Judul: The Bell Jar
Penulis: Sylvia Plath
Penerbit: Ufuk Fiction
Cetakan I: Desember 2011
Seorang gadis muda yang berusaha
hidup dengan segudang prestasi selama hidupnya, Esther Greenwood, tiba-tiba
merasa hampa.
Oke, nggak terlalu tiba-tiba,
memang.
Mulanya, dia kira nilai sempurna
adalah hal bagus. Berprestasi merupakan hal bagus. Punya cowok calon dokter
adalah hal bagus. Hingga dia mulai menyadari bahwa sebenarnya nggak ada yang
bagus dari itu semua.
Bermula dari kekecewaannya
terhadap kekasihnya, Buddy Willard, yang ternyata tidak selugu pencitraannya. Bagi
Esther, Buddy adalah sosok ideal sebagai suami. Apalagi, dia kehilangan ayahnya
sejak umur 9 tahun.
Kemudian, dia mulai
mempertanyakan segala hal.
Hingga akhirnya, dia malah
bimbang. Dia tidak menemukan jawaban akan seperti apa hidupnya nanti. Ada
beberapa pilihan, dia bayangkan sebagai cabang pohon ara. Tapi, seiring
pertambahan usianya, satu per satu cabang itu luruh. Dia tidak mau jadi ibu
rumah tangga, tidak menjadi editor ternama, tidak menjadi stenografi seperti
ibunya. Dan akhirnya, dia tidak tau mau jadi apa. Dia tidak menemukan hal
menarik untuk beberapa tahun ke depan dalam hidupnya.
Dia hanya bisa melihat keping
hidupnya hingga yang ke-19. Setelah itu, kosong. Dia tidak tertarik dengan masa
depan. Sehingga kemudian berpikir, lalu apa gunanya melanjutkan hidup. Maka,
dia mulai melakukan aksi berhenti. Berhenti berusaha menjadi yang terbaik.
Melepas beasiswa. Berhenti menjaga perasaan Buddy. Dia tidak bisa tidur, sulit
makan—karena tidak ada tujuan hidup.
Dia tidur, tapi masih bisa melihat.
Aneh, ya?
Eee, saya pernah. Maksudnya, kita
tidur, tapi seakan masih bisa melihat jam di dinding, mendengar langkah kaki
orang di luar kamar, dan seterusnya. Intinya, nggak nyenyak. Dan Esther
mengalaminya selama berminggu-minggu.
Bisa depresi dia. Dan memang iya,
dia depresi.
Lalu, ibunya mulai membawanya ke
psikolog. Nah, ini kisah tahun 1960-an—masih ada eksekusi dengan kursi listrik.
Jadi, setelah dua kali pertemuan, psikolog menyarankan terapi kejut. Esther
tidak mau lagi menjalani terapi itu, dan beberapa kali mencoba bunuh diri.
Tapi, nggak total, sih, nyobanya.
Saya rasa, Esther ini memang masih bimbang. Pake silet di bak mandi, gagal. Gantung
diri, gagal. Pake pistol, nggak berani, soalnya ada yang nggak langsung mati. Akhirnya,
dia memilih salah satu cara dan… nyaris berhasil.
Sepertinya, pada saat itu,
mencoba bunuh diri adalah hal yang mengerikan, seakan orang yang melakukan
memiliki penyakit lebih menular dan berbahaya dari penyakit apa pun di dunia.
Jadi, dimulailah perjalanan
Esther dari satu rumah sakit jiwa ke rumah sakit jiwa berikutnya.
Tapi, Esther tetap saja merasa
sesak, seperti sedang berada dalam bejana kaca.
sumber |
Bagaimana caranya agar ia keluar
dari bejana itu?
***
Saya rasa, kekuatan sebenarnya di
novel ini adalah pada penciptaan suasana—harusnya. Tapi, gagal disajikan—mungkin—dalam
terjemahannya. Saya masih bisa mengikuti perasaan Esther, kegelisahan dia yang
masih berusia 19 tahun, akan masa depan. Tapi kemudian seperti banyak yang
hilang.
Kata tiba-tiba, maksud saya
adalah tidak terjelaskan, atau tidak tersampaikan penjelasannya, atau saya yang
tidak bisa menangkap penjelasannya. *hadew*
*spoiler dimulai*
Misalnya, munculnya Joan yang
tiba-tiba, juga menghilangnya Joan yang tiba-tiba. Kenapa Joan akhirnya
memutuskan bunuh diri? Kan dia sudah hampir sembuh?
Dan apa yang sesungguhnya membuat
Esther akhirnya merasa bisa keluar dari bejana kaca? Karena dia sudah berhasil
masuk ke komunitas orang-orang yang melepas keperawanan?
Nah, saya sempat terpikir,
jangan-jangan, ini kisah tentang kegalauan seorang remaja Amerika dulu ketika
akan melepas keperawanan. -_-"
*spoiler berakhir*
Demikian pula dengan hal-hal yang
dialami Esther. Kegelisahannya di awal, ke-putus-asa-annya hingga sampai
memutuskan bunuh diri, dan proses kesembuhannya. Juga, keterkaitan antara
kejadian satu dengan yang lain.
Bayangan saya, hal-hal yang
diceritakan itu sebenarnya menuntun atau membentuk pola pikir Esther. Tapi kita
sering kehilangan ikatan antara hal-hal itu yang membentuk sebab akibat. Sayang
sekali hal itu terjadi pada buku yang katanya salah satu novel terbaik ini.
Berbeda dengan Dorian Gray. Saya
membandingkannya, karena kedua tokoh ini sama-sama berusia 19 tahun dan
sama-sama gelisah—galau istilahnya sekarang. Tapi, pola pikir Dorian masih bisa
berterima. Demikian pula dengan pola pikir tokoh-tokoh lain. Sementara di buku
ini….
Baiklah, secara sederhana: Saya
tidak bisa menikmati kisah dan kegelisahan Esther.
No comments:
Post a Comment