Cerpen "Perempuan Tua dalam Kepala" yang saya ulas dari buku ini |
Sejak membaca “Perempuan Tua dalam Kepala” karya Avianti Armand
dalam buku Dari Salawat Dedaunan Sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta: 20
Tahun Cerpen Kompas Pilihan, saya selalu terngiang dengan kisah ini. Seperti
saya sebutkan sebelumnya, bagi saya cerpen ini memberi pemahaman mengenai
bagaimana pemerkosaan itu sesungguhnya.
Dalam ulasan kali ini akan saya bahas. Jadi, ini bukan resensi dan
akan penuh spoiler. Sebaiknya, baca dulu cerpen ini agar tidak kecewa. Bisa baca di sini.
Saya ingat, ada yang pernah berkata bahwa ketika diperkosa,
sebaiknya nikmati saja. Bukan cuma di Indonesia, ternyata. Coba cek di sini secuplik sisa beritanya. Setelah mendengar
pernyataan bodoh yang mungkin dimaksudkan sebagai guyonan itu, saya sakit
kepala. Dan ketika menjadi bahasan dengan beberapa orang, salah satu kenalan
pun memberi pro yang serupa. Bahwa bukankah korban bisa saja menikmati
pemerkosaan?
Mendengarnya, saya semakin sakit kepala…dan langsung tersalurkan.
*tarik napas*
Setelah tragedi emosional dengan orang itu, saya berpikir,
jangan-jangan bukan hanya mereka, melainkan ada beberapa lagi yang berpikir
demikian.
Bagaimana bisa?
Apa tidak mengerti makna perkosa?
per·ko·sa, me·mer·ko·sa v 1 menundukkan dng kekerasan; memaksa dng kekerasan; menggagahi; merogol: ~ negeri orang; laki-laki bejat itu telah ~ gadis di bawah umur; 2 melanggar (menyerang dsb) dng kekerasan: tindakan itu dianggapnya ~ hukum yg berlaku; negara itu dicap sbg negara yg ~ hak asasi manusia;
Lihat pada kata kekerasan yang ada di sana. Itulah yang
membedakan perkosaan dan suka sama suka. Kalau kamu dirayu pacar dan mau
ditiduri olehnya, itu bukan perkosaan. Tapi ketika kamu menolak dan tiba-tiba
dia menekan kamu ke dinding, membekap mulut kamu agar tidak berteriak, menampar
bahkan menabrakkan kepalamu ke dinding agar berhenti meronta…, maka itu perkosaan.
Lalu, jika bukan pengidap sado masokis, di sebelah maknanya bagian
dari adegan itu yang bisa disebut dinikmati? Bahkan meskipun perempuan yang
dipaksa melayani seperti tadi adalah pelacur, ketika dia tidak bersedia melayani
dan dipaksa, itu disebut pemerkosaan.
Dipaksa.
Dengan kekerasan.
Tolong camkan.
Kembali ke cerpen.
Jauh sebelum ini, saya menonton film—saya lupa judulnya—yang di
dalamnya disebutkan bahwa sodomi bagai lingkaran setan. Korbannya akan menjadi pelaku,
dan demikian seterusnya.
Sudah banyak bukti bahwa bagaimana masa kecil seseorang dihabiskan
akan sangat berdampak pada bagaimana dia di masa depan. Luka yang terjadi saat
masa kecil seseorang bisa jadi berpengaruh menjadi watak seumur hidupnya.
Ada dua cerpen dalam kumcer ini yang membahas mengenai pengaruh
masa kecil ini. Yang pertama adalah “Sempurna”. Jika ingin melihat bagaimana
anak-anak Anda yang dipaksa sempurna dengan ikut les dan kontes di masa
depan, mungkin tokoh Lara dalam cerpen ini bisa jadi salah satu gambaran.
Cerpen lain, tentu saja, “Perempuan Tua dalam Kepala”.
Bukan hal baru memang kisah mengenai anak yang mengalami kekerasan
fisik di masa kecil. Saat membaca ulang cerpen ini, saya terbayang
berita-berita yang belakangan ditayangkan di televisi. Apakah perasaan
anak-anak itu juga seperti itu? Mencari perlindungan…hingga ketika tidak
mendapat dari orang tua di sekitarnya, datanglah si perempuan tua. Dan tinggal
di kepalanya, mungkin selamanya mendekam di sana.
Biasanya, pelakunya bahkan justru orang dekat, demikian pula dalam
buku ini. Tokoh dalam cerpen ini mengalami kekerasan seksual dari bapak tirinya
ketika dia masih kecil.
“Lelaki yang dicintai ibu mencintaiku juga…. Ia sering memintaku duduk di pangkuannya. Sambil bercerita tentang rumahnya di kota lain yang punya kolam ikan koi, tangannya akan membelai pahaku. Aku suka geli dan menyuruhnya berhenti. Tapi ia tak peduli. Ibu juga tak peduli. Ibu malah senang karena ada yang menjagaku di rumah jika ia menghabiskan waktu dan uangnya di mal.—p. 86
Di hari perempuan tua itu datang, ibu meninggalkanku dengan laki-laki itu.—p. 86
“Tutup matamu. Kamu tak akan merasa sakit.” Lelaki itu berbohong. Aku merasakan nyeri yang luar biasa di bawah sana. Dan tetap nyeri walau mataku telah terpejam. Aku menjerit. Lelaki itu membenturkan kepalaku ke tembok. Aku menjerit lagi. Ia membenturkan kepalaku lagi. Lagi. Lagi. ….”—p. 87
Jangan tutup mata. Dan memang sepatutnya mual.
Mungkin, memang demikian perasaan anak-anak itu. Mungkin, lebih
parah dari itu. Mungkin, mereka bukan hanya dibenturkan ke tembok. Mungkin,
telah banyak perempuan tua dalam kepala anak-anak di sekitar kita.
Perhatikan kutipan cerpen berikut:
Aku tak menyukainya. Dia tak menyukaiku. Dia memakiku ketika aku menolong anak laki-laki yang jatuh dari sepeda,….Tapi ia bertepuk senang ketika aku menempelengi pengendara motor yang memotong jalur mobilku.—p. 82
Sebenarnya, mereka tidak mau, tidak suka dengan perempuan tua dalam
kepala mereka. Tapi, tidak mampu mengusirnya. Bahkan, tidak jarang mereka
justru mengikuti saran perempuan tua itu.
Uniknya…, kehadiran Ben, seorang kawan lama di masa kecilnya yang
pernah menghibur ketika ia menangis dalam sebuah gudang, membuka kisah baru.
Tokoh ini sengaja menyimpan sapu tangan yang diberikan Ben untuk
mengusap air matanya sebagai kenang-kenangan sebelum ia terpaksa pindah dan
kemudian ikut dengan ayah tirinya tadi.
Tokoh yang sekarang sudah dewasa ini, bertemu kembali dengan Ben
dan mereka menghabiskan malam bersama. Lalu ia berkata singkat: Ayah tiriku
mati muda.—p. 90
Itu katanya kepada Ben, sambil khawatir perempuan tua dalam
kepalanya menjadi tidak suka dan kembali mengambil alih emosinya.
Kejadian sebenarnya ada pada halaman sebelumnya.
Ibu bilang, laki-laki tidak boleh cengeng. Ia tetap pergi meski aku
merengek-rengek memintanya tinggal. Saat itu, aku benar-benar membencinya.
Satu, dua, tiga… Laki-laki itu menggandengku ke kamar. Empat, lima,
enam… Laki-laki itu melucuti celanaku. Tujuh, delapan, sembilan… Ia
menelungkupkanku di tempat tidur. Tangannya mulai menggerayangi pantatku yang
terbuka. Aku menutup mata erat-erat.—p. 89
Bayangkan seorang anak kecil menghitung ketakutannya. Menghitung detik saat ia akan menerima kesakitan lagi. Menghitung kematian sebagian jiwanya.
Di hitungan ke sepuluh, pintu rumah
perempuan tua itu terbanting terbuka. Mukanya marah. Sebelas, dua belas… Lelaki
itu menindih tubuhku. Napasnya mulai terengah.—p. 89
Perempuan tua itu keluar, berusaha menolongnya, karena sang ibu
yang dimintai pertolongan tidak mau mendengar.
Tiga belas… Perempuan tua itu berteriak garang. Dari mulutnya
keluar kata-kata paling kotor yang pernah kudengar. Laki-laki itu terjengkang
kaget.—p. 89
Laki-laki itu terjengkang karena apa yang dirasa si tokoh keluar
dari mulut perempuan tua itu sebenarnya keluar dari mulutnya sendiri. Perempuan
tua sudah menjelma menjadi dirinya. Perempuan tua merupakan dirinya yang
diciptakan sebagai bentuk perlindungan psikologis dari serangan luar. Dari
bentuk perlindungan psikologis, perempuan tua menjelma menjadi perlindungan
fisik.
Dengan sigap, perempuan tua itu meraih lambu baca di samping tempat
tidur. Sepenuh tenaga, dihantamkannya kaki lampu itu ke kepala laki-laki. Besi
beradu tulang. Aku mendengar suara retak. Tubuh laki-laki itu terpuruk ke
lantai. Darah merembes pelan dari lukanya. Sekali lagi perempuan tua
menghantamkannya. Lagi. Lagi. Lagi.—p.89
Tokoh ini menyembunyikan fakta sebenarnya dari Ben. Tentu saja, apa
yang akan terjadi jika dia jujur? Dia mungkin akan kehilangan Ben.
Anak-anak--bahkan juga kadang orang dewasa--mencari "perlindungan" dari dirinya sendiri. |
Bahkan, ketika tokoh ini bercerita kepada kita, ia masih menggambarkan
bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah sang perempuan tua yang hidup dalam
kepalanya, bukan dia. Perempuan tua adalah dirinya yang lain, tapi ia tidak
sudi mengakuinya.
Kembali kepada Ben, rasa suka tokoh ini kepada Ben sudah muncul
sejak di gudang itu.
Aku minta maaf karena tak sempat pamitan. Aku berbohong.
Sesungguhnya, aku tak berani menemuinya karena takut ia akan meminta sapu
tangannya kembali. Aku ingin menyimpannya.—p.85
Rasa suka tokoh ini—yang berjenis kelamin laki-laki—kepada Ben,
yang juga laki-laki, sudah tumbuh sebelum tokoh ikut ayah tirinya. Tidak ada
penjelasan waktu khusus terjadinya sodomi oleh si ayah tiri pertama kali.
Jika terjadi setelah pertemuan tokoh dengan Ben, maka artinya tokoh
kita memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis sejak kecil.
Ada yang bilang kecenderungan menyukai sesama jenis merupakan bawaan sejak lahir, ada yang bilang pengaruh lingkungan. Dalam cerpen ini, bukan berarti kecenderungan itu merupakan bawaan sejak lahir. Rasa haus kasih sayanglah yang membuat si tokoh terenyuh saat ada yang bersedia menghapus air matanya. Dan ternyata yang menghapusnya bukan sang ibu, apalagi ayah kandungnya yang entah di mana—tidak diceritakan, melainkan Ben. Anak laki-laki seusianyalah yang menggenngam tangannya, menguatkan tanpa banyak bertanya apalagi menghakimi, membuatnya nyaman, membuatnya merasa jatuh cinta.
Meskipun
demikian, meskipun si tokoh merupakan penyuka sesama jenis, ia tetap tidak bisa menikmati perkosaan yang dilakukan si ayah tiri.
Seperti halnya, meskipun wanita umumnya menyukai laki-laki, tidak berarti ia
bersedia dan suka-suka saja ditiduri semua laki-laki.
Jika terjadi sebelum pertemuan tokoh dengan Ben, maka mungkin
sodomi memang benar dosa yang menjadi lingkaran setan. Mungkin, setelah
mendapat perlakuan demikian, akhirnya tokoh menyukai sesama jenis.
Tapi, saya cenderung percaya kejadian menyakitkan itu dilakukan si
ayah tiri di rumahnya, setelah mereka pindah ke luar kota, setelah pertemuan
tokoh dengan Ben. Karena…, tidak ada perempuan tua dalam kilas balik kisah
pertemuan tokoh dan Ben di dalam gudang.
Betapa panjang tulisan ribet saya tentang salah satu cerpen dalam
buku Kereta Terakhir karya Arvianti Armand ini? Ya…, saya rasa juga demikian.
Meskipun, tentu jauh lebih panjang efek yang ditimbulkan dari perbuatan
perkosaan.
Maka, janganlah lagi berpikir atau bercanda tidak lucu mengenai
tindakan perkosaan. Perbuatan itu bukan hanya perkara rusaknya selaput dara
atau lubang dubur *maafkan istilah saya*, efeknya pasti jauh lebih mengerikan dari itu.
Jangan biarkan anak-anak menciptakan perempuan-perempuan tua dalam kepala mereka. |
Wow, sebuah ulasan yang begitu dalam--lumayan berat--tapi bak ada sesuatu di dalamnya. Kemudian, saya teringat pernah membaca cerpen ini di kumcer Kompas yang kupinjem dulu itu, Mbak. Penulis baru membuka bahwa si tokoh adalah cowok yang diperkosa cowok sehingga saya pun terpaksa membaca ulang cerpen itu dari awal untuk mengubah mindset saya selama membaca cerpen itu untuk kali pertama (kala itu saya menganggap si tokoh adalah perempuan). Jadi, sudah jelas, bahwa antara lingkungan dan bawaan sama-sama memiliki andil dalam membentuk orientasi seksual seseorang. Meskipun yang kedua (bawaan) masih diperdebatkan.
ReplyDeleteSama....
DeleteAku pun langsung kayak kena pukul pas bagian itu. Imajinasi sebelumnya buyar dan mesti diset ulang sambil semangat ngelanjutin baca.
Iya. Yang genetik aku belum nemu contoh meyakinkan....
permisi mau tanya. jadi cerpen ini tuh tema nya tentang apa ya? apakah disorientasi seksual, traumatik seksual atau kepribadian ganda? dan perempuan tua itu hanya tokoh rekaannya saja atau perempuan tua itu sengaja dibuat untuk mnegibaratkan ibunya? mohon bantuannya, saya lagi mengkaji cerpen ini soalnya.
ReplyDeleteWah, maaf, baru baca, saya lagi jarang buka blog.
DeleteBisa hubungi saya di medsos lain kalau lain kali darurat.
Saya rasa tokoh Ben memang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis sejak kecil.
Kemudian, dia mendapat perlakuan begitu oleh ayah tirinya.
Meskipun trauma setelah diperkosa, nyatanya dia tetap menyukai Ben.
Perempuan tua menurut saya merupakan bentuk benteng yang diciptakan oleh tokoh demi melindungi dirinya sendiri.
Ada orang yang baik, tapi kemudian berubah setelah mengalami hal luar biasa.
Perempuan tua menurut saya merupakan pribadi lain yang tercipta setelah tokoh mengalami kekerasan seksual.
Naskah ini memang akan sangat menarik jika dikaji dari sisi psikologi.
Salam.
layak jadi bacaan wajib nih buat nambah wawasan
ReplyDeleteNonton film gratis
Iya... bagus. :D
Delete