Entri Populer

Monday, 14 March 2016

Kotak-Kotak Manusia—Ulasan To Kill A Mockingbird



Dalam novel ini, Scout berkisah tentang kehidupannya di Maycomb, Alabama, bersama kakaknya, Jem, dan sahabatnya, Dill. Kisah sederhana tentang kegiatannya sehari-hari. Tentang tetangga yang aneh, sekolah yang tidak selalu menyenangkan, pertengkaran dengan kawan, dan rasa penasaran yang memang biasanya lebih dominan menempeli anak-anak.

Hidupnya mulai terusik ketika beberapa tetangga dan teman-temannya mengatakan bahwa Atticus, ayahnya, adalah pencinta nigger. Scout tidak begitu mengerti apa artinya, tapi cara mengucapkan orang-orang di sekitarnya seperti mengejek. Jadi, dia tidak terima dan sempat bertengkar karenanya.

Scout dan Jem mulai memahami apa yang terjadi. Ayahnya membela seseorang yang tidak disukai oleh banyak orang. Jadi, ayahnya ikut tidak disukai banyak orang juga. Orang yang dibela Atticus adalah Tom Robinson, seorang kulit hitam. Ia dituduh memerkosa seorang gadis kulit putih. Sepanjang sejarah pengadilan, di Maycomb setidaknya, belum pernah seorang kulit hitam memenangkan persidangan atas seorang kulit putih.

Apakah Atticus, di bawah tekanan banyak pihak, berhasil membawa perubahan?


***

Hanya tuga hal yang akan saya bahas dalam novel yang terlambat saya baca ini.

Pertama, Atticus.

Menurut saya, karakter Atticus yang keras justru mengkhawatirkan. Dia berusaha menjadi ayah dan pengacara yang ideal. Memang, demi kehormatan dan kebenaran, dia bersedia membela Tom sepenuh hati. Saya sempat khawatir karena Atticus manusia yang baik sekali. Mengerikan, ya, orang yang baik malah terlihat mencurigakan. Mungkin, hal itu yang dialami Tom. Dia baik sekali kepada keluarga Ewell. Mampir untuk memperbaiki ini itu, padahal dia sendiri punya anak dua dan pekerjaan, tanpa mengharap apa-apa. Semata-mata hanya karena kasihan kepada anak tertua Ewell yang terlihat sering bekerja sendirian.

Kasihan.

Kata yang kurang ajar.

Di persidangan, ketika Tom menggunakan kata itu, banyak yang terkesiap. Seorang kulit hitam merasa kasihan kepada seorang kulit putih adalah hal yang kurang ajar.

Kasihan memang sebaiknya tidak diungkapkan, apalagi jika tidak ada hal yang bisa dilakukan untuk mengubahnya. Karena, kata “kasihan” bisa jadi dianggap simbol kesombongan.

Oke, balik ke Atticus.

Ternyata, di akhir kisah, Atticus yang ingin hidup lurus sebagai contoh teladan bagi anak-anaknya harus kembali dihadapkan pada pilihan yang berat. Di satu sisi, sebagai pengacara, tentu dia ingin menegakkan hukum, setegak kepalanya ketika membela Tom. Di sisi lain, kita tidak boleh membunuh burung mockingbird, karena burung itu tidak mengganggu. Dia justru membantu.

Atticus yang idealis itu pun luruh.

Saya rasa, selain mengenai segala macam rasis yang diangkat oleh Harper Lee, ini adalah hal besar lain yang ingin dia angkat, dan berhasil.

Apa yang bisa mengguncang seseorang yang bertahan memegang prinsip?

Sepertinya jawabannya sederhana: tergantung kepentingannya.



Atticus bisa bertahan ketika dirinya yang diganggu. Dia masih bersikukuh ingin menghukum ketika keluarganya yang bersalah. Tapi ketika menerima kenyataan bahwa orang lain yang bersalah, dan orang itu selama ini tidak pernah mengganggu siapa pun, dia mengalah kepada keputusan sherif kota Maycomb.

Atticus tega menyuruh Jem menghadap Mrs. Dubose selama sebulan dan membacakan cerita sebagai hukuman. Walaupun Jem merusak taman Mrs. Dubose karena nyonya tua itu menghina ayahnya, Atticus tetap menghukum Jem karena tidak sopan. Bahkan, lebih berat dari itu, ketika Jem terancam akan diseret ke pengadilan karena tuduhan yang berat, Atticus siap mengantarnya, meski dia tahu akan berat. Tapi, justru ketika menyangkut orang lain, dan orang itu sudah membantu keluarganya, dia menjadi tidak tega.

Ini kontradiksi yang mungkin akan dibenarkan hampir seluruh pembaca buku ini.

Atticus telah membuat jatuh cinta pembaca dengan keteguhannya memegang prinsip menjadi orang lurus. Tidak hanya lewat kata-kata, Atticus berusaha menunjukkan lewat sikap hidup. Karena jika tidak memberi contoh langsung dan hanya kata-kata, dia merasa tidak pantas menjadi panutan bagi kedua anaknya. (*0*)

“Dia masih teman kita.” “Tapi tadi malam dia ingin menyakitimu.”“Pada dasarnya Mr. Cunningham orang baik. Dia hanya punya titik buta, sama seperti kita semua.”—p.301

“Tetapi membenci Hitler itu boleh?”“Tidak boleh,” katanya, “Kita tidak boleh membenci siapa pun.”—p. 467

Lalu, setelah kita dibuat terpesona dan jatuh cinta oleh sikap hidupnya, Atticus yang keras itu memilih melanggar prinsipnya sendiri.

Tapi, saya yakin, banyak pembaca akan setuju bahwa hal itu diperlukan. Dan justru semakin cinta dengan Atticus. Aneh, kan? Hahai.

Kedua, cara bercerita Scout.

Sudut pandang cerita yang dipilih Harper Lee memang patut diacungi jempol. Kita akan melihat dunia orang-orang di Maycomb dari sudut pandang Scout, lengkap dengan keluguan dan keingintahuannya sebagai anak-anak.

Pada beberapa bagian, untuk beberapa diksi yang sulit seperti karikatur dan hermafrodit, Scout bercerita menurut pendengarannya—dan Jem: karaktertur dan morfodit (p. 137).

Atau, percakapannya dengan Dill mengenai cara mereka untuk memperoleh bayi.

“Scout, kita cari bayi, yuk.”“Di mana?”
Dill mendengar ada orang yang punya perahu dan selalu mendayungnya menuju pulau berkabut tempat dia menyimpan semua bayi; kami bisa memesan satu—
“Itu bohong. Kata Bibi, Tuhan menjatuhkan bayi lewat cerobong asap. Setidaknya, rasanya, itu yang dia bilang.”p. 276

Ini berasa lagi ngupingin langsung anak-anak ini ngomong, lengkap dengan imajinasi dan pola pikir mereka yang masih meraba-raba.

Hal lain adalah perdebatannya dengan Jem ketika membahas mengenai perbedaan kulit putih dan kulit hitam. Mereka berdebat tentang hal yang mereka dengar dari bibi dan ayah mereka. Bahwa kulit putih memang lebih pintar dari kulit hitam, dan perbedaan itu sudah ada sejak leluhur mereka. Mereka masih sama-sama anak-anak, tapi Scout dengan tegas berkata:

“Tidak, Jem, kukira hanya ada satu jenis manusia. Manusia.”—p. 431

Hal ini, seringnya, justru bisa dilihat anak kecil. Bahwa manusia hanya ada satu jenis. Ketika dewasa, sudah banyak peng-kotak-an yang dilakukan. Ada kotak berdasarkan daerah asal. Kotak logat bahasa. Kotak harta yang dimiliki. Kotak jenis pekerjaan orang tua. Kotak warna kulit hanya serpihan kecil saja.



Pemilihan sudut pandang ini dilakukan dengan total oleh Harper Lee, dan memberi banyak keuntungan bagi kisahnya.

Begitulah. Membahas dua hal itu saja sudah banyak menguras pikiran dan tenaga. *eh


Novel ini memang menawarkan banyak hal. Salah satunya, yang pasti dimiliki banyak novel lain pemenang penghargaan, adalah tawaran untuk memikirkan lagi banyak hal yang mungkin terlupakan. 

Oh, yang ketiga....
Apakah ada yang bisa memberi kepastian kepada saya. Apakah Boo itu albino?



Boo Radley
Makasih buat Mas Dion atas rekomendasinya. :D
Lalu, adakah yang bersedia ngasih atau minjemin Go Set A Watchman? *kedip2*
*dilempar DL*


No comments:

Post a Comment

Pages