Entri Populer

Thursday, 31 March 2016

Apa kau sudah siap menukar sepasang dengan seorang? —Ulasan Novel Cala Ibi Karya Nukila Amal






Judul: Cala Ibi
Penulis: Nukila Amal
Penerbit: Gramedia
Cetakan Kover Baru, April 2015


Kau menyelipkan pena di halaman terakhir, menutup buku kecil itu. Mengakhiri sebuah alkisah singgah.
Mari pergi, suara itu terdengar lagi.--Cala Ibi

Kisah Ringkas:

Maya Amanita berasal dari Maluku, tinggal di Jakarta. Belakangan ini, dia mengalami mimpi aneh. Berkelanjutan. Berisi banyak hal. Di antaranya: cermin, pria dengan bekas luka yang membujur turun dari pelipis ke rahang, dan Maia. Ia kemudian  memutuskan membeli sebuah buku kecil bersampul hitam untuk mencatat mimpi-mimpinya.

Ketika sedang menangis, Maia didatangi Laila, keponakannya, yang memberinya sebuah boneka naga.

Cala Ibi adalah seekor naga, yang bisa mewujud manusia juga.

Cala Ibi kemudian mengajak Maia bertualang. Mulai dari terbang, hingga pulang, lalu bertemu Ujung dan Tepi, penjaga penjara dan mantan tawanannya, kemudian mereka berkelana ke dalam hutan, berusaha menguak makna perjalanan seorang sesepuh tua Halmahera.

Sepanjang perjalanan Maia, Maya juga mengalami perjalanan. Macetnya Jakarta, keponakan baru di tahun Naga Emas, bertunangan, nyaris tergoda salah satu rekan, juga kekhawatiran terhadap ayahnya, dan ibunya (yang memutuskan menemani suaminya) yang tidak mau pergi desa walau di sana sedang ada kerusuhan. Ia melanjutkan perjalanan hidupnya sambil dihantui mimpi-mimpi yang seringnya ia lupa. Tapi sungguh mengganggu dan ia ingin tahu.

Maia terus menelusuri jejak Bai Guna Tobona, sang dukun perempuan sakti, salah satu saksi berdirinya Ternate yang kemudian menghilang. Maia ingin tahu.

Maya dan Maia, sama-sama menanam rasa ingin tahu dalam diri di dunia mereka masing-masing. Karena…. Mungkin, karena….


…ketaktahuan, hanya itu, yang mesti membuatmu terus, hanya karena itu.--Cala Ibi


Seperti di kovernya, hitam dan putih, dan cara berceritanya: POV 1 dan POV 2, saya langsung menebak bahwa buku ini tentang dua dunia: dunia nyata dan dunia mimpi. Maya dan Maia. Keduanya berada dalam satu tubuh. 

Mana yang nyata, mana yang mimpi? 
Pada akhir perjalanan mereka, apakah itu masih penting dipersoalkan?


***


Gabungan tema dan cara bercerita Nukila Amal memang unik, seperti di Smokol, demikian pula di buku ini. 


Jika ditanya, buku ini berkisah tentang apa, saya akan menjawab: Pencarian.



Sepertinya ini novel pencarian jati diri dengan dasar religi.

Ketika ada kutipan surat al-Qur'an di dalamnya (an-Nahl 68-69)--keterangannya diletakkan halaman depan, bersama keterangan buku lain--saya sempat berpikir, jangan-jangan buku ini ingin mengulas makna di balik ayat itu. Dan saya yang jarang baca apalagi mendalami kitab suci sendiri malah nge-blank. (˘_˘٥)

Jadi, saya akan membahas sesuai kemampuan otak saya saja, dan di dalamnya tidak termasuk kedalaman makna ayat itu. (“o_o)


sumber


Buku ini berkisah tentang siklus tanpa henti rasa ingin memenuhi kebutuhan pada diri manusia. Kebutuhan akan harta, perhatian, pengakuan. Sementara sebenarnya banyak manusia yang tidak mengenal dirinya sendiri.


Melalui kegelisahan Maya dan Maia, penulis sepertinya ingin menunjukkan bahwa salah satu hal dasar dalam diri manusia adalah rasa penasaran, rasa ingin tahu, yang jika dituruti, manusia akan terus menggali, untuk kemudian mengakui bahwa memang ada yang hanya perlu diterima.



Di dekat cakrawala, aku tak lagi bertanya mengapa mesti ada mimpi. Sebab mesti saja.—p. 256


Itu yang saya tangkap dari padatnya isi buku Cala Ibi. *masih kliyengan

Dari segi tema dan cara bercerita (perihal Maya dan Maia, dan bukan tentang tanda baca), buku ini memang berniat menggugah cara berpikir atau mungkin apa-apa yang perlu dipikir dan tak perlu dipikir oleh manusia.

Kita memang harus masuk ke dalam hutan dalam hutan dalam hutan dalam hutan bersama Cala Ibi untuk kemudian memilih jalan seperti Maia. 

Iya, setelah diberi banyak asupan, pada akhirnya tentu kita yang menentukan jalan hidup masing-masing. Apa-apa yang perlu dicari tahu. Apa-apa yang tak perlu dicari tahu. Akan selamanya begitu.

Yang masih mengganjal—mungkin saya kurang awas membaca—saya belum memahami Cala Ibi ini perumpamaan apa dalam kehidupan kita? Ujung, Tepi, dan Bayi ada. Tapi, Cala Ibi—yang menjadi judul buku ini?

Kalau ada yang tau dan berkenan ngasih tau, bisa bisikin saya.


Sebab bisikan lebih menggoda lebih menjamah lebih menggugah daripada teriakan.

Sebab bisikan selalu jatuh lembut di telinga, tak seperti teriak yang menghantam pekak.--Cala Ibi


***

Selanjutnya, mari bahas hal-hal menarik yang tampak dari buku ini.

Diksi.
Banyak yang memuji diksi yang digunakan dalam buku ini. Memang menarik.
Hingga terasa padat. Tak jarang sesak.
Contoh:


Kota mendengung giat, udara hangat, mobil-mobil tampak seperti permen warna-warni jeruk stroberi karamel vanilla, langit berbalon ikan rupa-rupa warnanya, angin menarikan bunga menggugurkan daun, anak-anak jalanan tertawa bergigi susu bertulang rawan.--Cala Ibi

Itu baru satu kalimat. Masih banyak kalimat menarik lain dalam buku ini yang bisa jadi bahan sedap untuk dibahas dari segi stilistika, gaya bahasa.

Sudut Pandang Penceritaan. 
Ada dua sudut pandang cerita dalam novel ini.
POV I: Aku—Maya.
POV II: Kau—Maia.
Keduanya tidak berbaris rapi satu-satu menyampaikan kisah mereka. Tidak urut. Kadang Maia muncul dua kali berturut-turut, baru Maya kembali bercerita.
Kenapa Nukila Amal menggunakan dua POV ini? Saya rasa, karena Maia adalah bagian dari Maya.


Dialog, apa itu dialog?
Oh, di buku ini ada banyak dialog, kok. Yang nggak ada itu tanda bacanya. Nggak ada tanda petik yang lazim digunakan untuk menandai adanya tuturan langsung.

Saya beberapa kali menemukan cerpen tanpa tanda petik di dialog. Oh, tak apa. Masih bisa dimengerti. Pasti ada maksud tersembunyi. Tapi ketika ada yang benar-benar mempraktikkannya ke dalam novel setebal 275 halaman… astaga.

Mengenai hal ini, salah satu pembelaan penulis disampaikan melalui tokohnya.


Ia tak kenal tanda baca rupanya, bacaan macam apa ini, .... Lihat, di sini harusnya ada garis pemisah, di sini harus ada kata penghubung: seperti atau dan, bagaimana mungkin ia menulis sesukanya? (Ujung)

Itu pilihannya, kau mau apa? Menambah lagi rambu-rambu, perangkat siksaan linguistikmu itu? Seperti perangkat aturan, adab-adab yang telah kau sesakkan ke dalam kehidupan manusia? (Tepi)

Itu petikan percakapan Ujung dan Tepi di halaman 250. 

Banyak komentar di belakang buku ini. Mereka memberi pendapat mulai dari segi linguistik hingga filsafat. Karena, buku ini memang berisi banyak hal, hingga perkara iklan dan hidup pekerja yang monoton entah sampai kapan. Dari alif hingga kaf dan nun yang menjadi kun. Dari Bai Guna Tobona, sang dukun perempuan sakti, hingga Islam dan Kristen masuk. Dari pulau tak bernama, hingga muncul Kerajaan Ternate. Dari emas hitam berupa cengkih, hingga emas sungguhan. Dari titik menjadi garis menjadi bidang. Dari sepasang menjadi seorang: Apa kau sudah siap menukar sepasang dengan seorang?

Saya merasa penulis ingin berkata begini melalui buku ini:


Tidakkah kalian merasakan, belajar dari sejarah, bahwasanya hidup ini perulangan tanpa henti? Seperti angka delapan. Terus berputar tanpa awal dan akhir.



Kamu pembaca yang mana? Ibu, putra daerah, sosialita, pekerja kantoran, anak, hingga jomblo, semua ada bagiannya, sehingga lagi-lagi terasa padat. Dan sesak.

Karena, buku ini berisi kombinasi padatnya pesan dan cara bercerita yang di luar kebiasaan. Mungkin saya bersepakat dengan salah satu komentar tentang buku ini disampaikan oleh Nirwan Dewanto: “hanya pembaca yang mau memperbaharui cara bacanya yang bisa menikmati permainan Nukila.”

Dan saya belum termasuk. 

Saya tidak bisa menikmati cara Nukila Amal bercerita. Meskipun, saya menyadari bahwa hal yang dilakukannya dalam memilih gaya bercerita untuk mendukung pesan yang ingin disampaikan. Saya mengerti, tapi tidak belum bisa menikmati.

Bahasa bersifat arbitrer dan konvensional. Arbitrer artinya mana suka, seperti pembelaan Tepi kira-kira: terserah. Tapi, jangan lupakan konvensional. Artinya kira-kira berdasarkan kesepakatan. Boleh saja memang, seseorang menggunakan gaya becerita seperti ini, seperti boleh saja seseorang menggunakan bahasa alay. Tapi, yang membaca harus menerima kesepakatan itu untuk dapat meresapi pesan yang ingin disampaikan melalui kisah dalam buku ini.


Pada mulanya adalah bukan Kata, tapi Rasa. Adalah Rasa Pertama yang kemudian melahirkan Pikiran Pertama menjadi Kata terucap Lidah Pertama … --p. 228

Nah, karena ini baru pertama kali saya menemui novel dengan gaya bercerita macam cerpen tak biasa, inkonvensional, sebut saja, ditambah dengan padatnya pesan, saya belum bisa menikmatinya.

Selama membaca, saya beberapa kali terganjal hingga harus membaca ulang untuk mengerti mana yang tuturan mana yang deskripsi.
Saya suka, tapi belum berhasil menikmati.

Padahal, seperti kata Cala Ibi:


Awal atau akhir … Kita masih bisa pergi dari sini, dan kau tak perlu repot membaca semua ini,-- P. 229

Seperti pilihan membaca buku. Kita tidak harus menyelesaikan sebuah buku. Tapi, dengan kondisi tanpa tanda petik, saya tertarik menyelesaikannya. Mengikuti kisah Maya dan Maia dan Cala Ibi. Hanya saja, lagi-lagi, belum bisa menikmati sepenuhnya. 


***


Duh, sepertinya saya harus lanjut membaca lagi dan lagi.
*Lirik timbunan yang masih banyak
*Tetiba congkak


Ulasan ini dalam rangka ikut #BBILagiBaca bulan Maret 2016
Ini salah satu capture tweet selama pembacaan. (^-^)





Tuesday, 29 March 2016

Keping Hidup Ke-19--Ulasan The Bell Jar Karya Sylvia Plath




Judul: The Bell Jar
Penulis: Sylvia Plath
Penerbit: Ufuk Fiction
Cetakan I: Desember 2011



Seorang gadis muda yang berusaha hidup dengan segudang prestasi selama hidupnya, Esther Greenwood, tiba-tiba merasa hampa.
Oke, nggak terlalu tiba-tiba, memang.

Mulanya, dia kira nilai sempurna adalah hal bagus. Berprestasi merupakan hal bagus. Punya cowok calon dokter adalah hal bagus. Hingga dia mulai menyadari bahwa sebenarnya nggak ada yang bagus dari itu semua.

Bermula dari kekecewaannya terhadap kekasihnya, Buddy Willard, yang ternyata tidak selugu pencitraannya. Bagi Esther, Buddy adalah sosok ideal sebagai suami. Apalagi, dia kehilangan ayahnya sejak umur 9 tahun.

Kemudian, dia mulai mempertanyakan segala hal.

Hingga akhirnya, dia malah bimbang. Dia tidak menemukan jawaban akan seperti apa hidupnya nanti. Ada beberapa pilihan, dia bayangkan sebagai cabang pohon ara. Tapi, seiring pertambahan usianya, satu per satu cabang itu luruh. Dia tidak mau jadi ibu rumah tangga, tidak menjadi editor ternama, tidak menjadi stenografi seperti ibunya. Dan akhirnya, dia tidak tau mau jadi apa. Dia tidak menemukan hal menarik untuk beberapa tahun ke depan dalam hidupnya.

Dia hanya bisa melihat keping hidupnya hingga yang ke-19. Setelah itu, kosong. Dia tidak tertarik dengan masa depan. Sehingga kemudian berpikir, lalu apa gunanya melanjutkan hidup. Maka, dia mulai melakukan aksi berhenti. Berhenti berusaha menjadi yang terbaik. Melepas beasiswa. Berhenti menjaga perasaan Buddy. Dia tidak bisa tidur, sulit makan—karena tidak ada tujuan hidup.

Dia tidur, tapi masih bisa melihat.
Aneh, ya?

Eee, saya pernah. Maksudnya, kita tidur, tapi seakan masih bisa melihat jam di dinding, mendengar langkah kaki orang di luar kamar, dan seterusnya. Intinya, nggak nyenyak. Dan Esther mengalaminya selama berminggu-minggu.

Bisa depresi dia. Dan memang iya, dia depresi.

Lalu, ibunya mulai membawanya ke psikolog. Nah, ini kisah tahun 1960-an—masih ada eksekusi dengan kursi listrik. Jadi, setelah dua kali pertemuan, psikolog menyarankan terapi kejut. Esther tidak mau lagi menjalani terapi itu, dan beberapa kali mencoba bunuh diri.

Tapi, nggak total, sih, nyobanya. Saya rasa, Esther ini memang masih bimbang. Pake silet di bak mandi, gagal. Gantung diri, gagal. Pake pistol, nggak berani, soalnya ada yang nggak langsung mati. Akhirnya, dia memilih salah satu cara dan… nyaris berhasil.

Sepertinya, pada saat itu, mencoba bunuh diri adalah hal yang mengerikan, seakan orang yang melakukan memiliki penyakit lebih menular dan berbahaya dari penyakit apa pun di dunia.

Jadi, dimulailah perjalanan Esther dari satu rumah sakit jiwa ke rumah sakit jiwa berikutnya.

Tapi, Esther tetap saja merasa sesak, seperti sedang berada dalam bejana kaca.

sumber


Bagaimana caranya agar ia keluar dari bejana itu?

***

Saya rasa, kekuatan sebenarnya di novel ini adalah pada penciptaan suasana—harusnya. Tapi, gagal disajikan—mungkin—dalam terjemahannya. Saya masih bisa mengikuti perasaan Esther, kegelisahan dia yang masih berusia 19 tahun, akan masa depan. Tapi kemudian seperti banyak yang hilang.

Kata tiba-tiba, maksud saya adalah tidak terjelaskan, atau tidak tersampaikan penjelasannya, atau saya yang tidak bisa menangkap penjelasannya. *hadew*

*spoiler dimulai*

Misalnya, munculnya Joan yang tiba-tiba, juga menghilangnya Joan yang tiba-tiba. Kenapa Joan akhirnya memutuskan bunuh diri? Kan dia sudah hampir sembuh?

Dan apa yang sesungguhnya membuat Esther akhirnya merasa bisa keluar dari bejana kaca? Karena dia sudah berhasil masuk ke komunitas orang-orang yang melepas keperawanan?

Nah, saya sempat terpikir, jangan-jangan, ini kisah tentang kegalauan seorang remaja Amerika dulu ketika akan melepas keperawanan. -_-"

*spoiler berakhir*

Demikian pula dengan hal-hal yang dialami Esther. Kegelisahannya di awal, ke-putus-asa-annya hingga sampai memutuskan bunuh diri, dan proses kesembuhannya. Juga, keterkaitan antara kejadian satu dengan yang lain.

Bayangan saya, hal-hal yang diceritakan itu sebenarnya menuntun atau membentuk pola pikir Esther. Tapi kita sering kehilangan ikatan antara hal-hal itu yang membentuk sebab akibat. Sayang sekali hal itu terjadi pada buku yang katanya salah satu novel terbaik ini.

Berbeda dengan Dorian Gray. Saya membandingkannya, karena kedua tokoh ini sama-sama berusia 19 tahun dan sama-sama gelisah—galau istilahnya sekarang. Tapi, pola pikir Dorian masih bisa berterima. Demikian pula dengan pola pikir tokoh-tokoh lain. Sementara di buku ini….


Baiklah, secara sederhana: Saya tidak bisa menikmati kisah dan kegelisahan Esther.



Monday, 14 March 2016

Kotak-Kotak Manusia—Ulasan To Kill A Mockingbird



Dalam novel ini, Scout berkisah tentang kehidupannya di Maycomb, Alabama, bersama kakaknya, Jem, dan sahabatnya, Dill. Kisah sederhana tentang kegiatannya sehari-hari. Tentang tetangga yang aneh, sekolah yang tidak selalu menyenangkan, pertengkaran dengan kawan, dan rasa penasaran yang memang biasanya lebih dominan menempeli anak-anak.

Hidupnya mulai terusik ketika beberapa tetangga dan teman-temannya mengatakan bahwa Atticus, ayahnya, adalah pencinta nigger. Scout tidak begitu mengerti apa artinya, tapi cara mengucapkan orang-orang di sekitarnya seperti mengejek. Jadi, dia tidak terima dan sempat bertengkar karenanya.

Scout dan Jem mulai memahami apa yang terjadi. Ayahnya membela seseorang yang tidak disukai oleh banyak orang. Jadi, ayahnya ikut tidak disukai banyak orang juga. Orang yang dibela Atticus adalah Tom Robinson, seorang kulit hitam. Ia dituduh memerkosa seorang gadis kulit putih. Sepanjang sejarah pengadilan, di Maycomb setidaknya, belum pernah seorang kulit hitam memenangkan persidangan atas seorang kulit putih.

Apakah Atticus, di bawah tekanan banyak pihak, berhasil membawa perubahan?


***

Hanya tuga hal yang akan saya bahas dalam novel yang terlambat saya baca ini.

Pertama, Atticus.

Menurut saya, karakter Atticus yang keras justru mengkhawatirkan. Dia berusaha menjadi ayah dan pengacara yang ideal. Memang, demi kehormatan dan kebenaran, dia bersedia membela Tom sepenuh hati. Saya sempat khawatir karena Atticus manusia yang baik sekali. Mengerikan, ya, orang yang baik malah terlihat mencurigakan. Mungkin, hal itu yang dialami Tom. Dia baik sekali kepada keluarga Ewell. Mampir untuk memperbaiki ini itu, padahal dia sendiri punya anak dua dan pekerjaan, tanpa mengharap apa-apa. Semata-mata hanya karena kasihan kepada anak tertua Ewell yang terlihat sering bekerja sendirian.

Kasihan.

Kata yang kurang ajar.

Di persidangan, ketika Tom menggunakan kata itu, banyak yang terkesiap. Seorang kulit hitam merasa kasihan kepada seorang kulit putih adalah hal yang kurang ajar.

Kasihan memang sebaiknya tidak diungkapkan, apalagi jika tidak ada hal yang bisa dilakukan untuk mengubahnya. Karena, kata “kasihan” bisa jadi dianggap simbol kesombongan.

Oke, balik ke Atticus.

Ternyata, di akhir kisah, Atticus yang ingin hidup lurus sebagai contoh teladan bagi anak-anaknya harus kembali dihadapkan pada pilihan yang berat. Di satu sisi, sebagai pengacara, tentu dia ingin menegakkan hukum, setegak kepalanya ketika membela Tom. Di sisi lain, kita tidak boleh membunuh burung mockingbird, karena burung itu tidak mengganggu. Dia justru membantu.

Atticus yang idealis itu pun luruh.

Saya rasa, selain mengenai segala macam rasis yang diangkat oleh Harper Lee, ini adalah hal besar lain yang ingin dia angkat, dan berhasil.

Apa yang bisa mengguncang seseorang yang bertahan memegang prinsip?

Sepertinya jawabannya sederhana: tergantung kepentingannya.



Atticus bisa bertahan ketika dirinya yang diganggu. Dia masih bersikukuh ingin menghukum ketika keluarganya yang bersalah. Tapi ketika menerima kenyataan bahwa orang lain yang bersalah, dan orang itu selama ini tidak pernah mengganggu siapa pun, dia mengalah kepada keputusan sherif kota Maycomb.

Atticus tega menyuruh Jem menghadap Mrs. Dubose selama sebulan dan membacakan cerita sebagai hukuman. Walaupun Jem merusak taman Mrs. Dubose karena nyonya tua itu menghina ayahnya, Atticus tetap menghukum Jem karena tidak sopan. Bahkan, lebih berat dari itu, ketika Jem terancam akan diseret ke pengadilan karena tuduhan yang berat, Atticus siap mengantarnya, meski dia tahu akan berat. Tapi, justru ketika menyangkut orang lain, dan orang itu sudah membantu keluarganya, dia menjadi tidak tega.

Ini kontradiksi yang mungkin akan dibenarkan hampir seluruh pembaca buku ini.

Atticus telah membuat jatuh cinta pembaca dengan keteguhannya memegang prinsip menjadi orang lurus. Tidak hanya lewat kata-kata, Atticus berusaha menunjukkan lewat sikap hidup. Karena jika tidak memberi contoh langsung dan hanya kata-kata, dia merasa tidak pantas menjadi panutan bagi kedua anaknya. (*0*)

“Dia masih teman kita.” “Tapi tadi malam dia ingin menyakitimu.”“Pada dasarnya Mr. Cunningham orang baik. Dia hanya punya titik buta, sama seperti kita semua.”—p.301

“Tetapi membenci Hitler itu boleh?”“Tidak boleh,” katanya, “Kita tidak boleh membenci siapa pun.”—p. 467

Lalu, setelah kita dibuat terpesona dan jatuh cinta oleh sikap hidupnya, Atticus yang keras itu memilih melanggar prinsipnya sendiri.

Tapi, saya yakin, banyak pembaca akan setuju bahwa hal itu diperlukan. Dan justru semakin cinta dengan Atticus. Aneh, kan? Hahai.

Kedua, cara bercerita Scout.

Sudut pandang cerita yang dipilih Harper Lee memang patut diacungi jempol. Kita akan melihat dunia orang-orang di Maycomb dari sudut pandang Scout, lengkap dengan keluguan dan keingintahuannya sebagai anak-anak.

Pada beberapa bagian, untuk beberapa diksi yang sulit seperti karikatur dan hermafrodit, Scout bercerita menurut pendengarannya—dan Jem: karaktertur dan morfodit (p. 137).

Atau, percakapannya dengan Dill mengenai cara mereka untuk memperoleh bayi.

“Scout, kita cari bayi, yuk.”“Di mana?”
Dill mendengar ada orang yang punya perahu dan selalu mendayungnya menuju pulau berkabut tempat dia menyimpan semua bayi; kami bisa memesan satu—
“Itu bohong. Kata Bibi, Tuhan menjatuhkan bayi lewat cerobong asap. Setidaknya, rasanya, itu yang dia bilang.”p. 276

Ini berasa lagi ngupingin langsung anak-anak ini ngomong, lengkap dengan imajinasi dan pola pikir mereka yang masih meraba-raba.

Hal lain adalah perdebatannya dengan Jem ketika membahas mengenai perbedaan kulit putih dan kulit hitam. Mereka berdebat tentang hal yang mereka dengar dari bibi dan ayah mereka. Bahwa kulit putih memang lebih pintar dari kulit hitam, dan perbedaan itu sudah ada sejak leluhur mereka. Mereka masih sama-sama anak-anak, tapi Scout dengan tegas berkata:

“Tidak, Jem, kukira hanya ada satu jenis manusia. Manusia.”—p. 431

Hal ini, seringnya, justru bisa dilihat anak kecil. Bahwa manusia hanya ada satu jenis. Ketika dewasa, sudah banyak peng-kotak-an yang dilakukan. Ada kotak berdasarkan daerah asal. Kotak logat bahasa. Kotak harta yang dimiliki. Kotak jenis pekerjaan orang tua. Kotak warna kulit hanya serpihan kecil saja.



Pemilihan sudut pandang ini dilakukan dengan total oleh Harper Lee, dan memberi banyak keuntungan bagi kisahnya.

Begitulah. Membahas dua hal itu saja sudah banyak menguras pikiran dan tenaga. *eh


Novel ini memang menawarkan banyak hal. Salah satunya, yang pasti dimiliki banyak novel lain pemenang penghargaan, adalah tawaran untuk memikirkan lagi banyak hal yang mungkin terlupakan. 

Oh, yang ketiga....
Apakah ada yang bisa memberi kepastian kepada saya. Apakah Boo itu albino?



Boo Radley
Makasih buat Mas Dion atas rekomendasinya. :D
Lalu, adakah yang bersedia ngasih atau minjemin Go Set A Watchman? *kedip2*
*dilempar DL*


Pages