Entri Populer

Tuesday, 3 November 2015

Ketika Kau Tiba-Tiba Harus Menjalani Kehidupan Orang Lain, Ingin Menetap Atau Kembali?--Ulasan Buku The Dead Return


Judul: The Dead Returns
Penulis: Akiyoshi Rikako
Penerjemah: Andry Setiawan
Penerbit: Haru
Cetakan Pertama, Agustus 2015

 
Blurb
Suatu malam, aku didorong jatuh dari tebing.
Untungnya aku selamat.
 


Namun, saat aku membuka mataku dan menatap cermin,
aku tidak lagi memandang diriku yang biasa-biasa saja.
Tubuhku berganti dengan sosok pemuda tampan yang tadinya hendak menolongku. 


Dengan tubuh baruku, aku bertekad mencari pembunuhku.
 


Tersangkanya, teman sekelas.

Total 35 orang.
Salah satunya adalah pembunuhku.


***

Koyama Nobuo adalah cowok cupu di kelas. Pendiam, pemalu, sulit bergaul. Di kelas, dia menemukan sahabat yang sama-sama suka dengan kereta api (otaku kereta api), namanya Yoshio. Dua cowok ini tipe cowok yang nggak menonjol, bahkan mungkin sering nggak kelihatan, atau lebih tepatnya nggak dianggap ada. *nyanyi Kekasih yang Tak Dianggap ala Pinkan*
Suatu ketika, Koyama Nobuo mendapat surat yang memintanya datang ke tepi tebing. Berpikir surat itu dari Yoshio, Koyama pun berangkat. Tapi, ternyata… di sana dia didorong.
Saat seseorang berteriak hendak membantunya, tidak lama kemudian orang itu juga jatuh, di sebelahnya.
Mereka berdua jatuh, lalu Koyama tidak sadarkan diri.

Ketika sadar, dia sudah ada di rumah sakit. Tapi, dikelilingi orang-orang yang tidak dia kenal. Orang-orang ini mengaku mama dan papanya. Mama? Papa? Mana mungkin Koyama memanggil orang tuanya seperti itu. Dia memanggil ibunya dengan “ibu”, dan ayahnya sudah tiada.
Koyama sadar apa yang telah terjadi, dia dan pemuda yang bernama Takahashi sudah bertukar tubuh. Tapi, tadi mama, eh, ibunya bilang..., Anak yang meninggal itu, kasihan sekali.” (p.44)

Rupanya, Takahashi mati. Jadi, apakah dia akan mengaku atau memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelidiki pelakunya?
Koyama mengambil pilihan kedua.
Dia pindah ke SMA-nya yang lama dan mulai menyelidiki.
Di sana, dengan tubuh Takahashi yang tampan, dia merasa jauh lebih mudah diterima. 

Apakah karena fisik yang berbeda, maka dia mendapat perlakuan yang berbeda?
Kita, para pembaca, tentu dapat menjawabnya. 

Dan Koyama sempat ingin jadi pahlawan, bagi Yoshio, dan Maruyama—gadis cupu di kelasnya. Tapi, kemudian menyadari bahwa dia pun menilai teman-temannya secara sepihak. Dia menilai bahwa mereka orang-orang sok keren yang pilih-pilih teman. Berarti, dia juga menilai orang secara fisik, kan? 

Menilai dari fisik tidak melulu berarti memperlakukan spesial orang-orang yang berpenampilan rapi, tampan, cantik. Tapi, membedakan perlakuan terhadap mereka yang suram, tidak tampan, dan tidak cantik pun termasuk tindakan menilai orang lain secara fisik.
Kita semua melakukannya.
Setidaknya, pernah melakukannya. 

menilai orang dari sudut mata..., sekalogus sudut hati.

Koyama juga menyadari bahwa ternyata, dia pun tak ada bedanya. Bahkan mungkin lebih buruk, karena merasa menjadi korban, lalu pura-pura jadi pahlawan.
Pada bagian-bagian seperti ini, penulis menyisipkan pembelajaran bagi remaja, remaja Jepang khususnya. Masalah remaja Jepang sudah sering kita temui melalui komik-komik mereka. Jadi, bukan hal baru. Mulai dari tuntutan orang tua yang terlalu memaksakan kehendak, tekanan dari pihak sekolah, hingga bullying.
Tapi, di buku ini bukan tentang bullying.

Tidak ada bullying di kelas ini. .... Meskipun demikian, tidak ada seorang pun berusaha untuk menyapa orang yang pendiam dan tidak bisa bergaul dengan baik. .... Namun, dalam artian tertentu, diabaikan secara tak sadar dan tanpa alasan rasanya lebih menyakitkan daripada diabaikan karena di-bully. (p.98)

Menerima perlakuan baik dari keluarga Takahashi, teman satu band Takahashi, dan Mika, pacar Takahashi, Koyama kadang merasa iri. Pasti Takahashi ini anak yang baik sekali sampai disayang sedemikian rupa.
Yang menarik adalah pengalaman Koyama dengan Mika. Pacar Takahashi yang cantik itu tidak jarang menggodanya dengan harapan ingatan kekasihnya itu kembali. Mungkin, kalau Takahashi sudah berpengalaman dengan cewek-cewek. Tapi bagi Koyama yang pendiam, ini adalah pengalaman pertama. Duduk berdekatan saja sudah bisa membuat wajahnya panas, apalagi kalau dipancing-pancing. *Yak, yang cewek…, jangan suka mancing-mancing begini, yeee….*

Budaya Jepang memang menarik, tapi bukan berarti semua hal yang mereka lakukan keren. Seperti kebebasan mereka dalam menjalin hubungan, masak mau ditiru juga? Itu sudah nggak keren. Memiliki kesadaran bahwa kita, cewek-cewek, harus bisa menjaga diri jauh lebih keren. *oke, khotbahnya cukup, balik ke naskah*
Sambil berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan Takahashi si anak keren itu, Koyama terus mencari alibi satu per satu teman sekelasnya. Hingga akhirnya…, dia menyadari. Bahkan orang-orang terdekatnya tidak memiliki alibi yang kuat saat kejadian.
Merasa terkhianati, terluka dan tidak bisa mempercayai siapa pun, Koyama tetap bertekad untuk mengetahui siapa pelaku sebenarnya.
Dan, ternyata, pelakunya adalah….
Nggak ketebak.

***

Memang benar, pelaku dalam buku ini lebih nggak terduga dari Girls in The Dark.
Tapi, efeknya kepada saya lebih besar Girls in The Dark.
Biasanya, saat membaca buku dengan penulis baru, saya nggak begitu peduli dengan penulisnya. Yang penting bagi saya, karyanya. Ketika bukunya menarik atau nggak menarik, nah... baruuu....

Siapa nama penulisnya?
Akiyoshi Rikako.
Oh, anak Sastra. *keselek ijazah*
Oh, anak film juga. Hm.... *elus2 dagu*
Baiklah, orang ini benar-benar menyebalkan. Umurnya berapa, ya?
Ngahahahahha....

Saya suka sekali dengan teknik menulisnya. Kemampuannya menceritakan membuat visualisasi pembaca tercipta dengan baik. Saya rasa, kalau dijadikan film akan menarik sekali.
Seperti Girls in The Dark, pembaca akan membuka kembali beberapa halaman sebelumnya untuk meyakinkan diri bahwa dia telah melewatkan banyak hal…, banyak petunjuk yang tercecer.
Saran saya, jangan baca review siapa-siapa sebelum membaca. Bersihkan kepala dari prasangka, dan nikmati saja sajian dari Akiyoshi Rikako ini.


2 comments:

  1. *nyanyi Kekasih yang Tak Dianggap ala Pinkan*

    Eh itu bukannya lagunya Kertas (a.k.a Armada jadul) ya?

    Benar sekali, kita terbiasa menilai orang dari fisik, kemudian membeda-bedakan. Tidak dia, tidak mereka, tetapi juga kita. Tidak berprasangka dalam berteman, akan lebih menyenangkan rasanya. Tapi, bukannya kita juga harus pilih-pilih teman karena kalau memang nggak cocok alias nemu teman yang salah juga bisa jadi runyam. Gimana tuh mbak?

    *jawab cepat nggak pake lama LOL

    ReplyDelete
  2. Buset... aku malah g tau kalo itu lagu lama yang dinyanyiin ulang. Ngahahahahah...
    Ah, iya, bisa juga diartiin jadiin semua orang temen ya, Mas.
    Maksudnya perlakuan secara umum. Misal, sama-sama agak membungkuk di depan orang yang lebih tua, mau orang itu pake jas karena selesai rapat dekan atau pake baju penuh lumpur karena abis nggarap sawah....
    Kalo udah tau sifatnya g baik, ya nggak perl dijadiin temen. Cukup kenal ae. Pilih-pilih temen emang perlu.
    Tapi bukan berarti yg sering diem di pojokan kelas diem karena aneh... mungkin cuma nggak tau gimana harus memulai percakapan.

    ReplyDelete

Pages