Judul: The Dead Returns
Penulis: Akiyoshi Rikako
Penerjemah: Andry Setiawan
Penerbit: Haru
Cetakan Pertama, Agustus 2015
Blurb
Suatu malam, aku didorong jatuh dari tebing.
Untungnya aku selamat.
Namun, saat aku membuka mataku dan menatap cermin,
aku tidak lagi memandang diriku yang biasa-biasa saja.
Tubuhku berganti dengan sosok pemuda tampan yang tadinya hendak menolongku.
Dengan tubuh baruku, aku bertekad mencari pembunuhku.
Tersangkanya, teman sekelas.
Total 35 orang.
Salah satunya adalah pembunuhku.
***
Untungnya aku selamat.
Namun, saat aku membuka mataku dan menatap cermin,
aku tidak lagi memandang diriku yang biasa-biasa saja.
Tubuhku berganti dengan sosok pemuda tampan yang tadinya hendak menolongku.
Dengan tubuh baruku, aku bertekad mencari pembunuhku.
Tersangkanya, teman sekelas.
Total 35 orang.
Salah satunya adalah pembunuhku.
***
Koyama Nobuo adalah cowok cupu
di kelas. Pendiam, pemalu, sulit bergaul. Di kelas, dia menemukan sahabat yang
sama-sama suka dengan kereta api (otaku kereta api), namanya Yoshio. Dua
cowok ini tipe cowok yang nggak menonjol, bahkan mungkin sering nggak kelihatan,
atau lebih tepatnya nggak dianggap ada. *nyanyi Kekasih yang Tak Dianggap
ala Pinkan*
Suatu ketika, Koyama Nobuo
mendapat surat yang memintanya datang ke tepi tebing. Berpikir surat itu dari
Yoshio, Koyama pun berangkat. Tapi, ternyata… di sana dia didorong.
Saat seseorang berteriak hendak
membantunya, tidak lama kemudian orang itu juga jatuh, di sebelahnya.
Mereka berdua jatuh, lalu Koyama
tidak sadarkan diri.
Ketika sadar, dia sudah ada di
rumah sakit. Tapi, dikelilingi orang-orang yang tidak dia kenal. Orang-orang
ini mengaku mama dan papanya. Mama? Papa? Mana mungkin Koyama memanggil orang
tuanya seperti itu. Dia memanggil ibunya dengan “ibu”, dan ayahnya sudah tiada.
Koyama sadar apa yang telah
terjadi, dia dan pemuda yang bernama Takahashi sudah bertukar tubuh. Tapi, tadi
mama, eh, ibunya bilang..., “Anak yang meninggal itu, kasihan sekali.”
(p.44)
Rupanya, Takahashi mati. Jadi,
apakah dia akan mengaku atau memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelidiki
pelakunya?
Koyama mengambil pilihan kedua.
Dia pindah ke SMA-nya yang lama
dan mulai menyelidiki.
Di sana, dengan tubuh Takahashi
yang tampan, dia merasa jauh lebih mudah diterima.
Apakah karena fisik yang berbeda,
maka dia mendapat perlakuan yang berbeda?
Kita, para pembaca, tentu dapat
menjawabnya.
Dan Koyama sempat ingin jadi
pahlawan, bagi Yoshio, dan Maruyama—gadis cupu di kelasnya. Tapi, kemudian
menyadari bahwa dia pun menilai teman-temannya secara sepihak. Dia menilai
bahwa mereka orang-orang sok keren yang pilih-pilih teman. Berarti, dia juga
menilai orang secara fisik, kan?
Menilai dari fisik tidak melulu
berarti memperlakukan spesial orang-orang yang berpenampilan rapi, tampan,
cantik. Tapi, membedakan perlakuan terhadap mereka yang suram, tidak tampan,
dan tidak cantik pun termasuk tindakan menilai orang lain secara fisik.
Kita semua melakukannya.
Setidaknya, pernah melakukannya. menilai orang dari sudut mata..., sekalogus sudut hati. |
Koyama
juga menyadari bahwa ternyata, dia pun tak ada bedanya. Bahkan mungkin lebih
buruk, karena merasa menjadi korban, lalu pura-pura jadi pahlawan.
Pada bagian-bagian seperti ini,
penulis menyisipkan pembelajaran bagi remaja, remaja Jepang khususnya. Masalah
remaja Jepang sudah sering kita temui melalui komik-komik mereka. Jadi, bukan
hal baru. Mulai dari tuntutan orang tua yang terlalu memaksakan kehendak,
tekanan dari pihak sekolah, hingga bullying.
Tapi, di buku ini bukan tentang bullying.
Tidak ada bullying di kelas ini. .... Meskipun demikian, tidak ada seorang pun berusaha untuk menyapa orang yang pendiam dan tidak bisa bergaul dengan baik. .... Namun, dalam artian tertentu, diabaikan secara tak sadar dan tanpa alasan rasanya lebih menyakitkan daripada diabaikan karena di-bully. (p.98)
Menerima perlakuan baik dari
keluarga Takahashi, teman satu band Takahashi, dan Mika, pacar
Takahashi, Koyama kadang merasa iri. Pasti Takahashi ini anak yang baik sekali
sampai disayang sedemikian rupa.
Yang menarik adalah pengalaman
Koyama dengan Mika. Pacar Takahashi yang cantik itu tidak jarang menggodanya
dengan harapan ingatan kekasihnya itu kembali. Mungkin, kalau Takahashi sudah
berpengalaman dengan cewek-cewek. Tapi bagi Koyama yang pendiam, ini adalah
pengalaman pertama. Duduk berdekatan saja sudah bisa membuat wajahnya panas,
apalagi kalau dipancing-pancing. *Yak, yang cewek…, jangan suka mancing-mancing
begini, yeee….*
Budaya Jepang memang menarik,
tapi bukan berarti semua hal yang mereka lakukan keren. Seperti kebebasan
mereka dalam menjalin hubungan, masak mau ditiru juga? Itu sudah nggak keren. Memiliki
kesadaran bahwa kita, cewek-cewek, harus bisa menjaga diri jauh lebih keren. *oke,
khotbahnya cukup, balik ke naskah*
Sambil berusaha menyesuaikan diri
dengan kehidupan Takahashi si anak keren itu, Koyama terus mencari alibi satu
per satu teman sekelasnya. Hingga akhirnya…, dia menyadari. Bahkan orang-orang
terdekatnya tidak memiliki alibi yang kuat saat kejadian.
Merasa terkhianati, terluka dan tidak
bisa mempercayai siapa pun, Koyama tetap bertekad untuk mengetahui siapa pelaku
sebenarnya.
Dan, ternyata, pelakunya adalah….
Nggak ketebak.
***
Memang benar, pelaku dalam buku ini lebih nggak terduga dari Girls in The Dark.
Tapi, efeknya kepada saya lebih
besar Girls in The Dark.
Biasanya, saat membaca buku
dengan penulis baru, saya nggak begitu peduli dengan penulisnya. Yang penting
bagi saya, karyanya. Ketika bukunya menarik atau nggak menarik, nah...
baruuu....
Siapa nama penulisnya?
Akiyoshi Rikako.
Oh, anak Sastra. *keselek ijazah*
Oh, anak film juga. Hm.... *elus2
dagu*
Baiklah, orang ini benar-benar
menyebalkan. Umurnya berapa, ya?
Ngahahahahha....
Saya suka sekali dengan teknik
menulisnya. Kemampuannya menceritakan membuat visualisasi pembaca tercipta dengan
baik. Saya rasa, kalau dijadikan film akan menarik sekali.
Seperti Girls in The Dark,
pembaca akan membuka kembali beberapa halaman sebelumnya untuk meyakinkan diri
bahwa dia telah melewatkan banyak hal…, banyak petunjuk yang tercecer.
Saran saya, jangan baca review
siapa-siapa sebelum membaca. Bersihkan kepala dari prasangka, dan nikmati saja
sajian dari Akiyoshi Rikako ini.
*nyanyi Kekasih yang Tak Dianggap ala Pinkan*
ReplyDeleteEh itu bukannya lagunya Kertas (a.k.a Armada jadul) ya?
Benar sekali, kita terbiasa menilai orang dari fisik, kemudian membeda-bedakan. Tidak dia, tidak mereka, tetapi juga kita. Tidak berprasangka dalam berteman, akan lebih menyenangkan rasanya. Tapi, bukannya kita juga harus pilih-pilih teman karena kalau memang nggak cocok alias nemu teman yang salah juga bisa jadi runyam. Gimana tuh mbak?
*jawab cepat nggak pake lama LOL
Buset... aku malah g tau kalo itu lagu lama yang dinyanyiin ulang. Ngahahahahah...
ReplyDeleteAh, iya, bisa juga diartiin jadiin semua orang temen ya, Mas.
Maksudnya perlakuan secara umum. Misal, sama-sama agak membungkuk di depan orang yang lebih tua, mau orang itu pake jas karena selesai rapat dekan atau pake baju penuh lumpur karena abis nggarap sawah....
Kalo udah tau sifatnya g baik, ya nggak perl dijadiin temen. Cukup kenal ae. Pilih-pilih temen emang perlu.
Tapi bukan berarti yg sering diem di pojokan kelas diem karena aneh... mungkin cuma nggak tau gimana harus memulai percakapan.