Entri Populer

Tuesday, 29 March 2016

Keping Hidup Ke-19--Ulasan The Bell Jar Karya Sylvia Plath




Judul: The Bell Jar
Penulis: Sylvia Plath
Penerbit: Ufuk Fiction
Cetakan I: Desember 2011



Seorang gadis muda yang berusaha hidup dengan segudang prestasi selama hidupnya, Esther Greenwood, tiba-tiba merasa hampa.
Oke, nggak terlalu tiba-tiba, memang.

Mulanya, dia kira nilai sempurna adalah hal bagus. Berprestasi merupakan hal bagus. Punya cowok calon dokter adalah hal bagus. Hingga dia mulai menyadari bahwa sebenarnya nggak ada yang bagus dari itu semua.

Bermula dari kekecewaannya terhadap kekasihnya, Buddy Willard, yang ternyata tidak selugu pencitraannya. Bagi Esther, Buddy adalah sosok ideal sebagai suami. Apalagi, dia kehilangan ayahnya sejak umur 9 tahun.

Kemudian, dia mulai mempertanyakan segala hal.

Hingga akhirnya, dia malah bimbang. Dia tidak menemukan jawaban akan seperti apa hidupnya nanti. Ada beberapa pilihan, dia bayangkan sebagai cabang pohon ara. Tapi, seiring pertambahan usianya, satu per satu cabang itu luruh. Dia tidak mau jadi ibu rumah tangga, tidak menjadi editor ternama, tidak menjadi stenografi seperti ibunya. Dan akhirnya, dia tidak tau mau jadi apa. Dia tidak menemukan hal menarik untuk beberapa tahun ke depan dalam hidupnya.

Dia hanya bisa melihat keping hidupnya hingga yang ke-19. Setelah itu, kosong. Dia tidak tertarik dengan masa depan. Sehingga kemudian berpikir, lalu apa gunanya melanjutkan hidup. Maka, dia mulai melakukan aksi berhenti. Berhenti berusaha menjadi yang terbaik. Melepas beasiswa. Berhenti menjaga perasaan Buddy. Dia tidak bisa tidur, sulit makan—karena tidak ada tujuan hidup.

Dia tidur, tapi masih bisa melihat.
Aneh, ya?

Eee, saya pernah. Maksudnya, kita tidur, tapi seakan masih bisa melihat jam di dinding, mendengar langkah kaki orang di luar kamar, dan seterusnya. Intinya, nggak nyenyak. Dan Esther mengalaminya selama berminggu-minggu.

Bisa depresi dia. Dan memang iya, dia depresi.

Lalu, ibunya mulai membawanya ke psikolog. Nah, ini kisah tahun 1960-an—masih ada eksekusi dengan kursi listrik. Jadi, setelah dua kali pertemuan, psikolog menyarankan terapi kejut. Esther tidak mau lagi menjalani terapi itu, dan beberapa kali mencoba bunuh diri.

Tapi, nggak total, sih, nyobanya. Saya rasa, Esther ini memang masih bimbang. Pake silet di bak mandi, gagal. Gantung diri, gagal. Pake pistol, nggak berani, soalnya ada yang nggak langsung mati. Akhirnya, dia memilih salah satu cara dan… nyaris berhasil.

Sepertinya, pada saat itu, mencoba bunuh diri adalah hal yang mengerikan, seakan orang yang melakukan memiliki penyakit lebih menular dan berbahaya dari penyakit apa pun di dunia.

Jadi, dimulailah perjalanan Esther dari satu rumah sakit jiwa ke rumah sakit jiwa berikutnya.

Tapi, Esther tetap saja merasa sesak, seperti sedang berada dalam bejana kaca.

sumber


Bagaimana caranya agar ia keluar dari bejana itu?

***

Saya rasa, kekuatan sebenarnya di novel ini adalah pada penciptaan suasana—harusnya. Tapi, gagal disajikan—mungkin—dalam terjemahannya. Saya masih bisa mengikuti perasaan Esther, kegelisahan dia yang masih berusia 19 tahun, akan masa depan. Tapi kemudian seperti banyak yang hilang.

Kata tiba-tiba, maksud saya adalah tidak terjelaskan, atau tidak tersampaikan penjelasannya, atau saya yang tidak bisa menangkap penjelasannya. *hadew*

*spoiler dimulai*

Misalnya, munculnya Joan yang tiba-tiba, juga menghilangnya Joan yang tiba-tiba. Kenapa Joan akhirnya memutuskan bunuh diri? Kan dia sudah hampir sembuh?

Dan apa yang sesungguhnya membuat Esther akhirnya merasa bisa keluar dari bejana kaca? Karena dia sudah berhasil masuk ke komunitas orang-orang yang melepas keperawanan?

Nah, saya sempat terpikir, jangan-jangan, ini kisah tentang kegalauan seorang remaja Amerika dulu ketika akan melepas keperawanan. -_-"

*spoiler berakhir*

Demikian pula dengan hal-hal yang dialami Esther. Kegelisahannya di awal, ke-putus-asa-annya hingga sampai memutuskan bunuh diri, dan proses kesembuhannya. Juga, keterkaitan antara kejadian satu dengan yang lain.

Bayangan saya, hal-hal yang diceritakan itu sebenarnya menuntun atau membentuk pola pikir Esther. Tapi kita sering kehilangan ikatan antara hal-hal itu yang membentuk sebab akibat. Sayang sekali hal itu terjadi pada buku yang katanya salah satu novel terbaik ini.

Berbeda dengan Dorian Gray. Saya membandingkannya, karena kedua tokoh ini sama-sama berusia 19 tahun dan sama-sama gelisah—galau istilahnya sekarang. Tapi, pola pikir Dorian masih bisa berterima. Demikian pula dengan pola pikir tokoh-tokoh lain. Sementara di buku ini….


Baiklah, secara sederhana: Saya tidak bisa menikmati kisah dan kegelisahan Esther.



No comments:

Post a Comment

Pages