Judul: Mengail di Air Keruh
Penulis: Agatha Christie
Penerbit: Gramedia
Dunia akan menjadi tempat yang sulit dihuni—kecuali bagi yang kuat.—Hercule Poirot
Keluarga besar Cloade terbiasa, atau dibiasakan,
menggantungkan hidup mereka pada Gordon Cloade. Mereka sudah terbiasa hidup
aman dan nyaman bertahun-tahun hingga suatu ketika, Gordon memutuskan menikah
lagi. Saat menikah, umur Gordon adalah 62 tahun. Dan dia menikahi perempuan
berusia 24 tahun bernama Rosaleen saat sedang melakukan perjalanan ke luar negeri.
Wajar jika muncul anggapan bahwa Rosaleen hanya mengincar harta Gordon. Dan
ketika baru dua hari tiba di London, terjadi serangan udara, rumah mereka
terkena serangan udara. Seisi rumah meninggal, Gordon dan para pelayan, kecuali
Rosaleen dan kakak Rosaleen yang bernama David Hunter.
Jadi, Gordon belum sempat membuat surat wasiat baru dan
seketika meninggalkan anggota keluarga besarnya dalam keadaan terkatung-katung.
Secara hukum, harta itu menjadi hak Rosaleen. Hak harta itu
akan kembali kepada keluarga besar Cloade jika Rosaleen mati. Tapi, dia masih
muda, jadi kematian tampaknya masih akan lama sekali bertandang.
Kecuali....
Nah, wajar jika tiap-tiap anggota keluarga Cloade
menginginkan kematian Rosaleen. Mereka yang terbiasa hidup nyaman tiba-tiba dipaksa
mandiri. Mereka terpaksa meminta, yang tampaknya tidak sesuai dengan karakter
mereka. Terbiasa menerima, memang. Tapi meminta? Nanti dulu.
Buku ini terbagi menjadi tiga bagian.
Pada awal buku mengenai waktu pertama kali kondisi keluarga
Cloade didengar Poirot, dan bagaimana kemudian dia terlibat di dalamnya.
Bagian berikutnya disebut: Bagian Pertama. Bagian ini adalah
kisah keluarga Cloade. Keadaan mereka yang susah setelah kematian Gordon. Ada
Lynn yang baru kembali dari perang dan ibunya, Mrs, Marchmont. Ada Jeremy
Cloade, seorang pengacara, dan istrinya, Frances. Ada Dokter Lionel Cloade, dan
istrinya, kita sebut saja Bibi Kathie. Dan ada juga Rowley Cloade, salah satu
keponakan Gordon Cloade. Kita akan diajak mengikuti seluk beluk tujuh orang ini,
yang terbiasa dimanjakan Gordon Cloade dan tiba-tiba harus meminta uang kepada
Rosaleen, dan kakaknya, David Hunter.
Bagian Kedua dimulai ketika Poirot kembali terlibat.
Seperti biasa, Agatha akan membuat kita terpesona dengan
betapa banyaknya petunjuk yang dia sebar, seperti ranjau, tapi kita seolah
buta. Yah, saya sudah baca buku ini lebih dari dua kali, jadi saya sudah tau
sebagian besar kisahnya, dan itu memang mengurangi sedikit greget. Masalahnya,
kok saya nggak bisa inget gimana ending-nya, ya? Sambil bertanya-tanya
saya lanjutkan membaca hingga akhirnya tiba pada bagian akhir. Dan saya
mengerti.
Ending ini pasti tidak dapat diterima otak saya
sehingga otak saya menolak untuk menyimpannya sebagai memori.
*Ngahahahahahahah* *kumat*
Tapi, sekarang akan saya ingat. Agar ketika kangen dan ingin
baca ulang buku Agatha, saya tidak perlu mengambil buku ini. Ending-nya
sungguh merusak. Bukan tentang kasusnya.
Tapi, tentang karakter tokoh. Seperti... melihat temanmu
yang mempertahankan hubungan dengan orang yang selalu menyiksanya.
Menjengkelkan. Dan jika dikatakan bahwa itu karena ada cinta yang besar di
antara keduanya maka otak saya belum sampai untuk bisa menerima cinta macam
itu.
Entah apa yang ingin disampaikan Agatha dengan menampilkan
karakter seperti ini. Apakah terkait dengan kegelisahan Lynn bahwa
jangan-jangan yang lebih mengerikan dari perang bukanlah mati terkena ranjau,
melainkan pulang tapi tidak bisa lagi menjadi orang yang sama? Tidak bisa lagi
merasakan kedamaian yang sama.
Saya beberapa kali mendengar, atau melihat di film, ada
orang yang setelah kembali dari perang lebih suka berada dalam suasana tegang
sehingga justru sulit merasa nyaman dalam suasana tenang. Akhirnya, mereka
kadang justru memilih berbuat onar. Bukan demi apa-apa, hanya demi merasakan
pacuan adrenalin lagi.
Apakah saat itu kondisinya memang pemulihan pascaperang sehingga Agatha menyampaikan tentang pentingnya kekuatan manusia untuk bertahan pada
beberapa tempat dalam novel ini.
Apa yang terjadi atas tumbuhan menjalar bila beringin tempatnya melilit tumbang?
Watak tidak tinggal diam. Dia bisa mengumpulkan kekuatan. Dia bisa pula membusuk. Bagaimana seseorang itu sebenarnya, baru kelihatan nyata bila dia menghadapi cobaan—apakah kita bisa bertahan atau jatuh dalam menghadapinya.—Poirot, Mengail di Air Keruh p. 234
Manusia tidak berubah. –p. 289, ucapan Poirot ini diulang pada p. 298.
Saya juga sempat berpikir, jangan-jangan, ini adalah sisipan
pesan, seperti Oscar Wilde dalam Dorian Gray yang menceritakan perasaan saling
suka sesama jenis, jangan-jangan Agatha ingin mengenalkan kondisi psikologis sadomasokis yang timbul dalam jiwa manusia pascaperang.
Ya..., saya tau mungkin ini kejauhan. Tapi bukan tidak mungkin, kan? *tetep*
Dan jika memang dugaan saya ini benar--kalau-kalau nanti ada yang mau riset keterkaitan tahun novel ini dibuat dengan kondisi psikologi masyarakat London saat itu--maka novel ini sepatutnya justru dapet 5 bintang.
Lalu, saya juga teringat dengan cerpenis Amerika, O. Henry. Pada
salah satu cerpennya dia bercerita tentang seorang tokoh perempuan yang meminta
kepada temannya yang seorang penulis menceritakan kisah nyata dengan mengubah
ending-nya. Agar cerita itu lebih bermoral. Saya jadi berpikir, apakah lalu karya fiksi harus
selalu menunjukkan contoh pelajaran baik bagi pembaca? Bahwa yang jahat akan
kalah dan yang baik akan menang?
Jangan-jangan..., saya juga sebenarnya ingin fiksi selalu bermoral?
*Hikz*
Ini akan jadi bahasan yang ruwet. Dan sebelum saya telanjur
jauh, akan saya hentikan.
Terlepas dari hal yang memenuhi otak saya terkait ending
yang tidak biasa dari Agatha ini, tokoh X ini memang tidak kuat, cenderung
labil, jadi ya tidak menarik. Dan saya tidak suka. *kumat lagi* Apakah tidak mungkin ada sosok seperti ini?
Mungkin. Dan itu bikin makin kesel.
Mungkin perang memang mengubah banyak hal.
Saya sarankan, bagi yang belum pernah membaca buku Agatha
Christie sebelumnya, jangan ambil buku ini. E..., baca yang lain masih banyak.
Baru jika dirasa kurang dan masih ingin membaca tentang Poirot, buku ini bisa
dijadikan pilihan. Atau, coba kalau cowok yang baca. Mungkin akan ada pandangan lain dari sisi pembaca laki-laki.
Saya memang jatuh cinta pada Poirot, tapi otak saya tidak mau percaya pada ending-nya. Mungkin, masalah ini setara dengan yang ditanyakan
salah satu tokoh kepada Poirot dalam buku ini:
“Bisakah kita mencintai
seseorang yang tidak kita percayai?”
Dan Poirot menjawab: “Sayangnya, memang bisa.”
*postingan ini disimpen buat event BBI: Baca Bareng 2015
*postingan ini disimpen buat event BBI: Baca Bareng 2015
*Sekarang hampir jam 4 pagi. Tapi saya khawatir jika
menunda, saya akan smakin kehilangan gairah untuk menulis ulasan tentang buku
ini. *nguap anggun, bubuk cantik
"Saya jadi berpikir, apakah lalu karya fiksi harus selalu menunjukkan contoh pelajaran baik bagi pembaca? Bahwa yang jahat akan kalah dan yang baik akan menang?
ReplyDeleteJangan-jangan..., saya juga sebenarnya ingin fiksi selalu bermoral?"
Jangan-jangan, saya juga sama!
Tapi, Mas, senenganmu kan Chrismor....
DeleteDan senenanganku Abdullah Harahap.
Ahahahahahhahah....
bagus bukunya
ReplyDeleteDownload film gratis