Saya suka kumcer. Soalnya, lebih bisa dinikmati saat waktu senggang lagi nggak
banyak.
Kumcer dari Republika ini berisi 20 cerpen pilihan dari 11
tahun. Sebelumnya, saya baca cerpen pilihan Kompas, dari Salawat Dedaunan
sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta, yang dipilih dari kurun waktu 20
tahun. Jadi, perbandingan sedikit banyak akan terjadi.
Buku ini ternyata adalah kumpulan khusus karya
penulis perempuan. Saya tau agak telat karena langsung baca isi, nggak pake
liat-liat back cover.
Kumcer ini dibuka dengan tulisan Abidah, “Gugur Daun Mapel”.
Sejak membaca karyanya, “Geni Jora” (Pemenang Kedua Sayembara Novel DKJ 2003),
saya tahu bahwa tulisan Abidah bukan selera saya, termasuk yang ini. Bukan
apa-apa, dia banyak menggunakan istilah yang dekat dengan dunia Timur Tengah
(entah itu bahasa, istilah, sejarah, budaya, dan sebagainya) dan saya yang
sangat tidak dekat dengan dunia itu keburu pusing dengan istilah-istilah yang
dia gunakan. *Alasan, bilang aja males mikir berat* Tapi, di dalamnya tetap ada pengetahuan berarti.
Ternyata, di Arab sana ada juga sistem kasta. Wow!
Waktu saya bahas dengan suami saya, dia bilang, “Di mana-mana
ada, dalam dunia semut pun ada kasta.” *hasyah*
Cerpen kedua, karya Asma Nadia, “Ranti Menderas”, membuat
saya sedikit terkejut. Saya pernah juga dulu pas masih muda SMA baca
novel karya Asma Nadia, tapi lupa apa, pokoknya selalu kental berbau islami dan
model penceritaan yang standar. Secara mengejutkan, di sini dia pakai teknik
bercerita yang menarik dan hal yang berbau islami hanya disisipkan sedikit di
akhir tapi tetep ngena.
Cerpen ketiga sudah pernah saya baca di mana lupa, yang pasti
editannya lebih bagus daripada yang di sini. Kalau suatu saat saya temukan,
mungkin akan saya bandingkan dari segi editing.
Karena re-read, efeknya lebih kuat
dulu.
Lalu, saya menemukan karya lain dari Dewi Sartika, salah
satu penulis favorit saya. Karya dia, Dadaisme,
pemenang pertama sayembara novel DKJ 2003, bagus banget. “Aku menunggu, aku
menunggu, lalu menunggu…” *berubah jadi Spongebob* tapi Dewi Sartika nggak
ngeluarin karya lagi. Setahu saya, menjadi pemenang DKJ adalah salah satu
pelicin langkah untuk digebet sama penerbit-penerbit kece.
*Perkenalkan, saya salah satu calon pemenang pertamanya*
*benerin kerah* *abaikan*
Dan, cerpen dia yang berjudul “Pohon” di buku ini lumayan.
Kebanyakan, cerpen-cerpen karya perempuan di Republika ini
berisi permasalahan hidup dari sudut pandang perempuan. *ya iyalah* Maksud
saya, cerpen perempuan jadi terasa cenderung seperti bercerita masalah yang
sering dihadapi perempuan tapi sulit mereka ungkapkan.
Karya Helvy Tiana Rosa misalnya, yang menceritakan mengenai kegelisahan seorang istri atas perubahan suaminya yang
sangat mungkin telah memiliki selingkuhan. Atau Evi Idawati, menggambarkan
kegelisahan seorang istri yang berusaha menjaga hatinya yang terpesona oleh
laki-laki lain agar tidak lanjut terpaut. Atau Titik Sugiyarti yang berkisah tentang
suami yang minta izin sang istri untuk poligami.
Ada juga yang berusaha mengungkap dari sudut pandang
laki-laki. “Lelaki di Atas Tembok Berlin” dan “Perahu Nuh”. Keduanya berhasil
dengan baik. Bahwa bagaimanapun laki-laki tetap ingin dan perlu diposisikan
sebagai kepala rumah tangga.
“Bagaimanapun juga, jangan merasa kalah ketika mengalah kepada istri.”—p. 134
“Ranti Menderas”, “Pohon”, “Dua Bisikan Kebenaran”, “Kakus”,
“Rumah Ilalang”, dan “Mata” adalah contoh cerpen-cerpen yang membahas masalah
sosial atau politik. Tapi, tetap saja isi buku ini didominasi masalah cinta
atau keluarga.
Satu cerpen yang tidak dapat saya nikmati adalah model
seperti “Ngabu” di buku ini. Cerpen ini ingin menggambarkan perasaan
ditinggalkan. Sampai saat ini, kadang saya bisa mengerti—bukan memahami—maksud
yang ingin disampaikan, seringnya tidak bisa mengerti, sih. Tapi, yang pasti
saya masih belum bisa menikmati model penceritaan seperti ini. Rasanya melelahkan
membacanya.
Sebuah suara yang nyaris tertinggal di kebisuan di tubuh itu di keramaian di sini di mana langit juga ingin mengisyaratkan kepedihan yang serupa tentang hujan yang tertunda, karena kematianmu yang tiba-tiba, begitu tiba-tiba, keterkejutan itu pula yang menghinggapi pucuk-pucuk hujan menahan diri untuk tak jatuh mengurai anakannya membasahi perjalananmu yang terakhir.—p. 65
Bukan masalah panjangnya kalimat. Kalo kalimat panjang,
seperti yang berikut ini masih bisa saya nikmati. Tapi memang bagi saya
keseluruhan cerpen ini tidak nyaman untuk dinikmati.
Ketertinggalanmu pada musim, tempat-tempat itu, bunga lili yang mulai mengering tepian kelopaknya, oada emosi, pelangi, secarik kartu pos, kenangan, tepi laut, kerang-kerang, perempuan, pada embun yang menitik di rumput dini itu bersama percakapan yang tertunda tentang mata bayi yang tak bisa lahir, sebongkah senyum yang hampir beku, kecup terakhir yang tak sempat terukir, pada uban-uban yang mulai mengganggumu, juga kekasih yang kau mimpikan bisa menjadi istrimu, betinamu, pada gemintang, kunang-kunang, sungai putih, langit hitam, rahim batu.—p. 67
Cerpen lain yang tidak dapat saya nikmati di buku ini adalah
“Nyanyian Duka di Legian” karya Pipiet Senja.
Apa maksud kalimat, “Habiiis, nggak pake apa-apalah, Bo!” di
cerpen ini? (~..~”) Rasanya kayak makan soto dikasih saos.
Lalu, bagaimana cerpen yang jadi judul buku ini? "Dokumen
Jibril" berisi tentang perubahan tiba-tiba seorang ayah. Setelah ditanyai
anak-anaknya, mengakulah ia telah kehilangan sebuah batu yang diberikan Jibril
kepadanya ketika di Mina. Cerpen ini bagus, tapi penulisnya tidak dapat menahan
diri untuk tidak memberi pesan secara eksplisit di akhir cerpen. Mungkin bagus
juga, jadi pembaca bisa langsung memahami makna cerpen itu. Tapi tidak bagi
saya. Kalimat terakhir itu adalah pesan yang sudah tersampaikan melalui
keseluruhan cerpen. Jadi malah menghilangkan kesempatan saya untuk merenung
mengenai pesan yang ingin disampaikan, yang biasanya saya lakukan sehabis
membaca cerpen yang mengandung pesan tersembunyi,
Sekarang, masalah penyajian. Saking seringnya typo
pada naskah yang dimuat di media massa, saya sempat berpikir bahwa
jangan-jangan typo adalah tren sastra koran. *abaikan* Di buku ini juga
banyak sekali.
Diusia, darimana, mengepakan, menginjakan,di bandingkan, keelokkan, dan seterusnya.
Bertaburan pokoknya. Tapi saya tetap mampu menyelesaikannya.
Membaca buku ini membantu saya menjawab sebuah pertanyaan: Lebih nggak tahan mana,
typo atau cerita jelek? Saya sepertinya lebih nggak tahan cerita jelek. (*´・v・)
Yah, seperti sudah saya bilang di atas, cerpen-cerpen di buku ini secara
garis besar seperti membaca curhat perempuan yang disampaikan dengan berbagai
bentuk. Sayang, saya tidak menemukan cerpen favorit dari kumpulan yang ada di
sini. Bagus, tapi tidak ada yang menohok sehingga membuat saya merenung
sebentar, hening, setelah membacanya.
Pesan yang disampaikan Ahmadun di buku ini bisa jadi pemicu,
bahwa tulisan perempuan di media massa masih hanya 20% dibandingkan tulisan
laki-laki. Jadi, ayo menulis, para perempuan Indonesia… ||--( ̄□ ̄)/
No comments:
Post a Comment