“Menjadi panutan bukan tugas anak sulung—kepada adik-adiknya.
Menjadi panutan tugas orang tua—untuk semua anak.”—p. 106
Buku ini bercerita tentang Pak Gunawan yang nggak mau kehilangan kesempatan mengajarkan tentang kehidupan kepada dua anak laki-lakinya meskipun telah meninggal. Waktu satu tahun yang tersisa dia persiapkan sebaiknya untuk memberi bekal keuangan dan pembelajaran hidup bagi istri dan kedua anaknya, Satya dan Cakra.
Ibu Itje, istri Pak Gunawan memutar video rekaman Pak Gunawan setiap hari Sabtu. Video itu yang menjadi bekal Satya dan Cakra berkembang sejak kematian bapak mereka, hingga kemudian Satya sendiri menjadi bapak, sementara Cakra masih aja menjomblo.
Sementara Satya bergelut dengan kehidupan rumah tangganya, seorang istri dan tiga anak, Cakra mulai menggeliat, berusaha lepas dari jeratan kejombloan. Di saat bersamaan, Ibu Itje menyembunyikan rahasia dari kedua putranya tersebut….
***
Emang serius banget itu rekapan cerita novelnya. Padahal isinya banyak bagian lucu—bagian Cakra doang, sih. Satya dan Cakra dikisahkan beda banget emang secara fisik. Kalo Satya…
Satya memiliki atribut yang tidak dimiliki banyak orang. Pintar, ganteng, dan mengutip belasan wanita yang pernah Satya patahkan hatinya, ‘Laki, banget’.—p. 52
Sementara Cakra…
“Apa gua gak ganteng?”
“Coba deh, Bapak senyum. Kasih kita muka ganteng Bapak,” pinta Wati.
Cakra tersenyum kepada mereka. “Ada yang pernah bilang Bapak kalau senyum seperti pedofil?” tanya Wati.
“Belum.”
“Pak, Bapak kalo senyum, kayak pedofil.”—p. 115
Nah, itu mungkin bisa dijadiin perbandingan fisik Satya dan Cakra.
Heran, masak cowok kayak Cakra susah dapet jodoh. Kalo saya sih lebih suka model cowok kayak Cakra begini. *emang banyak yang bilang, selera saya terhadap pria rada2*
Sebagai emak-emak baru, buku ini adalah pembelajaran yang menarik. Tentu saja proses menjadi orang tua tidak akan “semudah” di buku ini, tapi tetap saja isinya memberi banyak pelajaran, bukan hanya mengenai bagaimana menjadi orang tua yang baik, tetapi juga pelajaran tentang kejombloan dan pengembangan diri. Itulah kenapa saya akan bilang kalau buku ini baik dibaca semua kalangan.
Saya hampir ngasih bintang 5, karena emang rada mellow kalo ngebahas mengenai sosok ayah, di buku ini bapak sih, ya tapi sama aja.
Tapi, karena ini naskah terlalu manis, saya batalkan. Udah, gitu doang alasannya, ngoahahahahaha….
Selain itu, surprise yang disimpan penulisnya juga udah ketebak sejak awal banget. Jadi ya nggak mengejutkan lagi buat saya. Kalo disebutin di sini spoiler, dung.
Empat hal lain yang menjadi catatan saya:
Ini naskah diedit setahun dan dieksekusi oleh dua orang proofreader. Wow, ini digarap serius. Denger2, mau di-pelem-in. Hm.. *mulai nebak2 pemeran, terutama Cakra*
Masih ada beberapa hal terkait editing. Justru karena dikit jadi ketangkap mata. Salah satunya, yang paling kentara adalah: kata “acuhkan” yang salah posisi di halaman 53.
…Sebuah wejangan yang Satya acuhkan karena pada saat itu, dia tidak dapat berhenti mencuri pandang lulusan terbaik dari Jurusan Akuntansi.
Beberapa ucapan tokoh di naskah ini dipisahkan dengan enter, sepertinya tidak cukup hanya dengan spasi. Ucapan-ucapan yang dipisah enter yang dirasa perlu penekanan atau perlu perhatian lebih dari pembaca. Dan bagi saya, efeknya lumayan kerasa.
"You know... tiap saya bingung saya harus ngapain, ada Bapak di sana.
Setiap hari Sabtu."--p. 228
Ini…, halamannya nggak kurang kecil apa, yak? *siapin kaca pembesar* Beneran, deh, apalagi buat yang matanya udah nggak sehat kayak saya, bacanya malem2 sambil tiduran pulak *pantes matanya minus* sambil jagain baby, pula *malah curhat* ukuran nomor halaman di novel ini nyiksa banget.
No comments:
Post a Comment