Kata einstein: Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. |
Bagaimana batasan logis yang dapat diterima satu orang dengan orang lainnya? Sama dengan selera genre bacaan, berbeda-beda.
Tidak sedikit kawan saya yang menolak
membaca buku Harry Potter karena merasa dunia sihir adalah hal yang konyol,
tidak masuk akal, tidak mungkin terjadi. Sehingga, tidak perlu dibaca.
Mendengar
pendapatnya, saya teringat bagaimana sebuah dunia hadir di kepala saya, tentang
seorang anak berkacamata yang sedang memandang langit dan memikirkan tentang
hidupnya—hal yang dulu sering saya lakukan juga. Imajinasi itu begitu nyata
sehingga kemudian sulit sekali meletakkan buku Harry Potter pertama itu sebelum
selesai. Sejak saat itu, saya rasa saya sudah nyemplung dengan sukarela ke
dalam dunia ciptaan Rowling. Jadi bagaimana mungkin ada yang tidak suka dengan
buku ini?
Apakah tidak masuk akal ada dunia sihir lengkap dengan sekolahnya? Bagi saya, mungkin. Setelah membaca Harry Potter. Bagi teman saya, tidak mungkin.
Apakah tidak masuk akal ada dunia sihir lengkap dengan sekolahnya? Bagi saya, mungkin. Setelah membaca Harry Potter. Bagi teman saya, tidak mungkin.
Perbedaan
kami adalah saya tidak memiliki batasan apa-apa saat menerima kata-demi kata
yang dirangkai Rowling, sementara kawan saya sudah membangun tembok tinggi
untuk dunia di luar dunia manusia. Padahal, saya yakin dia mengenal fabel—yang kalau
mau dilogika bisa dibilang sama tidak masuk akalnya.
Lalu
bagaimana dengan cerita yang di luar nalar? Seperti cerpen “Metamorfosa” Kafka,
misal, yang berkisah mengenai perubahan seorang manusia menjadi kecoak? Ini
termasuk tidak masuk logika saya. Lalu kenapa ada orang-orang yang dapat
menikmatinya?
Itu adalah
kekuatan imajinasi. Kekuatan Kafka bercerita berhasil membuat beberapa pembaca
dengan sukarela masuk ke dalam dunia yang diciptakannya. Dan orang-orang itu—saya
kira tidak banyak yang benar-benar mampu menikmati cerpen ini—tentu memiliki
daya imajinasi yang kira-kira setara. Maksud saya, sudah mengalami banyak
kejadian dan sudah membaca banyak buku sehingga penerimaan terhadap hal-hal “aneh”
pun lebih luas.
Hal tidak
logis bagi seseorang tidak selamanya bertahan tidak logis dalam dirinya.
Mungkin, kita saja yang belum mengenal dunia itu. Jika mau mengetes, coba baca
ulang cerpen yang dulu terasa tidak masuk akal—kalo novel dianggap kepanjangan. Pasti akan hadir pandangan yang berbeda. Bisa jadi lebih menerima, bisa jadi mengernyit heran, kenapa dulu bisa suka.
Buku apaan, nih? |
Bagaimana
menyamakan penerimaan logika seseorang dengan yang lain? Jawabannya terletak
pada kesamaan latar belakang pengetahuan penulis dan pembaca.
Mari berbicara
logika dalam lingkup lebih kecil. Misal, tokoh yang seorang dokter diceritakan
melakukan napas buatan. Bagi saya, bisa saja kejadian itu saya skip dan saya
terima dengan lapang dada. Tapi ternyata, di belahan dunia lain *kejauhan oi*
ada pembaca yang tidak dapat menerima. Bisa saja karena dia seorang dokter atau
orang yang berkutat di bidang serupa sehingga mengetahui pasti bahwa tindakan
si tokoh dokter itu keliru. Atau, pembaca pernah membaca buku lain dengan
kejadian serupa namun sang dokter mengambil tindakan berbeda. Otaknya akan
berpikir, “Harusnya nggak gini, kan?” Lalu mulai mencari informasi untuk
mengetahui tindakan yang seharusnya dilakukan dokter yang ada dalam novel ini
atau novel sebelumnya dia baca.
Dan begitulah
pengetahuan baru tercipta dalam diri manusia. *buset*
Pertanyaan
berikutnya. Apakah kita harus bertahan membaca sampai akhir sebuah kisah yang
tidak masuk di akal kita?
Nggak ada yang maksa, dong.
Kapan abisnya ni buku? |
Nggak ada yang maksa, dong.
Tapi kadang
kita perlu memaksakan diri. Kita butuh wawasan baru. Jadi ada kalanya perlu membaca
buku di luar zona nyaman kita.
Alasan lain
kenapa kita kadang perlu memaksakan diri membaca sampai selesai adalah karena saking
geregetnya. Karena kita tidak berhak men-judge sebuah karya tanpa membaca
sebelumnya. Kita sudah selesai baca aja bisa jadi pendapat kita keliru, apalagi
belum baca. Hal ini saya lakukan saat membaca Monogram Murders—memaksa diri
menyelesaikan membaca.
Beberapa
perdebatan penulis dan pembaca di kolom komentar Goodreads pun karena
ketidaklogisan cerita seperti itu, kan? Menurut saya, baik pembaca maupun
penulis tentu mendapat pengetahuan baru. Jadi, setelah pertikaian seru itu, ya
ambil hikmahnya saja. Bagi penulis untuk memperbaiki diri. Percayalah, riset memang
sangat diperlukan.
Bagi pembaca untuk menyadari kalau tidak semua buku yang dicetak layak dibaca. *dilempar ke api*
Karya berikutnya harus lebih baik. |
Bagi pembaca untuk menyadari kalau tidak semua buku yang dicetak layak dibaca. *dilempar ke api*
Saya kembali
teringat sebuah kalimat.
Seaneh apa pun cerita, selama mampu meyakinkan pembaca, tidak masalah.
Kira-kira
begitu. Kalau nggak salah, kalimat itu saya dengar dari Joni Ariadinata pada
sebuah kesempatan. Dan saya sepakat.
Nah, ini kali pertama saya ikut event BBI, Opini Bareng 2015. Semoga sesuai jalur. \(◦'▽'◦)/
Imajinasi yg bs diterima/meyakinkan pembaca itu yg sperti apa?kadang bs beda kan, harus berwawasan luas jg ya untk mengarang cerita/imajinasi yg bs meyakinkan itu
ReplyDeleteIya, makanya menurut saya logika yang bisa diterima masing-masing orang beda, tergantung pengalaman dan pengetahuan masing-masing.
Delete:D
Ini tulisan yang hebat berkat baca Monogram Murders ta Mbak?
ReplyDeleteWeh, baru liat aku, Mas.
DeleteSalah satunya iya...
Ish, sedih, loh, kalo inget... :'(
inspiratif..
ReplyDeletesalam kenal, salam bloger kawan, mari saling berbagi,saling mendukung..
Doni setyawan
www.ppsetyasemesta.blogspot.co.id
Salam kenal, Mas Doni.
DeleteMeluncur ke sana...
:)
Setuju, Mbak, tulisan ini mewakili pemikiran saya juga. Pasalnya, ketika searching review buku yg terkenal bagus di Goodreads, saya paling suka baca review yg memberi bintang satu atau dua. Saat yg lain memberi bintang banyak2, dia memberi sedikit, dan ini yg membuat saya tertarik. Namun saya sering kesal jika ada pembaca memberi review negatif hanya karena alasan "tidak memahami cerita", "bahasa penulis susah dipahami", atau yg lbh parah "not my cup of tea".
ReplyDeleteyeup, saya juga setuju.
ReplyDeletesaya memang belum pernah baca harry potter, tapi saya bukan golongan orang yang menganggap cerita ini konyol. Sebagai pembaca yang budiman *halah* saya berusaha tidak membatasi daya imaji diri, bahkan saat pengetahuan saya sendiri jauh tertinggal dari penulis. Tapi kayak sebaris kalimat di atas 'seaneh apapun cerita, selama mampu meyakinkan pembaca, tidak masalah'. saya juga sepakat. banyak cerita aneh yang berhasil meyakinkan saya, membuat saya terkadang terlihat aneh di mata orang lain *baca: orang yang tak suka baca