Judul: Cala Ibi
Penulis: Nukila Amal
Penerbit: Gramedia
Cetakan Kover Baru, April 2015
Kau menyelipkan pena di halaman terakhir, menutup buku kecil itu. Mengakhiri sebuah alkisah singgah.Mari pergi, suara itu terdengar lagi.--Cala Ibi
Kisah Ringkas:
Maya Amanita berasal dari Maluku, tinggal di Jakarta. Belakangan ini, dia mengalami mimpi aneh. Berkelanjutan. Berisi banyak hal. Di antaranya: cermin, pria dengan bekas luka yang membujur turun dari pelipis ke rahang, dan Maia. Ia kemudian memutuskan membeli sebuah buku kecil bersampul hitam untuk mencatat mimpi-mimpinya.
Ketika sedang menangis, Maia didatangi Laila, keponakannya, yang memberinya sebuah boneka naga.
Cala Ibi adalah seekor naga, yang bisa mewujud manusia juga.
Cala Ibi kemudian mengajak Maia bertualang. Mulai dari terbang, hingga pulang, lalu bertemu Ujung dan Tepi, penjaga penjara dan mantan tawanannya, kemudian mereka berkelana ke dalam hutan, berusaha menguak makna perjalanan seorang sesepuh tua Halmahera.
Sepanjang perjalanan Maia, Maya juga mengalami perjalanan. Macetnya Jakarta, keponakan baru di tahun Naga Emas, bertunangan, nyaris tergoda salah satu rekan, juga kekhawatiran terhadap ayahnya, dan ibunya (yang memutuskan menemani suaminya) yang tidak mau pergi desa walau di sana sedang ada kerusuhan. Ia melanjutkan perjalanan hidupnya sambil dihantui mimpi-mimpi yang seringnya ia lupa. Tapi sungguh mengganggu dan ia ingin tahu.
Maia terus menelusuri jejak Bai Guna Tobona, sang dukun perempuan sakti, salah satu saksi berdirinya Ternate yang kemudian menghilang. Maia ingin tahu.
Maya dan Maia, sama-sama menanam rasa ingin tahu dalam diri di dunia mereka masing-masing. Karena…. Mungkin, karena….
…ketaktahuan, hanya itu, yang mesti membuatmu terus, hanya karena itu.--Cala Ibi
Seperti di kovernya, hitam dan putih, dan cara berceritanya: POV 1 dan POV 2, saya langsung menebak bahwa buku ini tentang dua dunia: dunia nyata dan dunia mimpi. Maya dan Maia. Keduanya berada dalam satu tubuh.
Mana yang nyata, mana yang mimpi?
Pada akhir perjalanan mereka, apakah itu masih penting dipersoalkan?
Mana yang nyata, mana yang mimpi?
Pada akhir perjalanan mereka, apakah itu masih penting dipersoalkan?
***
Gabungan tema dan cara bercerita Nukila Amal memang unik, seperti di Smokol, demikian pula di buku ini.
Jika ditanya, buku ini berkisah tentang apa, saya akan menjawab: Pencarian.
Sepertinya ini novel pencarian jati diri dengan dasar religi.
Jadi, saya akan membahas sesuai kemampuan otak saya saja, dan di dalamnya tidak termasuk kedalaman makna ayat itu. (“o_o)
sumber |
Buku ini berkisah tentang siklus tanpa henti rasa ingin memenuhi kebutuhan pada diri manusia. Kebutuhan akan harta, perhatian, pengakuan. Sementara sebenarnya banyak manusia yang tidak mengenal dirinya sendiri.
Melalui kegelisahan Maya dan Maia, penulis sepertinya ingin menunjukkan bahwa salah satu hal dasar dalam diri manusia adalah rasa penasaran, rasa ingin tahu, yang jika dituruti, manusia akan terus menggali, untuk kemudian mengakui bahwa memang ada yang hanya perlu diterima.
Di dekat cakrawala, aku tak lagi bertanya mengapa mesti ada mimpi. Sebab mesti saja.—p. 256
Itu yang saya tangkap dari padatnya isi buku Cala Ibi. *masih kliyengan
Dari segi tema dan cara bercerita (perihal Maya dan Maia, dan bukan tentang tanda baca), buku ini memang berniat menggugah cara berpikir atau mungkin apa-apa yang perlu dipikir dan tak perlu dipikir oleh manusia.
Kita memang harus masuk ke dalam hutan dalam hutan dalam hutan dalam hutan bersama Cala Ibi untuk kemudian memilih jalan seperti Maia.
Iya, setelah diberi banyak asupan, pada akhirnya tentu kita yang menentukan jalan hidup masing-masing. Apa-apa yang perlu dicari tahu. Apa-apa yang tak perlu dicari tahu. Akan selamanya begitu.
Yang masih mengganjal—mungkin saya kurang awas membaca—saya belum memahami Cala Ibi ini perumpamaan apa dalam kehidupan kita? Ujung, Tepi, dan Bayi ada. Tapi, Cala Ibi—yang menjadi judul buku ini?
Kalau ada yang tau dan berkenan ngasih tau, bisa bisikin saya.
Sebab bisikan lebih menggoda lebih menjamah lebih menggugah daripada teriakan.
Sebab bisikan selalu jatuh lembut di telinga, tak seperti teriak yang menghantam pekak.--Cala Ibi
***
Selanjutnya, mari bahas hal-hal menarik yang tampak dari buku ini.
Diksi.
Banyak yang memuji diksi yang digunakan dalam buku ini. Memang menarik.
Hingga terasa padat. Tak jarang sesak.
Contoh:
Kota mendengung giat, udara hangat, mobil-mobil tampak seperti permen warna-warni jeruk stroberi karamel vanilla, langit berbalon ikan rupa-rupa warnanya, angin menarikan bunga menggugurkan daun, anak-anak jalanan tertawa bergigi susu bertulang rawan.--Cala Ibi
Itu baru satu kalimat. Masih banyak kalimat menarik lain dalam buku ini yang bisa jadi bahan sedap untuk dibahas dari segi stilistika, gaya bahasa.
Sudut Pandang Penceritaan.
Ada dua sudut pandang cerita dalam novel ini.
POV I: Aku—Maya.
POV II: Kau—Maia.
Keduanya tidak berbaris rapi satu-satu menyampaikan kisah mereka. Tidak urut. Kadang Maia muncul dua kali berturut-turut, baru Maya kembali bercerita.
Kenapa Nukila Amal menggunakan dua POV ini? Saya rasa, karena Maia adalah bagian dari Maya.
Dialog, apa itu dialog?
Oh, di buku ini ada banyak dialog, kok. Yang nggak ada itu tanda bacanya. Nggak ada tanda petik yang lazim digunakan untuk menandai adanya tuturan langsung.
Saya beberapa kali menemukan cerpen tanpa tanda petik di dialog. Oh, tak apa. Masih bisa dimengerti. Pasti ada maksud tersembunyi. Tapi ketika ada yang benar-benar mempraktikkannya ke dalam novel setebal 275 halaman… astaga.
Mengenai hal ini, salah satu pembelaan penulis disampaikan melalui tokohnya.
Ia tak kenal tanda baca rupanya, bacaan macam apa ini, .... Lihat, di sini harusnya ada garis pemisah, di sini harus ada kata penghubung: seperti atau dan, bagaimana mungkin ia menulis sesukanya? (Ujung)
Itu pilihannya, kau mau apa? Menambah lagi rambu-rambu, perangkat siksaan linguistikmu itu? Seperti perangkat aturan, adab-adab yang telah kau sesakkan ke dalam kehidupan manusia? (Tepi)
Itu petikan percakapan Ujung dan Tepi di halaman 250.
Banyak komentar di belakang buku ini. Mereka memberi pendapat mulai dari segi linguistik hingga filsafat. Karena, buku ini memang berisi banyak hal, hingga perkara iklan dan hidup pekerja yang monoton entah sampai kapan. Dari alif hingga kaf dan nun yang menjadi kun. Dari Bai Guna Tobona, sang dukun perempuan sakti, hingga Islam dan Kristen masuk. Dari pulau tak bernama, hingga muncul Kerajaan Ternate. Dari emas hitam berupa cengkih, hingga emas sungguhan. Dari titik menjadi garis menjadi bidang. Dari sepasang menjadi seorang: Apa kau sudah siap menukar sepasang dengan seorang?
Saya merasa penulis ingin berkata begini melalui buku ini:
Tidakkah kalian merasakan, belajar dari sejarah, bahwasanya hidup ini perulangan tanpa henti? Seperti angka delapan. Terus berputar tanpa awal dan akhir.
Saya merasa penulis ingin berkata begini melalui buku ini:
Tidakkah kalian merasakan, belajar dari sejarah, bahwasanya hidup ini perulangan tanpa henti? Seperti angka delapan. Terus berputar tanpa awal dan akhir.
Kamu pembaca yang mana? Ibu, putra daerah, sosialita, pekerja kantoran, anak, hingga jomblo, semua ada bagiannya, sehingga lagi-lagi terasa padat. Dan sesak.
Karena, buku ini berisi kombinasi padatnya pesan dan cara bercerita yang di luar kebiasaan. Mungkin saya bersepakat dengan salah satu komentar tentang buku ini disampaikan oleh Nirwan Dewanto: “hanya pembaca yang mau memperbaharui cara bacanya yang bisa menikmati permainan Nukila.”
Dan saya belum termasuk.
Saya tidak bisa menikmati cara Nukila Amal bercerita. Meskipun, saya menyadari bahwa hal yang dilakukannya dalam memilih gaya bercerita untuk mendukung pesan yang ingin disampaikan. Saya mengerti, tapi tidak belum bisa menikmati.
Bahasa bersifat arbitrer dan konvensional. Arbitrer artinya mana suka, seperti pembelaan Tepi kira-kira: terserah. Tapi, jangan lupakan konvensional. Artinya kira-kira berdasarkan kesepakatan. Boleh saja memang, seseorang menggunakan gaya becerita seperti ini, seperti boleh saja seseorang menggunakan bahasa alay. Tapi, yang membaca harus menerima kesepakatan itu untuk dapat meresapi pesan yang ingin disampaikan melalui kisah dalam buku ini.
Pada mulanya adalah bukan Kata, tapi Rasa. Adalah Rasa Pertama yang kemudian melahirkan Pikiran Pertama menjadi Kata terucap Lidah Pertama … --p. 228
Nah, karena ini baru pertama kali saya menemui novel dengan gaya bercerita macam cerpen tak biasa, inkonvensional, sebut saja, ditambah dengan padatnya pesan, saya belum bisa menikmatinya.
Selama membaca, saya beberapa kali terganjal hingga harus membaca ulang untuk mengerti mana yang tuturan mana yang deskripsi.
Saya suka, tapi belum berhasil menikmati.
Padahal, seperti kata Cala Ibi:
Awal atau akhir … Kita masih bisa pergi dari sini, dan kau tak perlu repot membaca semua ini,-- P. 229
Seperti pilihan membaca buku. Kita tidak harus menyelesaikan sebuah buku. Tapi, dengan kondisi tanpa tanda petik, saya tertarik menyelesaikannya. Mengikuti kisah Maya dan Maia dan Cala Ibi. Hanya saja, lagi-lagi, belum bisa menikmati sepenuhnya.
***
Duh, sepertinya saya harus lanjut membaca lagi dan lagi.
*Lirik timbunan yang masih banyak
*Tetiba congkak
Ulasan ini dalam rangka ikut #BBILagiBaca bulan Maret 2016
Ini salah satu capture tweet selama pembacaan. (^-^)