Entri Populer

Tuesday, 1 December 2015

Dampak Mengerikan yang Perang Berikan--Ulasan Mengail di Air Keruh karya Agatha Christie




Judul: Mengail di Air Keruh
Penulis: Agatha Christie
Penerbit: Gramedia

Dunia akan menjadi tempat yang sulit dihuni—kecuali bagi yang kuat.—Hercule Poirot

Keluarga besar Cloade terbiasa, atau dibiasakan, menggantungkan hidup mereka pada Gordon Cloade. Mereka sudah terbiasa hidup aman dan nyaman bertahun-tahun hingga suatu ketika, Gordon memutuskan menikah lagi. Saat menikah, umur Gordon adalah 62 tahun. Dan dia menikahi perempuan berusia 24 tahun bernama Rosaleen saat sedang melakukan perjalanan ke luar negeri. Wajar jika muncul anggapan bahwa Rosaleen hanya mengincar harta Gordon. Dan ketika baru dua hari tiba di London, terjadi serangan udara, rumah mereka terkena serangan udara. Seisi rumah meninggal, Gordon dan para pelayan, kecuali Rosaleen dan kakak Rosaleen yang bernama David Hunter.

Jadi, Gordon belum sempat membuat surat wasiat baru dan seketika meninggalkan anggota keluarga besarnya dalam keadaan terkatung-katung.

Secara hukum, harta itu menjadi hak Rosaleen. Hak harta itu akan kembali kepada keluarga besar Cloade jika Rosaleen mati. Tapi, dia masih muda, jadi kematian tampaknya masih akan lama sekali bertandang.
Kecuali....

Nah, wajar jika tiap-tiap anggota keluarga Cloade menginginkan kematian Rosaleen. Mereka yang terbiasa hidup nyaman tiba-tiba dipaksa mandiri. Mereka terpaksa meminta, yang tampaknya tidak sesuai dengan karakter mereka. Terbiasa menerima, memang. Tapi meminta? Nanti dulu.

Buku ini terbagi menjadi tiga bagian.

Pada awal buku mengenai waktu pertama kali kondisi keluarga Cloade didengar Poirot, dan bagaimana kemudian dia terlibat di dalamnya.

Bagian berikutnya disebut: Bagian Pertama. Bagian ini adalah kisah keluarga Cloade. Keadaan mereka yang susah setelah kematian Gordon. Ada Lynn yang baru kembali dari perang dan ibunya, Mrs, Marchmont. Ada Jeremy Cloade, seorang pengacara, dan istrinya, Frances. Ada Dokter Lionel Cloade, dan istrinya, kita sebut saja Bibi Kathie. Dan ada juga Rowley Cloade, salah satu keponakan Gordon Cloade. Kita akan diajak mengikuti seluk beluk tujuh orang ini, yang terbiasa dimanjakan Gordon Cloade dan tiba-tiba harus meminta uang kepada Rosaleen, dan kakaknya, David Hunter.

Bagian Kedua dimulai ketika Poirot kembali terlibat.

Seperti biasa, Agatha akan membuat kita terpesona dengan betapa banyaknya petunjuk yang dia sebar, seperti ranjau, tapi kita seolah buta. Yah, saya sudah baca buku ini lebih dari dua kali, jadi saya sudah tau sebagian besar kisahnya, dan itu memang mengurangi sedikit greget. Masalahnya, kok saya nggak bisa inget gimana ending-nya, ya? Sambil bertanya-tanya saya lanjutkan membaca hingga akhirnya tiba pada bagian akhir. Dan saya mengerti.

Ending ini pasti tidak dapat diterima otak saya sehingga otak saya menolak untuk menyimpannya sebagai memori. *Ngahahahahahahah* *kumat*

Tapi, sekarang akan saya ingat. Agar ketika kangen dan ingin baca ulang buku Agatha, saya tidak perlu mengambil buku ini. Ending-nya sungguh merusak. Bukan tentang kasusnya.

Tapi, tentang karakter tokoh. Seperti... melihat temanmu yang mempertahankan hubungan dengan orang yang selalu menyiksanya. Menjengkelkan. Dan jika dikatakan bahwa itu karena ada cinta yang besar di antara keduanya maka otak saya belum sampai untuk bisa menerima cinta macam itu.

Entah apa yang ingin disampaikan Agatha dengan menampilkan karakter seperti ini. Apakah terkait dengan kegelisahan Lynn bahwa jangan-jangan yang lebih mengerikan dari perang bukanlah mati terkena ranjau, melainkan pulang tapi tidak bisa lagi menjadi orang yang sama? Tidak bisa lagi merasakan kedamaian yang sama.

Saya beberapa kali mendengar, atau melihat di film, ada orang yang setelah kembali dari perang lebih suka berada dalam suasana tegang sehingga justru sulit merasa nyaman dalam suasana tenang. Akhirnya, mereka kadang justru memilih berbuat onar. Bukan demi apa-apa, hanya demi merasakan pacuan adrenalin lagi.
Apakah saat itu kondisinya memang pemulihan pascaperang sehingga Agatha menyampaikan tentang pentingnya kekuatan manusia untuk bertahan pada beberapa tempat dalam novel ini. 

Apa yang terjadi atas tumbuhan menjalar bila beringin tempatnya melilit tumbang?
Watak tidak tinggal diam. Dia bisa mengumpulkan kekuatan. Dia bisa pula membusuk. Bagaimana seseorang itu sebenarnya, baru kelihatan nyata bila dia menghadapi cobaan—apakah kita bisa bertahan atau jatuh dalam menghadapinya.—Poirot, Mengail di Air Keruh p. 234

Manusia tidak berubah. –p. 289, ucapan Poirot ini diulang pada p. 298.

Saya juga sempat berpikir, jangan-jangan, ini adalah sisipan pesan, seperti Oscar Wilde dalam Dorian Gray yang menceritakan perasaan saling suka sesama jenis, jangan-jangan Agatha ingin mengenalkan kondisi psikologis sadomasokis yang timbul dalam jiwa manusia pascaperang.
Ya..., saya tau mungkin ini kejauhan. Tapi bukan tidak mungkin, kan? *tetep*
Dan jika memang dugaan saya ini benar--kalau-kalau nanti ada yang mau riset keterkaitan tahun novel ini dibuat dengan kondisi psikologi masyarakat London saat itu--maka novel ini sepatutnya justru dapet 5 bintang.

Lalu, saya juga teringat dengan cerpenis Amerika, O. Henry. Pada salah satu cerpennya dia bercerita tentang seorang tokoh perempuan yang meminta kepada temannya yang seorang penulis menceritakan kisah nyata dengan mengubah ending-nya. Agar cerita itu lebih bermoral. Saya jadi berpikir, apakah lalu karya fiksi harus selalu menunjukkan contoh pelajaran baik bagi pembaca? Bahwa yang jahat akan kalah dan yang baik akan menang?
Jangan-jangan..., saya juga sebenarnya ingin fiksi selalu bermoral?
*Hikz*

Ini akan jadi bahasan yang ruwet. Dan sebelum saya telanjur jauh, akan saya hentikan.

Terlepas dari hal yang memenuhi otak saya terkait ending yang tidak biasa dari Agatha ini, tokoh X ini memang tidak kuat, cenderung labil, jadi ya tidak menarik. Dan saya tidak suka. *kumat lagi* Apakah tidak mungkin ada sosok seperti ini? Mungkin. Dan itu bikin makin kesel.
Mungkin perang memang mengubah banyak hal.

Saya sarankan, bagi yang belum pernah membaca buku Agatha Christie sebelumnya, jangan ambil buku ini. E..., baca yang lain masih banyak. Baru jika dirasa kurang dan masih ingin membaca tentang Poirot, buku ini bisa dijadikan pilihan. Atau, coba kalau cowok yang baca. Mungkin akan ada pandangan lain dari sisi pembaca laki-laki. 

Saya memang jatuh cinta pada Poirot, tapi otak saya tidak mau percaya pada ending-nya. Mungkin, masalah ini setara dengan yang ditanyakan salah satu tokoh kepada Poirot dalam buku ini: 
“Bisakah kita mencintai seseorang yang tidak kita percayai?”
Dan Poirot menjawab: “Sayangnya, memang bisa.”


*postingan ini disimpen buat event BBI: Baca Bareng 2015 




*Sekarang hampir jam 4 pagi. Tapi saya khawatir jika menunda, saya akan smakin kehilangan gairah untuk menulis ulasan tentang buku ini. *nguap anggun, bubuk cantik

3 comments:

  1. "Saya jadi berpikir, apakah lalu karya fiksi harus selalu menunjukkan contoh pelajaran baik bagi pembaca? Bahwa yang jahat akan kalah dan yang baik akan menang?
    Jangan-jangan..., saya juga sebenarnya ingin fiksi selalu bermoral?"

    Jangan-jangan, saya juga sama!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi, Mas, senenganmu kan Chrismor....
      Dan senenanganku Abdullah Harahap.
      Ahahahahahhahah....

      Delete

Pages