Entri Populer

Monday, 30 November 2015

Menyukai Sesama Jenis, Bawaan Lahir atau Tercipta Kemudian?--Ulasan Cerpen “Perempuan Tua dalam Kepala” karya Arvianti Armand

Cerpen "Perempuan Tua dalam Kepala" yang saya ulas dari buku ini



Sejak membaca “Perempuan Tua dalam Kepala” karya Avianti Armand dalam buku Dari Salawat Dedaunan Sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta: 20 Tahun Cerpen Kompas Pilihan, saya selalu terngiang dengan kisah ini. Seperti saya sebutkan sebelumnya, bagi saya cerpen ini memberi pemahaman mengenai bagaimana pemerkosaan itu sesungguhnya.
Dalam ulasan kali ini akan saya bahas. Jadi, ini bukan resensi dan akan penuh spoiler. Sebaiknya, baca dulu cerpen ini agar tidak kecewa. Bisa baca di sini
Saya ingat, ada yang pernah berkata bahwa ketika diperkosa, sebaiknya nikmati saja. Bukan cuma di Indonesia, ternyata. Coba cek di sini secuplik sisa beritanya. Setelah mendengar pernyataan bodoh yang mungkin dimaksudkan sebagai guyonan itu, saya sakit kepala. Dan ketika menjadi bahasan dengan beberapa orang, salah satu kenalan pun memberi pro yang serupa. Bahwa bukankah korban bisa saja menikmati pemerkosaan?
Mendengarnya, saya semakin sakit kepala…dan langsung tersalurkan.
*tarik napas*
Setelah tragedi emosional dengan orang itu, saya berpikir, jangan-jangan bukan hanya mereka, melainkan ada beberapa lagi yang berpikir demikian.
Bagaimana bisa?
Apa tidak mengerti makna perkosa?

per·ko·sa, me·mer·ko·sa v 1 menundukkan dng kekerasan; memaksa dng kekerasan; menggagahi; merogol: ~ negeri orang; laki-laki bejat itu telah ~ gadis di bawah umur; 2 melanggar (menyerang dsb) dng kekerasan: tindakan itu dianggapnya ~ hukum yg berlaku; negara itu dicap sbg negara yg ~ hak asasi manusia;

Lihat pada kata kekerasan yang ada di sana. Itulah yang membedakan perkosaan dan suka sama suka. Kalau kamu dirayu pacar dan mau ditiduri olehnya, itu bukan perkosaan. Tapi ketika kamu menolak dan tiba-tiba dia menekan kamu ke dinding, membekap mulut kamu agar tidak berteriak, menampar bahkan menabrakkan kepalamu ke dinding agar berhenti meronta…, maka itu perkosaan.
Lalu, jika bukan pengidap sado masokis, di sebelah maknanya bagian dari adegan itu yang bisa disebut dinikmati? Bahkan meskipun perempuan yang dipaksa melayani seperti tadi adalah pelacur, ketika dia tidak bersedia melayani dan dipaksa, itu disebut pemerkosaan.
Dipaksa.
Dengan kekerasan.
Tolong camkan.
Kembali ke cerpen.
Jauh sebelum ini, saya menonton film—saya lupa judulnya—yang di dalamnya disebutkan bahwa sodomi bagai lingkaran setan. Korbannya akan menjadi pelaku, dan demikian seterusnya.
Sudah banyak bukti bahwa bagaimana masa kecil seseorang dihabiskan akan sangat berdampak pada bagaimana dia di masa depan. Luka yang terjadi saat masa kecil seseorang bisa jadi berpengaruh menjadi watak seumur hidupnya.
Ada dua cerpen dalam kumcer ini yang membahas mengenai pengaruh masa kecil ini. Yang pertama adalah “Sempurna”. Jika ingin melihat bagaimana anak-anak Anda yang dipaksa sempurna dengan ikut les dan kontes di masa depan, mungkin tokoh Lara dalam cerpen ini bisa jadi salah satu gambaran.
Cerpen lain, tentu saja, “Perempuan Tua dalam Kepala”.
Bukan hal baru memang kisah mengenai anak yang mengalami kekerasan fisik di masa kecil. Saat membaca ulang cerpen ini, saya terbayang berita-berita yang belakangan ditayangkan di televisi. Apakah perasaan anak-anak itu juga seperti itu? Mencari perlindungan…hingga ketika tidak mendapat dari orang tua di sekitarnya, datanglah si perempuan tua. Dan tinggal di kepalanya, mungkin selamanya mendekam di sana.

Biasanya, pelakunya bahkan justru orang dekat, demikian pula dalam buku ini. Tokoh dalam cerpen ini mengalami kekerasan seksual dari bapak tirinya ketika dia masih kecil.

“Lelaki yang dicintai ibu mencintaiku juga…. Ia sering memintaku duduk di pangkuannya. Sambil bercerita tentang rumahnya di kota lain yang punya kolam ikan koi, tangannya akan membelai pahaku. Aku suka geli dan menyuruhnya berhenti. Tapi ia tak peduli. Ibu juga tak peduli. Ibu malah senang karena ada yang menjagaku di rumah jika ia menghabiskan waktu dan uangnya di mal.—p. 86 

Di hari perempuan tua itu datang, ibu meninggalkanku dengan laki-laki itu.—p. 86 

“Tutup matamu. Kamu tak akan merasa sakit.” Lelaki itu berbohong. Aku merasakan nyeri yang luar biasa di bawah sana. Dan tetap nyeri walau mataku telah terpejam. Aku menjerit. Lelaki itu membenturkan kepalaku ke tembok. Aku menjerit lagi. Ia membenturkan kepalaku lagi. Lagi. Lagi. ….”—p. 87

Jangan tutup mata. Dan memang sepatutnya mual.
Mungkin, memang demikian perasaan anak-anak itu. Mungkin, lebih parah dari itu. Mungkin, mereka bukan hanya dibenturkan ke tembok. Mungkin, telah banyak perempuan tua dalam kepala anak-anak di sekitar kita.

Perhatikan kutipan cerpen berikut:


Aku tak menyukainya. Dia tak menyukaiku. Dia memakiku ketika aku menolong anak laki-laki yang jatuh dari sepeda,….Tapi ia bertepuk senang ketika aku menempelengi pengendara motor yang memotong jalur mobilku.—p. 82


Sebenarnya, mereka tidak mau, tidak suka dengan perempuan tua dalam kepala mereka. Tapi, tidak mampu mengusirnya. Bahkan, tidak jarang mereka justru mengikuti saran perempuan tua itu.
Uniknya…, kehadiran Ben, seorang kawan lama di masa kecilnya yang pernah menghibur ketika ia menangis dalam sebuah gudang, membuka kisah baru.
Tokoh ini sengaja menyimpan sapu tangan yang diberikan Ben untuk mengusap air matanya sebagai kenang-kenangan sebelum ia terpaksa pindah dan kemudian ikut dengan ayah tirinya tadi.
Tokoh yang sekarang sudah dewasa ini, bertemu kembali dengan Ben dan mereka menghabiskan malam bersama. Lalu ia berkata singkat: Ayah tiriku mati muda.—p. 90
Itu katanya kepada Ben, sambil khawatir perempuan tua dalam kepalanya menjadi tidak suka dan kembali mengambil alih emosinya.
Kejadian sebenarnya ada pada halaman sebelumnya.


Ibu bilang, laki-laki tidak boleh cengeng. Ia tetap pergi meski aku merengek-rengek memintanya tinggal. Saat itu, aku benar-benar membencinya.
Satu, dua, tiga… Laki-laki itu menggandengku ke kamar. Empat, lima, enam… Laki-laki itu melucuti celanaku. Tujuh, delapan, sembilan… Ia menelungkupkanku di tempat tidur. Tangannya mulai menggerayangi pantatku yang terbuka. Aku menutup mata erat-erat.p. 89 


Bayangkan seorang anak kecil menghitung ketakutannya. Menghitung detik saat ia akan menerima kesakitan lagi. Menghitung kematian sebagian jiwanya. 


Di hitungan ke sepuluh, pintu rumah perempuan tua itu terbanting terbuka. Mukanya marah. Sebelas, dua belas… Lelaki itu menindih tubuhku. Napasnya mulai terengah.—p. 89


Perempuan tua itu keluar, berusaha menolongnya, karena sang ibu yang dimintai pertolongan tidak mau mendengar.


Tiga belas… Perempuan tua itu berteriak garang. Dari mulutnya keluar kata-kata paling kotor yang pernah kudengar. Laki-laki itu terjengkang kaget.—p. 89


Laki-laki itu terjengkang karena apa yang dirasa si tokoh keluar dari mulut perempuan tua itu sebenarnya keluar dari mulutnya sendiri. Perempuan tua sudah menjelma menjadi dirinya. Perempuan tua merupakan dirinya yang diciptakan sebagai bentuk perlindungan psikologis dari serangan luar. Dari bentuk perlindungan psikologis, perempuan tua menjelma menjadi perlindungan fisik.


Dengan sigap, perempuan tua itu meraih lambu baca di samping tempat tidur. Sepenuh tenaga, dihantamkannya kaki lampu itu ke kepala laki-laki. Besi beradu tulang. Aku mendengar suara retak. Tubuh laki-laki itu terpuruk ke lantai. Darah merembes pelan dari lukanya. Sekali lagi perempuan tua menghantamkannya. Lagi. Lagi. Lagi.—p.89


Tokoh ini menyembunyikan fakta sebenarnya dari Ben. Tentu saja, apa yang akan terjadi jika dia jujur? Dia mungkin akan kehilangan Ben.

Anak-anak--bahkan juga kadang orang dewasa--mencari "perlindungan" dari dirinya sendiri.

Bahkan, ketika tokoh ini bercerita kepada kita, ia masih menggambarkan bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah sang perempuan tua yang hidup dalam kepalanya, bukan dia. Perempuan tua adalah dirinya yang lain, tapi ia tidak sudi mengakuinya.


Kembali kepada Ben, rasa suka tokoh ini kepada Ben sudah muncul sejak di gudang itu.


Aku minta maaf karena tak sempat pamitan. Aku berbohong. Sesungguhnya, aku tak berani menemuinya karena takut ia akan meminta sapu tangannya kembali. Aku ingin menyimpannya.—p.85


Rasa suka tokoh ini—yang berjenis kelamin laki-laki—kepada Ben, yang juga laki-laki, sudah tumbuh sebelum tokoh ikut ayah tirinya. Tidak ada penjelasan waktu khusus terjadinya sodomi oleh si ayah tiri pertama kali.

Jika terjadi setelah pertemuan tokoh dengan Ben, maka artinya tokoh kita memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis sejak kecil. 

Ada yang bilang kecenderungan menyukai sesama jenis merupakan bawaan sejak lahir, ada yang bilang pengaruh lingkungan. Dalam cerpen ini, bukan berarti kecenderungan itu merupakan bawaan sejak lahir. Rasa haus kasih sayanglah yang membuat si tokoh terenyuh saat ada yang bersedia menghapus air matanya. Dan ternyata yang menghapusnya bukan sang ibu, apalagi ayah kandungnya yang entah di manatidak diceritakan, melainkan Ben. Anak laki-laki seusianyalah yang menggenngam tangannya, menguatkan tanpa banyak bertanya apalagi menghakimi, membuatnya nyaman, membuatnya merasa jatuh cinta. 

Meskipun demikian, meskipun si tokoh merupakan penyuka sesama jenis, ia tetap tidak bisa menikmati perkosaan yang dilakukan si ayah tiri. Seperti halnya, meskipun wanita umumnya menyukai laki-laki, tidak berarti ia bersedia dan suka-suka saja ditiduri semua laki-laki.

Jika terjadi sebelum pertemuan tokoh dengan Ben, maka mungkin sodomi memang benar dosa yang menjadi lingkaran setan. Mungkin, setelah mendapat perlakuan demikian, akhirnya tokoh menyukai sesama jenis.

Tapi, saya cenderung percaya kejadian menyakitkan itu dilakukan si ayah tiri di rumahnya, setelah mereka pindah ke luar kota, setelah pertemuan tokoh dengan Ben. Karena…, tidak ada perempuan tua dalam kilas balik kisah pertemuan tokoh dan Ben di dalam gudang.


Betapa panjang tulisan ribet saya tentang salah satu cerpen dalam buku Kereta Terakhir karya Arvianti Armand ini? Ya…, saya rasa juga demikian. Meskipun, tentu jauh lebih panjang efek yang ditimbulkan dari perbuatan perkosaan.

Maka, janganlah lagi berpikir atau bercanda tidak lucu mengenai tindakan perkosaan. Perbuatan itu bukan hanya perkara rusaknya selaput dara atau lubang dubur *maafkan istilah saya*, efeknya pasti jauh lebih mengerikan dari itu.

Jangan biarkan anak-anak menciptakan perempuan-perempuan tua dalam kepala mereka.




Monday, 16 November 2015

Untuk Menerima Pinangan Memang Butuh Banyak Pertimbangan--Ulasan Critical Eleven karya Ika Natassa



Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia

In life, there are no heroes and villains, only various state of compromise.—p. 113


Sebelumnya, saya ingetin..., di sini ada spoiler-nya.... >_<


Ide buku ini sederhana. Tapi, bisa jadi kisah yang panjang. Berkisah tentang Ale dan Anya, sepasang kekasih yang berusaha menghadapi permasalahan di antara mereka, dan sekaligus permasalahan dengan diri masing-masing.

Iya, masing-masing mereka belum berdamai dengan diri sendiri.
Saya rasa, itu kenapa konflik di antara mereka terjadi cukup lama. Masalah di antara mereka bukan lagi ekonomi, tapi lebih pada masalah individual. 


Anya adalah seorang cewek mandiri yang tanpa Ale pun sudah bisa hidup nyaman. Jadi, apa yang membuat Anya menerima pinangan Ale dulu? Cinta? Ya, cinta Ale ke Anya bisa keliatan orang di sekitar bahkan dari jauh. Tapi, bagaimana bisa Anya sampai pada kalimat: “Kadang cinta aja nggak cukup, Le.”?

Kalau saya sebutkan masalahnya, saya khawatir—saya sering bimbang ingin bercerita atau menyimpan—merusak kenikmatan kalian membaca bagi yang belum membaca. Jadi, ada satu perkataan Ale yang menyakiti Anya. Sedemikian sakit sampai dia kuat memilih cara marah versi cewek yang sulit: diam.

Banyak yang bilang, diamnya cewek lebih mengerikan daripada marah. Di buku ini mungkin kita bisa liat gambarannya. Seperti saya bilang, cowok macam Ale ini memang sudah jarang, tapi masih ada. Tipe cowok yang entah gimana keliatannya nggak ada kurangnya. Ya, kecuali pendiam kalau di dekat orang yang nggak bikin dia nyaman.

Sementara cewek kayak Anya….
Saya juga cewek, dan saat membaca saya nggak bisa membayangkan bertindak sekeras Anya. Tapi, penulisnya meramu dengan dukungan lain. Pertama, Ale kerjanya jauh dan jarang pulang *bukan Bang Toyib*, jadi memungkinkan Anya bersikap diam selama itu. Dan terbukti kan sempat luruh. Kedua, momen Ale bilang begitu pas banget. Pas waktu-waktu Anya sensi akut. 

Cewek, kalau sudah milih marah dengan diam, berarti marahnya sudah di ubun-ubun. Karena sadar, mau berteriak sekeras apa pun percuma, maka lebih baik diam. Dan biarkan waktu berjalan seperti biasa. Para cewek akan menganggap orang yang bikin dia marah juga seperti halnya waktu yang memang harus berjalan, harus berada di garis hidupnya, jadi diamkan saja.

Masalahnya, di lain sisi, cewek sangat butuh tempat curhat. Masalah sepele aja kadang mereka butuh tempat cerita, apalagi masalah serius. Dan di sanalah Anya bertahan menampung semua lukanya sendirian dengan diam, nggak cerita ke siapa-siapa, termasuk ibu dan sahabat-sahabatnya.

Kalau “kenapa” lagi yang muncul, ya karena nggak semua masalah akan mendapat solusi dengan diceritakan. Dan pernikahan semakin mengajarkan hal itu. Kadang, ada hal yang ketika diceritakan justru akan semakin runyam. Masalah dalam rumah tangga termasuk di dalamnya. Anya dan Ale pun sadar, bercerita kepada orang lain tidak akan menimbulkan solusi. Karena hanya mereka yang paling memahami masalahnya dan perasaan sesak yang timbul tenggelam dalam permasalahan mereka.

Karakter Anya ini sulit sekali. Apakah wanita serumit ini?
Iya.

Kalau ada kalimat menyakitkan, maka cewek juara dalam mengingatnya.

Kata orang, waktu akan menyembuhkan semua luka, namun duka tidak semudah itu bisa terobati oleh waktu.--Critical Eleven p. 95 
Dan untuk berdamai dengan rasa sakit itu sulit, lho—bagi cewek. Ahahahaha.


Karakter Anya yang sulit juga terlihat dari bagaimana dia memperlakukan kamar Aidan.


Agak ke psikologis sebenarnya masalah Anya dan Ale, ya siapa sih manusia yang nggak punya masalah psikologis. Tapi, Anya dan Ale lumayan parah. Anya menolak ke makam, Ale menolak ke kamar Aidan. Itu kenapa saya bilang, masing-masing masih belum berdamai dengan diri sendiri. Ada hal yang masih belum bisa mereka terima, tapi juga tidak mereka bagi. Jadilah mengendap dan bersarang di hati masing-masing.

Hal yang saya kurang suka dari novel ini adalah… terlalu banyak detail diulang. Bagi sebagian orang mungkin menyenangkan, tapi dalam novel ini banyak sekali. Cerita Anya tentang apa yang akan dia lakukan dengan Aidan. Cerita Ale tentang apa yang dia suka dari Anya. Cara bercerita yang model diulang.

Misal:
Malam ini, aku merasakan dia memijatku lembut, seperti dulu. Dia elus punggungku dan kedua lenganku, seperti dulu. Lalu dia merengkuhku, memeluk dari belakang, seperti dulu. Aku memejamkan mataku, seperti dulu, Le. (versi Anya)

Sementara:

Gue pijat pundaknya, gue elus rambutnya, dan gue cium rambutnya dan bahunya. (versi Ale)

Nah, model Anya itu yang sering terkesan beralur lambat dengan detail-detail perasaan. Bosaaan….Tapi, di sisi lain, sekaligus membedakan, gimana kalo cewek yang cerita dibandingkan dengan gimana kalo cowok yang cerita.

Hal lain adalah penyelesaian masalah mereka bisa dibilang adalah karena “bantuan Tuhan”, ini ada istilahnya dalam dunia penelitian sastra, tapi saya lupa. Intinya, bukan hasil kontemplasi tokoh sendiri, melainkan karena tokoh mengalami kejadian besar--yang seakan sudah digariskan Tuhan.

Terus, Critical Eleven kan tentang 3 dan 8. Tadinya, saya pikir, akan ada tentang yang 8 menit.

Begitulah.
Yah, saya tetap suka. Dan masih dikit baca buku model beginian.
Ketika ditanya kawan, sedih apa nyesek? Setelah baca novel ini. Saya bilang, nyesek lebih tepat.

Ada quote menarik tentang pernikahan di buku ini.


Saat kita duduk di depan meja penghulu dan melaksanakan ijab kabul, semua kita “pertaruhkan”.—p. 153

Saya rasa, kalimat ini perlu diperhatikan kawan-kawan saya sebelum menikah. Pertaruhan yang sebenar-benarnya.
Jadi, memutuskan untuk menerima pinangan memang perlu banyak pertimbangan. 

Itu resensi lama saya. Dulu, semangat bikin karena efek yang ditimbulkan buku ini.
Dan. Sekarang, dapet kabar. Buku ini akan difilmkan. Uwow~~~
(*0* )

Beberapa hal ini adalah harapan saya. Disesuaikan dengan situasi ketika saya membangun imajinasi visual saat membaca buku ini.

1. Adegan ketika Anya kumpul dengan sahabat-sahabatnya dan dia merasa berada di titik balik dalam hidupnya kudu dimasukin. Karena bagian itu pasti ngena. Saat kita mendengarkan sahabat yang menceritakan kabar gembira sementara kita sedang mati-matian melawan kegetiran dalam diri kita.

2. Fokus tentang Anya dalam novel ini lebih pada kondisi psikologis. Saya rasa, akan baik kalau ada satu dua adegan yang menunjukkan bagaimana perubahan seorang wanita menjadi seorang ibu dalam hal fisik. Misal, perut yang berubah atau air susu yang akan tetap menetes tanpa bisa dikontrol oleh tubuh pemiliknya. 


3. Adegan pembuka di buku ini menurut saya bagus. Orang-orang akan bertanya-tanya: "Apa yang terjadi antara mereka berdua?"
Filmnya bisa dimulai dari tempat serupa, nggak? :D


4. Pilih pemain yang ekspresi wajahnya bisa menunjukkan penghayatan dengan hal yang dialami Ale dan Anya, please. Jangan cuma ganteng dan cantik. 

5. Kalau judulnya tetap Critical Eleven. Bisakah lebih menunjukkan kekritisan makna 3 + 8 yang disebut dalam buku agar lebih "ngena" ke penonton?



Yak, syudah.... Kalo kebanyakan minta dibantai. Memang saya mau memproduseri, kok banyak maunya, ngahahhahahahahah....

Can't wait. >_<

Friday, 13 November 2015

Membaca Cerita di Luar Logika Kita


Kata einstein: Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.

Bagaimana batasan logis yang dapat diterima satu orang dengan orang lainnya? Sama dengan selera genre bacaan, berbeda-beda. 
Tidak sedikit kawan saya yang menolak membaca buku Harry Potter karena merasa dunia sihir adalah hal yang konyol, tidak masuk akal, tidak mungkin terjadi. Sehingga, tidak perlu dibaca.
Mendengar pendapatnya, saya teringat bagaimana sebuah dunia hadir di kepala saya, tentang seorang anak berkacamata yang sedang memandang langit dan memikirkan tentang hidupnya—hal yang dulu sering saya lakukan juga. Imajinasi itu begitu nyata sehingga kemudian sulit sekali meletakkan buku Harry Potter pertama itu sebelum selesai. Sejak saat itu, saya rasa saya sudah nyemplung dengan sukarela ke dalam dunia ciptaan Rowling. Jadi bagaimana mungkin ada yang tidak suka dengan buku ini? 
Apakah tidak masuk akal ada dunia sihir lengkap dengan sekolahnya? Bagi saya, mungkin. Setelah membaca Harry Potter. Bagi teman saya, tidak mungkin.
Perbedaan kami adalah saya tidak memiliki batasan apa-apa saat menerima kata-demi kata yang dirangkai Rowling, sementara kawan saya sudah membangun tembok tinggi untuk dunia di luar dunia manusia. Padahal, saya yakin dia mengenal fabel—yang kalau mau dilogika bisa dibilang sama tidak masuk akalnya.
Lalu bagaimana dengan cerita yang di luar nalar? Seperti cerpen “Metamorfosa” Kafka, misal, yang berkisah mengenai perubahan seorang manusia menjadi kecoak? Ini termasuk tidak masuk logika saya. Lalu kenapa ada orang-orang yang dapat menikmatinya?
Itu adalah kekuatan imajinasi. Kekuatan Kafka bercerita berhasil membuat beberapa pembaca dengan sukarela masuk ke dalam dunia yang diciptakannya. Dan orang-orang itu—saya kira tidak banyak yang benar-benar mampu menikmati cerpen ini—tentu memiliki daya imajinasi yang kira-kira setara. Maksud saya, sudah mengalami banyak kejadian dan sudah membaca banyak buku sehingga penerimaan terhadap hal-hal “aneh” pun lebih luas.
Hal tidak logis bagi seseorang tidak selamanya bertahan tidak logis dalam dirinya. Mungkin, kita saja yang belum mengenal dunia itu. Jika mau mengetes, coba baca ulang cerpen yang dulu terasa tidak masuk akal—kalo novel dianggap kepanjangan. Pasti akan hadir pandangan yang berbeda. Bisa jadi lebih menerima, bisa jadi mengernyit heran, kenapa dulu bisa suka. 

Buku apaan, nih?

Bagaimana menyamakan penerimaan logika seseorang dengan yang lain? Jawabannya terletak pada kesamaan latar belakang pengetahuan penulis dan pembaca.
Mari berbicara logika dalam lingkup lebih kecil. Misal, tokoh yang seorang dokter diceritakan melakukan napas buatan. Bagi saya, bisa saja kejadian itu saya skip dan saya terima dengan lapang dada. Tapi ternyata, di belahan dunia lain *kejauhan oi* ada pembaca yang tidak dapat menerima. Bisa saja karena dia seorang dokter atau orang yang berkutat di bidang serupa sehingga mengetahui pasti bahwa tindakan si tokoh dokter itu keliru. Atau, pembaca pernah membaca buku lain dengan kejadian serupa namun sang dokter mengambil tindakan berbeda. Otaknya akan berpikir, “Harusnya nggak gini, kan?” Lalu mulai mencari informasi untuk mengetahui tindakan yang seharusnya dilakukan dokter yang ada dalam novel ini atau novel sebelumnya dia baca.
Dan begitulah pengetahuan baru tercipta dalam diri manusia. *buset* 
Pertanyaan berikutnya. Apakah kita harus bertahan membaca sampai akhir sebuah kisah yang tidak masuk di akal kita? 

Kapan abisnya ni buku?

Nggak ada yang maksa, dong.
Tapi kadang kita perlu memaksakan diri. Kita butuh wawasan baru. Jadi ada kalanya perlu membaca buku di luar zona nyaman kita. 
Alasan lain kenapa kita kadang perlu memaksakan diri membaca sampai selesai adalah karena saking geregetnya. Karena kita tidak berhak men-judge sebuah karya tanpa membaca sebelumnya. Kita sudah selesai baca aja bisa jadi pendapat kita keliru, apalagi belum baca. Hal ini saya lakukan saat membaca Monogram Murders—memaksa diri menyelesaikan membaca.
Beberapa perdebatan penulis dan pembaca di kolom komentar Goodreads pun karena ketidaklogisan cerita seperti itu, kan? Menurut saya, baik pembaca maupun penulis tentu mendapat pengetahuan baru. Jadi, setelah pertikaian seru itu, ya ambil hikmahnya saja. Bagi penulis untuk memperbaiki diri. Percayalah, riset memang sangat diperlukan. 

Karya berikutnya harus lebih baik.

Bagi pembaca untuk menyadari kalau tidak semua buku yang dicetak layak dibaca. *dilempar ke api*

Saya kembali teringat sebuah kalimat.
Seaneh apa pun cerita, selama mampu meyakinkan pembaca, tidak masalah.
Kira-kira begitu. Kalau nggak salah, kalimat itu saya dengar dari Joni Ariadinata pada sebuah kesempatan. Dan saya sepakat.

Nah, ini kali pertama saya ikut event BBI, Opini Bareng 2015. Semoga sesuai jalur. \('')/




Thursday, 12 November 2015

Ulasan Komik Parfait Tic! Karya Nagamu Nanaji



Komik ini sudah lama dan sering saya lihat di rak rental komik saat masih kuliah. Tapi, karena komik detektif dan horor masih banyak, komik ini nggak pernah tersentuh. Lagian, kalo romance saya lebih suka komik yang satu serial selesai atau bahkan yang dalam satu komik ada beberapa kisah.

Seperti sudah bisa diduga, seperti komik remaja umumnya, Parfait Tic! bercerita tentang cinta. Tepatnya, cinta segitiga antara Fuuko Kameyama, Ichi Shinpo, dan Daiya Shinpo. Awalnya, saya biasa aja bacanya. Beberapa adegan ada quote kecenya. Memasuki seri 13, saya mulai tertarik.

"Ada aku, kan?Jangan terus-menerus membawa kepingan dirinya, dong."--Parfait Tic! 13

Ceritanya standar, cewek muka standar biasa yang karena sifatnya yang unik bisa memikat dua cowok keren. Bahkan, Fuuko berhasil mengubah Daiya yang suka maen cewek jadi menahan diri dan Ichi yang cool jadi lebih berekspresi. Keduanya bahkan dengan gagah saling menyatakan persaingan. Ada yang pake cara halus, nggak jarang terang-terangan. 

Ichi yang terang-terangan bilang...


Daiya yang sangat menjaga Fuuko

Tapi kemudian--mungkin pengaruh budaya juga--Fuuko sempat digambarkan berjuang keras seorang diri. Saya melihatnya, seakan-akan... Fuuko berjuang mati-matian sendirian. Dan itu menjengkelkan. 

Seakan, mereka sengaja membuat Fuuko jatuh cinta untuk kemudian ditinggalkan. Aaaarrrghhh.... *malah baper*


Well, kalau kamu pernah jatuh cinta dan ribet sendiri dengan cinta, maka mungkin kamu bisa memahami perasaan tokoh-tokoh di sini. Apalagi, mereka baru kelas satu SMA, masih meraba-raba, bagaimana perasaan mereka sebenarnya. Bahkan mungkin, masih mencerna, apa itu cinta.

Ichi dan Daiya sama-sama suka Fuuko, tapi dengan cara yang berbeda. Umum, sih. Ichi cool, Daiya serampangan. Masing-masing punya daya tarik. Dan, Fuuko ter-pingpong *ah elah istilahnya* di antara keduanya. Tapi, istilah saya nggak terlalu ngaco, soalnya Fuuko ini awalnya suka sama Daiya, terus sama Ichi, terus sama Daiya lagi.

Bagi pembaca, mungkin hal ini terlalu aneh. Tapi, kalau ngikutin kisahnya di komik, Nagamu cukup berhasil mempertahankan kelogisan kisah ini…sampai nomor belasan.

Memasuki tahap Daiya yang masih cemburu juga bahkan hingga mendekati seri 20, saya agak kesel. Tapi tinggal dikit kalo nggak diselesaikan. Saya sungguh berharap akan ada sesuatu yang berbeda di akhir. Tapi, ternyata saya harus kecewa.

Menurut saya, Fuuko tidak digambarkan cukup kuat di akhir. *mau nulis lanjutannya, nanti spoiler*
Ya, setidaknya, cita-cita Fuuko menjadi hair stylist itu menurut saya salah satu daya tarik. Seharusnya fokus ke situ. *lalu gagal romance*

Karakter tokoh yang labil mungkin wajar, karena mereka semua amsih SMA. Tapi, Daiya dan Ichi yang sempet digambarkan keren kok malah ngeselin? Kesannya, mereka melarikan diri. Hish, kesel. Dan saya baru sadar, kalo gambar yang sering saya pake dulu untuk ditambahin kata-kata, karena bagus adegannya, diambil dari komik ini. Dan gambar di komik ini memang bagus. 

ini salah satu gambar yang ternyata dari komik Parfait Tic!

Dalam komik ini juga ada kesan bahwa melakukan sex saat masih sekolah sudah lumayan dianggap biasa bagi remaja di Jepang sana. Sayang sekali. -_-"




Tuesday, 10 November 2015

Pastikan Kamu Cukup Usia Saat Membaca--Ulasan Buku Aksara Amananunna karya Rio Johan




Judul: Aksara Amananunna
Penulis: Rio Johan
Editor: Pradikha Bestari
Penerbit: KPG
Cetakan Pertama, April 2014



Buku ini berisi 12 cerpen unik karya Rio Johan. Kalau ditanya kesamaan semua karyanya, secara garis besar adalah kemampuan penulisnya menyeret pembaca menuju dunia rekaannya. Seaneh apa pun kedengarannya—atau kelihatannya—pembaca bisa dibuat terbawa bahwa dunia itu benar-benar ada. Sehingga, ketika berakhir, kita baru sadar bahwa sedang berada dalam dunia fiksi.


Beberapa cerpen pertama dalam buku ini setipe, menawarkan dunia tak terbayangkan dengan akhir yang tidak mudah dilupakan. Undang-Undang Antibunuhdiri, cerpen pembuka, termasuk salah satunya.

Dibanding cerpen-cerpen lain, Aksara Amananunna menurut saya malah biasa aja—typo-nya yang luar biasa. Sama seperti Pisang Tidak Tumbuh di Atas Salju. Tapi, yang disebutkan terakhir masih memberi pengajaran bahwa tidak apa-apa mengambil tindakan yang tidak sebagaimana umumnya. “Apa Iya Hitler Kongkalikong dengan Alien?” menurut saya malah seperti lelucon. Ending-nya tidak semenarik cerpen-cerpen lain, seperti Tidak ada Air untuk Mikhail, misal.

Kevalier D’orange tentang kekuatan gunjingan. Orang-orang penasaran dengan jenis kelamin Kevalier D’Orange. Dia seorang Kevalier, loh. Sudah memimpin banyak pertempuran dan menang. Masak, sih, cewek? Tapi, dia misterius banget, loh. Kamarnya nggak boleh dimasukin siapa pun dan mukanya kelewat cantik buat seorang cowok. *lalu teringat cowok-cowok cantik Korea* Hal yang awalnya lelucon menjadi serius. Masalahnya, ditanya pun nggak mau jawab yang serius. Jadi, sebenarnya dia cewek atau cowok? (˘ε ˘)
Temukan jawabannya di akhir cerpen.

Ginekopolis merupakan imajinasi yang ruwet. Seandainya dunia didominasi wanita saja, atau pria saja, seperti apa jadinya? Saya membayangkan lingkup dunia yang lebih kecil saat membaca cerpen ini. Seperti rumah tangga. Siapa yang lebih mendominasi, dan bagaimana jadinya?

Ketika Mubi Bermimpi Menjadi Tuhan yang Melayang di Angkasa juga menarik. Sebenarnya, kamu sedang bermimpi atau tidak saat ini? Kadang, saat mimpi lebih indah dari kenyataan, kita jadi memilih lebih meyakini mimpi.

Ada tiga cerpen khas yang menyentil tentang dunia seksualitas yang mungkin belum kita ketahui dalam buku ini. Komunitas, Riwayat Benjamin, dan Robbie Jobbie. Saya juga cuma pernah tau segelintir. Misal, kalau ada orang-orang yang suka melakukan hal-hal dalam Komunitas, walau nggak kebayang bakal ada yang menampung dan memfasilitasi sebegitunya. Riwayat Benjamin langsung mengingatkan saya pada adegan sebuah film—yang sayangnya saya lupa judulnya—karena adegannya sama-sama dari belakang *lah* dan di taman cenderung kebun sekitar rumah zaman dulu *et buset*. Efeknya bagi yang melihat pun sama-sama besar. Saya sudah curiga dari awal, sih. Waktu saudagar itu mengelus2 pipi Benjamin. Hih! Nah, kalau yang Robbie Jobbie, saya bener-bener baru tau kalau ada model orang yang menikmati beginian. Ending-nya logis, nih.  Saya suka ketiganya…tapi ini nggak mau dikasih tulisan peringatan 21+ gitu, tah?

Saya menulis semua itu sebelum membaca cerpen terakhir, Susanna, Susanna!.

Begini, masing-masing orang memiliki tahapan untuk mencerna sebuah kisah. Dan masing-masing orang memiliki tahapan-tahapan juga untuk dapat mengambil hikmah dari sebuah kisah. Dan kisah yang terakhir ini bisa saya cerna tapi tidak bisa saya tangkap hikmahnya. Buat yang tertarik dengan isu LGBT, kisah ini mungkin menarik. Bagi saya, terlalu seronok. Seperti membaca stensilan—atau menonton AV, yang bukan biasanya pula—pada beberapa bagian. Dan ending-nya pun hanya seperti itu. Saya tidak suka. Apalagi, di tengah-tengah persidangan, ada adegan dagelan antara pelacur dan Pak Hakim. Tentu saja, setting sosialnya dipilih kalangan pelaut, yang terkenal serampangan, dan setting waktunya juga memungkinkan adegan itu, mungkin. Tapi, tetap saja, cerpen terakhir ini tidak memberi banyak hikmah atau pemikiran baru atau pemikiran lain, setidaknya bagi saya.

Dan, kenapa cerpen itu masuk ke dalam kumcer ini? Jika tiga cerpen sebelumnya masih bisa saya maklumi—dan saya bahkan menyarankan peringatan 21+—tapi tidak dengan cerpen ini. Saya tau ada yang suka dengan cerita model demikian, tapi bukankah biasanya sudah ada warning, semacam penanda, bahwa isinya akan demikian? Kumcer ini, yang diterbitkan KPG, seakan berbicara tentang karya sastra umumnya, berbicara kritik sosial dan semacamnya. Mungkin ada kritik terselip dalam cerpen terakhir, tapi… bagi saya, sudah keburu tenggelam dalam lautan berahi yang dipaparkan demikian gamblang.

Saya jadi teringat, sebagian orang tua masih melarang anak-anak mereka untuk membaca komik atau bahkan novel. Karena tidak berguna, atau bahkan bisa membentuk kepribadian yang buruk. Awalnya, bagi saya tidak masuk akal pemikiran demikian. Tapi…, sebenarnya tentu saja ada benarnya. Tergantung, bacaan seperti apa yang dilahap anak-anak Anda? Apakah sudah sesuai dengan umurnya, atau mungkin lebih tepat jika dikatakan, apakah sudah sesuai dengan daya tangkapnya?

Pada usia tertentu, hal-hal yang diterima otak demikian meraja, salah satunya dari lagu, bacaan, game, pola pikir kawan, dan sebagainya. Jika…, jika buku ini dibaca oleh anak yang belum paham…saya hanya khawatir. Karena, rasa penasaran biasanya berkuasa pada jiwa anak muda.

Mengenai penilaian, sejujurnya, typo yang muncul seharusnya tidak sepanen ini pada buku terbitan penerbit sekaliber KPG membuat saya mengurangi satu bintang. Apa editornya nggak fokus karena terlarut dalam ceritanya? *halah* Jadi, bukan salah penulis sepenuhnya mungkin, tapi tetep aja, yang saya nilai adalah wujud buku yang saya pegang, dan typo termasuk di dalamnya. Bukan typo-typo sederhana saja. Kalau nggak percaya, baca, deh. :D

Ditambah cerpen terakhir, membuat saya langsung menurunkan satu bintang. Cerpen serupa ini memang bukan selera saya. Seperti saya yang sampai saat ini belum sanggup membaca tuntas Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan karena terlalu banyak adegan hosh hosh *istilah apa pula ini* di awal... cuma kuat sekitar 100-an halaman. 


Padahal, biasanya saya satu selera dengan Mas Dion, tapi ternyata pendapat kami kali ini berbeda. Jika menurutnya cerpen terakhir paling menarik, bagi saya justru paling nggak, deh. 


Kalo menurut kamu?
Etapi..., pastikan kamu sudah cukup dewasa untuk membaca.


Saturday, 7 November 2015

Jangan Rusak Citra Poirot Lebih dari Ini--Ulasan Novel The Monogram Murders karya Sophie Hannah

Saat mendengar tentang kemungkinan munculnya sebuah buku yang ingin “menghidupkan” kembali Hercule Poirot, saya sudah termasuk golongan yang kontra. Tentu saja saya pun merasa kurang dan ingin kehadiran Poirot lebih banyak lagi. Tapi, bukan berarti diceritakan oleh penulis lain.

Katanya, penulisan ini mendapat izin dari pihak keluarga Agatha. Yah, bagaimanapun prosesnya, buku ini sudah lahir. Dan, saya sudah membacanya.

Saat akan memulai, saya sempat meraba-raba, bagaimana perasaan saya nanti? Apakah bersemangat, kecewa, marah, atau malah jatuh cinta selama membaca dan setelah membaca buku ini?

Jawabannya adalah: kesel.

Kenapa?

Tulisan saya yang kacau selama proses membaca sudah saya rapikan, dan ini poin-poin yang saya ingat.

1. Karakter Poirot
Karakter Poirot yang unik-lah membuat kita eh saya jatuh cinta. Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas Poirot. Terkait membandingkan Poirot punya Agatha dan punya Sophie, begini yang saya temukan.

- Sel-Sel Kelabu
Buku ini justru paling banyak menyebut frasa “sel-sel kelabu” yang terkenal itu. Dan hal ini justru mengurangi rasa spesialnya. Turah-turah, bahasa Jawanya. Mungkin maksudnya agar terasa Poirot-nya. Ish.

- Mata menyala hijau
Ketika menemukan hal menarik atau jawaban dari keping teka-teki, mata Poirot seolah akan menjadi menyala hijau—seperti yang biasanya disebut Hastings.
Dalam novel ini?

"Ooh." Dorcas memiringkan kepala dan menatap Poirot. "Mata Anda berubah aneh dan hijau, Sir."--p.201
..., aku menyadari sesuatu. Mata Poirot berubah semakin hijau.—p. 212

Dan masih ada lagi, cuma saya sudah nggak mau nandain halamannya.
Seperti sel-sel kelabu, penyampaian perubahan mata Poirot ini juga turah-turah.

- Cara Analisis
Saat Jennie masuk ke dalam kafe di mana Poirot minum kopi, Poirot mengira-ngira dari mana Jennie datang, gaya bicaranya, dan sebagainya. Tapi, itu pun dengan bantuan mata jeli Fee Spring. Dan yang berikutnya nggak muncul lagi kecerdasannya ini.

- Kerja Fisik
Poirot malas kalau disuruh “mengendus-endus”. Biarkan mereka yang bekerja, sementara aku berpikir. Gitu biasanya. Jadi, ketika di Hotel Bloxham ditemukan pembunuhan dan Poirot bersibuk, saya sudah berpikir, pasti habis ini Poirot diceritakan nggak mau kerja fisik. Dan itu muncul di bab berikutnya.

Kadang memang Poirot terjun langsung. Tapi..., ini nanti terkait dengan logika cerita, mayat itu ditemukan malam, dan Poirot baru melihat kondisi mayat itu paginya, bersama tuan polisi yang luar biasa, Catchpool. Kalau mendesak, atau tertarik pada kasus tertentu, Poirot memang akan terjun, dan segera.

Lagian, itu mayat tiga dibiarin nunggu pagi, emang polisi ada jam kerjanya, gitu? “Aduh, dah malam. Tunggu besok aja diurusnya. Tim forensik udah bubuk.”
*maafkan saya yang sarkas*

- Cerewet
Ada kalimat Poirot yang menarik.

“Madame, saya tidak akan bertanya apabila menurut saya hal itu tidak penting.”—p. 190

Padahal, biasanya Poirot itu akan menggunakan beberapa taktik untuk memancing omongan. Kadang dia menekan, kadang bertanya langsung, kadang mengajak berbincang hal yang seolah tidak penting. Dan kalimat itu tidak seperti Poirot yang saya kenal—bisa jadi karena kasus ini memang sebenarnya bukan untuk Poirot sama sekali sehingga kehadiran Poirot di sana pun seperti dipaksakan.

Misal, ketika di suatu bagian dalam novel ini, dia dibilang limbung saat bangun dari kursi karena kebanyakan duduk, biasanya itu bukan karena limbung. Bisa jadi dia memancing reaksi orang yang di dekatnya. Atau agar bisa berpura-pura butuh pegangan untuk membuktikan sesuatu. Apakah jika aku menekan tangannya di sebelah sini, dia akan merasa sakit? Jika tidak, berarti dia tidak pernah terluka, dan dia berbohong. *Ini misalnya panjang amat*

- Rapi dan Bersih
Poirot memang kadang sentimental, bersikap manis. Tapi, sampai melepas sarung tangan dan mengukir sebuah bunga di tanah dengan ujung kukunya? Eee..., itu siapa, ya?
Memangnya nggak ada ranting di sekitar sana? Lagian, Poirot memang kadang berbaik hati kepada orang yang jatuh cinta, tapi tidak pada perselingkuhan yang dilakukan dengan penuh kebohongan.

- Perut dan Otak
Tau minuman favorit Poirot yang sering bikin orang bingung? Sirup—itu terjemahan dari novel-novel Agatha, entah diksi aslinya dalam bahasa Inggris. Jadi, ketika di sini Poirot berkutat dengan kopi... sampai pernah dikisahkan dia minum bercangkir-cangkir kopi..., ini siapa woi? Rasanya pengen teriak gitu.
Bagi Poirot, penting apa yang dimasukkannya ke dalam perut. Karena itu akan sangat mempengaruhi bagaimana otaknya bekerja. Lupa kalimat persisnya.

- Kumis yang Dibanggakan
Kok saya nggak nemu kesombongan Poirot tentang betapa hebat kumisnya, atau betapa simetris bentuknya pada kedua sisinya.

Menurut saya, Poirot di sini timbul tenggelam. Beberapa kebiasaannya memang diceritakan Sophie, tapi bukan jiwanya. Seakan dia kadang muncul pada adegan ini, kemudian Poirot lupa ditampilkan dan hadir sebagai detektif entah siapa yang melakukan tugas sebagaimana detektif umumnya.

2. Rekan Poirot yang Lugu Lucu
Catchpool adalah kesalahan lain dalam novel ini.

Awalnya, saya kira tokoh ini untuk menggantikan Hastings, karena dia yang bercerita. Tapi, cara berceritanya buruk. Dan dia pun polisi yang diceritakan kelewat buruk.

Hastings adalah dokter veteran perang, dan pikirannya yang sering lurus-lurus aja justru membantu Poirot. Tapi, Catchpool adalah polisi Scotland Yard, maka saya teringat jangan-jangan dia setara dengan Inspektur Japp.

Tapi, saya salah. Catchpool adalah gabungan gagal antara Hastings dan Japp.

Hastings, seperti saya sebutkan, cenderung lugu. Tapi, pertentangan pikirannya dengan Poirot justru sering jadi lucu. Dan biasanya pembaca akan sepikiran dengan Hastings. Sama penasarannya dengan Hastings. Tapi, Catchpool kan polisi. Seenggaknya, seperti Japp, ada kesombongan atau keinginan untuk mempertahankan kredibilitas statusnya itu, kan?

Japp, meskipun sering minta bantuan Poirot, sering songong. Dengan mengambil tindakan atau keputusan sendiri. Tapi, Catchpool? Oy, ampun.

Dia kayak ditenteng Poirot. Polisi kok malah manut banget. Karakter apaan kali.

Ini beberapa yang saya inget:

Saat melihat mayat, Catchpool malah kabur. Hih! Diceritakan seolah dia punya trauma dengan kondisi mayat tertentu. Ya tapi nggak kabur juga kali. Dan akhirnya, mayat-mayat itu baru diurus keesokan paginya. *turut berdukacita*

Ketika sudah ketahuan kalau tiga mayat itu berasal dari desa yang sama, Catchpool nggaka ada inisiatif untuk ke desa itu dan mulai menyelidiki. Usulan itu malah datang dari Poirot. Dan apa kata si polisi ini...?

“Poirot, kau harus ikut denganku,” kataku agak putus asa. “Aku agak kebingungan dalam kasus Bloxham ini. Aku bergantung padamu.”—p. 108

Kedengarannya seperti anak kecil yang merengek minta ditemenin ke kamar mandi. Kalau nggak inget ini novel pinjeman, mungkin sudah terbanting cantik. *halah*

Dan cara investigasi dia di Desa Great Holling juga nggak banget. Tapi, masih bisa dimungkin-mungkinin, lah.

Dan ketika Poirot membuka tabir rahasia kasus, Catchpool membuka tabir ketidakbergunaannya di depan umum dengan celetukan-celetukannya.
*maafkan, saya sarkas lagi*

Catchpool ini mau dibuat gimana sama Sophie? Tolong, lah. Dia sudah dua tahun di Scotland Yard, dan sudah lima tahun jadi polisi, dan sudah sering menghadapi kematian yang mengenaskan (p.28), terus kenapa lembek begitu? Kalau Catchpool diciptakan cuma buat dijadiin bulan-bulanan biar Poirot keliatan cerdas, saya rasa ini justru penghinaan. Nggak perlu polisi sebodoh Catchpool—dan bagaimana sih dia bisa jadi polisi bagian pembunuhan dengan karakter yang begitu?—untuk menunjukkan kecerdasan Poirot.

3. Orang Inggris yang Sopan
Salah satu hal lain yang sering ditampilkan Agatha dalam buku-bukunya adalah kesopanan orang Inggris dan keterbukaan Poirot. Ini nanti akan bertentangan. Cara Poirot merayu orang Inggris--seperti Hastings--yang merasa perlu menjaga image agar berkata yang sebenarnya merupakan salah satu daya tarik buku-buku Agatha.

Tapi, di buku ini, salah satu pelayan mengungkapkan bahwa dia mendengar percakapan 2 tamu di hotelnya di depan 100 orang lain. Padahal, biasanya pelayan akan mati-matian menjaga lisan dari mengungkapkan perbuatan tidak sopannya, termasuk menguping pembicaraan. Dan di tempat yang lebih privat, Poirot akan meyakinkan bahwa merupakan hal penting baginya untuk jujur, dan hal ini tidak akan merusak citranya sebagai seorang pelayan profesional.
Gitu.

4. Psikologi Korban dan Pelaku
Salah satu yang saya ingat dari buku-buku Agatha adalah bahwa pembunuh itu sombong. Karena itu, pembunuh yang berhasil melakukan perbuatannya sekali akan memiliki kecenderungan untuk melakukannya lagi. Karena mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi: perbuatan mereka nggak akan ketahuan karena mereka cerdas. Di samping itu, ada keinginan untuk mengungkapkan kehebatan mereka. Jadi, mereka nggak mau ketahuan membunuh, tapi ingin diakui sudah melakukan hal yang hebat.
Karena itu, salah satu cara paling efektif adalah mengajak mereka berbicara banyak-banyak. Di antara sekian banyak obrolan, akan ada selipan petunjuk tanpa mereka sengaja.

Sejauh itu karakter pembunuh yang dipelajari Agatha, setekun dia memperhatikan ketepatan penggunaan racun dalam novelnya.
Tapi, karakter penjahat dan korban dalam novel ini nggak menarik. Sudah, gitu aja.

5. Cara Bercerita
Bisa jadi, kesalahan naskah ini berada pada: bagaimana kisah itu diceritakan. Saya tidak tahu, apakah Sophie ingin menjadi Agatha, atau ingin memakai Poirot untuk Catchpool? Yang pasti, kisah ini nggak membuat kita sepenasaran ketika membaca tulisan Agatha. 

6. Logika Cerita
Polisi menuruti Poirot (sudah saya sebutkan sebelumnya).

Mayat ditinggalkan (sudah saya sebutkan sebelumnya).

Penggeledahan
Ada satu bagian, Poirot membawa surat penggeledahan dan seorang polisi untuk memeriksa seorang saksi. Saya mulai lelah sebenernya. Biasanya, Poirot justru unggul karena dia adalah detektif, dia terlepas dari keharusan birokrasi dan dokumen-dokumen. Dia lebih bebas bergerak, dan lebih bisa dipercaya orang sebagai tempat bercerita. Daripada dengan polisi, Poirot akan lebih mudah mengorek keterangan justru karena dia nggak ribet. Dia sering membuka diri sebagai teman cerita demi mendapatkan jalan menuju fakta. Jadi, ketika di sini Poirot malah memilih jalan begitu, saya hanya bisa mengelus dada kucing yang kebetulan lewat.

Belum lagi, memang sebesar apa pengaruh Poirot kok malah dia yang repot geledah-geledah, dan bukan si Cathpool. Oh, iya, waktu itu Cathpool ceritanya lagi melakukan penyelidikan ke desa. Terkait hal ini....

Investigasi
Si Catchpool ngapain rempong sendirian berapa hari di desa, memang dia nggak punya anak buah?

Sekarat
Saat salah satu saksi di desa, Margaret Ernst, diserang dan sekarat, Poirot dan Catchpool diminta segera ke sana. Katanya, Margaret mau ketemu Cathcpool sebelum dia meninggal. Tapi, sampe sana..., mereka malah sempet-sempetnya rumpik ngobrol lama sama dokternya. Saya sudah terlalu lelah untuk berteriak, “Woi, malah pada ngobrol. Katanya orang itu sekarat.”

Logika cerita lain yang mengganjal pikiran saya ada di halaman 191. Ceritanya kan Catchpool masih di desa, jadi Poirot belum tau dong tentang info dari dia. Tapi....

“.... Apakah Anda mengenal inisial PIJ, atau mungkin PJI? Mungkin seseorang dari Grat Holling.”
Wajah Nancy pucat pasi. “Ya,” bisiknya. “Patrick James Ive. Dia Pendeta.”
“Ah! Pendeta ini, dia meninggal dengan tragis, bukan? Istrinya juga?”

Dari mana Poirot tau kalau pendeta itu meninggal dengan tragis?—kan dia detektif hebat—anggeplah begitu, walau Agatha biasanya selalu menjelaskan semua kejanggalan di akhir hingga tidak ada pertanyaan tersisa di otak pembaca. Lalu, dari mana Poirot bisa menebak..., “Istrinya juga?” Dia detektif apa cenayang? *kzl!*

Sudah, itu aja.
Buku ini membenarkan dugaan saya bahwa sebaiknya tulisan ini tidak pernah ditulis, atau diterbitkan. Sophie Hannah sepertinya sudah punya banyak karya dan dia sebenarnya tidak perlu menyeret Poirot untuk menambah eksistensinya.
Kata suami saya, mungkin dia melakukannya karena fans Poirot juga, kayak kamu.

Tapi, nggak gini caranya.

Awal membaca, saya mencoba menetralkan hati dan pikiran. Apalagi, salah satu teman yang selesai membaca buku ini duluan berkata bahwa tokoh-tokoh Agatha khas. Setelah saya jelaskan ini bukan tulisan Agatha, dia baru menyadarinya. Saya pikir, mungkin penulis ini cukup berhasil. Saya harus seneng atau sedih, ya?

Ternyata hasilnya mengecewakan. Sangat mengecewakan. Bukan hanya gagal menghadirkan Poirot kembali, novel ini juga gagal sebagai novel detektif. Saya menghargai kesukaan Sophie, misalnya suka, dengan Poirot dan Agatha, tapi tolong berhentilah menulis tentang Poirot.

Gimana kalo ada orang kayak temen saya yang baru mau mengenal karya Agatha dan justru menemukan buku ini dulu, dan nggak sadar kalo ini bukan buku tulisan Agatha.

Jangan rusak citra Poirot lebih dari ini.

Kalau kamu memang menyukai Poirot, maka berhentilah menulis tentangnya sekarang juga. Kalau kamu tidak menyukainya, apalagi.

*tulisan ini akan segera dirapikan begitu nemu PC dengan koneksi inet yang oke*

Pages