “Kakus”, “Rumah Ilalang”, dan “Mata” adalah contoh cerpen-cerpen yang membahas masalah sosial atau politik. Tapi, tetap saja isi buku ini didominasi masalah cinta atau keluarga.

Satu cerpen yang tidak dapat saya nikmati adalah model seperti “Ngabu” di buku ini. Cerpen ini ingin menggambarkan perasaan ditinggalkan. Sampai saat ini, kadang saya bisa mengerti—bukan memahami—maksud yang ingin disampaikan, seringnya tidak bisa mengerti, sih. Tapi, yang pasti saya masih belum bisa menikmati model penceritaan seperti ini. Rasanya melelahkan membacanya. 

Sebuah suara yang nyaris tertinggal di kebisuan di tubuh itu di keramaian di sini di mana langit juga ingin mengisyaratkan kepedihan yang serupa tentang hujan yang tertunda, karena kematianmu yang tiba-tiba, begitu tiba-tiba, keterkejutan itu pula yang menghinggapi pucuk-pucuk hujan menahan diri untuk tak jatuh mengurai anakannya membasahi perjalananmu yang terakhir.—p. 65

Bukan masalah panjangnya kalimat. Kalo kalimat panjang, seperti yang berikut ini masih bisa saya nikmati. Tapi memang bagi saya keseluruhan cerpen ini tidak nyaman untuk dinikmati.

Ketertinggalanmu pada musim, tempat-tempat itu, bunga lili yang mulai mengering tepian kelopaknya, oada emosi, pelangi, secarik kartu pos, kenangan, tepi laut, kerang-kerang, perempuan, pada embun yang menitik di rumput dini itu bersama percakapan yang tertunda tentang mata bayi yang tak bisa lahir, sebongkah senyum yang hampir beku, kecup terakhir yang tak sempat terukir, pada uban-uban yang mulai mengganggumu, juga kekasih yang kau mimpikan bisa menjadi istrimu, betinamu, pada gemintang, kunang-kunang, sungai putih, langit hitam, rahim batu.—p. 67

Cerpen lain yang tidak dapat saya nikmati di buku ini adalah “Nyanyian Duka di Legian” karya Pipiet Senja.
Apa maksud kalimat, “Habiiis, nggak pake apa-apalah, Bo!” di cerpen ini? (~..~”) Rasanya kayak makan soto dikasih saos.

Lalu, bagaimana cerpen yang jadi judul buku ini? "Dokumen Jibril" berisi tentang perubahan tiba-tiba seorang ayah. Setelah ditanyai anak-anaknya, mengakulah ia telah kehilangan sebuah batu yang diberikan Jibril kepadanya ketika di Mina. Cerpen ini bagus, tapi penulisnya tidak dapat menahan diri untuk tidak memberi pesan secara eksplisit di akhir cerpen. Mungkin bagus juga, jadi pembaca bisa langsung memahami makna cerpen itu. Tapi tidak bagi saya. Kalimat terakhir itu adalah pesan yang sudah tersampaikan melalui keseluruhan cerpen. Jadi malah menghilangkan kesempatan saya untuk merenung mengenai pesan yang ingin disampaikan, yang biasanya saya lakukan sehabis membaca cerpen yang mengandung pesan tersembunyi,

Sekarang, masalah penyajian. Saking seringnya typo pada naskah yang dimuat di media massa, saya sempat berpikir bahwa jangan-jangan typo adalah tren sastra koran. *abaikan* Di buku ini juga banyak sekali.
Diusia, darimana, mengepakan, menginjakan,di bandingkan, keelokkan, dan seterusnya.

Bertaburan pokoknya. Tapi saya tetap mampu menyelesaikannya. Membaca buku ini membantu saya menjawab sebuah pertanyaan: Lebih nggak tahan mana, typo atau cerita jelek? Saya sepertinya lebih nggak tahan cerita jelek. (*´・v・)

Yah, seperti sudah saya bilang di atas, cerpen-cerpen di buku ini secara garis besar seperti membaca curhat perempuan yang disampaikan dengan berbagai bentuk. Sayang, saya tidak menemukan cerpen favorit dari kumpulan yang ada di sini. Bagus, tapi tidak ada yang menohok sehingga membuat saya merenung sebentar, hening, setelah membacanya. 

Pesan yang disampaikan Ahmadun di buku ini bisa jadi pemicu, bahwa tulisan perempuan di media massa masih hanya 20% dibandingkan tulisan laki-laki. Jadi, ayo menulis, para perempuan Indonesia… ||--()/




No comments:

Post a Comment

Pages