Sumber Foto: Koleksi Pribadi |
Judul: Hercule Poirot dan Pesta
Pembunuhan
Penulis: Agatha Christie
Penerbit: Gramedia Pustakan Utama
Terbit: 2016
Tebal: 167 halaman
Harga: Rp48.000,00
Cover: soft cover
ISBN: 9786020328973
“Pernahkah Anda merenungkan, Madame, betapa besarnya peran desas-desus dalam hidup ini.”—Hercule Poirot, hal. 133
Ketika melihat-lihat gramedia.com
untuk mencari buku terbaru, saya melihat buku ini. Awalnya saya kira ini adalah
cetak ulang buku-buku lama Agatha dengan kover terbaru. Tapi, ketika membaca
keterangan bahwa buku ini belum pernah diterbitkan, saya menelusuri lebih
lanjut. Dan ternyata memang ini adalah bentuk awal dari naskah Agatha yang
kemudian berkembang menjadi novel Dead
Man’s Folly (Kubur Berkubah).
***
Berkisah tentang pengarang novel
detektif, Ariadne Oliver, yang menghubungi Poirot secara tiba-tiba, memintanya
datang menemaninya. Rupanya, Mrs. Oliver sedang diminta untuk menyusun
teka-teki pembunuhan untuk meramaikan acara yang akan diadakan di rumah Sir George
Stubbs yang baru, Greenshore.
Meskipun hanya berdasarkan intuisi
Mrs. Oliver, Poirot yang sudah mengenal karakter penulis itu menyanggupi
tinggal di sana dan mengawasi agar tidak terjadi pembunuhan sungguhan.
“Kita menyebut sesuatu dengan nama yang berbeda-beda. Menurut pendapatku, Anda tidak tahu apa yang Anda ketahui itu. Anda boleh menyebutnya intuisi kalau mau.”—p. 44
Begitulah, Poirot pun mulai ikut
tinggal di rumah itu dan ikut jamuan makan, mempelajari orang-orang yang
terlibat di dalamnya. Dia mulai berbincang dengan orang-orang yang ditemuinya.
Pemilik rumah, istri pemilik rumah, arsitek muda, sekretaris, pemilik rumah
yang lama, dan beberapa warga. Sambil melakukan itu, Poirot berusaha
mempelajari penyebab kegundahan hati kawannya, Mrs. Oliver—siapa yang mungkin
jadi korban, siapa yang mungkin jadi pelaku, dan apa motifnya—hingga hari
pelaksanaan acara pun tiba.
Dan memang kemudian ada korban sungguhan,
yang tidak diduga-duga orangnya.
***
Salah satu hal yang menjadi
kekuatan Agatha adalah dia fair. Dia
akan mengajak pembaca mengenal para tokoh dan memahami situasi yang mereka
alami. Termasuk, memunculkan berbagai kecurigaan yang mungkin terjadi dan masuk
akal. Di antara hal itu, dia menyelipkan petunjuk. Kemudian, di akhir, dia akan
membuka tabir yang membuat pembaca merasa bahwa seharusnya hal itu dapat
terlihat dengan jelas.
Untuk penggemar berat Agatha,
mungkin sudah bisa menebak pelaku sebenarnya—terutama jika masih ingat buku Kubur Berkubah. Dan karena ini adalah novela,
tentu lebih pendek dari novel Agatha biasanya. Beberapa hal yang biasanya
dipanjangkan oleh Agatha agar pembaca mengenal lebih dalam tiap karakter tokoh
kurang terasa di buku ini.
Namun, bagi yang sudah khatam
membaca 80-an karya Agatha dan merindukan sesuatu yang baru, bagi saya, buku
ini cukup mumpuni sebagai pengobat rindu pada Poirot. Dibandingkan dengan karya
Sophie Hannah yang ingin “menghidupkan” kembali Poirot, saya tentu saja jauh
lebih menyukai buku ini. Terutama untuk melengkapi koleksi buku Agatha Christie.
Selain kisah tersebut, di dalam
buku ini juga ada beberapa pengantar: dari Tom Adams, pembuat kover buku-buku
Agatha terbitan awal; Mathew Pritchard, cucu Agatha; dan John Curran, penulis Agatha Christie’s Secret Notebooks. Dua
orang di awal terkait langsung dengan Agatha, sementara yang disebutkan
terakhir mengulik-ulik catatan Agatha, dan menyodorkan sedikit bocoran isinya
di buku ini sehingga pembaca bisa melihat cara Agatha membangun cerita,
mengembangkan ide, hingga kemudian dieksekusi menjadi naskah ini.
Seperti yang sering dilakukannya ketika menuliskan alur sebuah kisah baru, Christie merancang motif dan latar dan daftar variasi A, B, C, dan D ini sering muncul di sepanjang Notebook.—p. 161
Saya membayangkan, di tengah
proses menulis, Agatha pun mengalami perluasan ide. Namun, dia tidak berhenti
dan menetapkan pilihan dari banyak pilihan yang terpikir di kepalanya. Ide yang
tersisa, saya rasa, akan digunakan pada bukunya yang baru. Itulah kenapa
bukunya banyak sekali—dan bahkan itu masih terasa kurang, bagi saya setidaknya.
***
Menariknya, melalui Ariadne
Oliver kita bisa melihat reaksi penulis terhadap beberapa hal yang sensitif—yang
bukan tidak mungkin dialami oleh Agatha sendiri dan dibuat curhatan melalui
tokohnya ini.
“Jika Anda tahu-menahu soal penulis, Anda akan mengetahui bahwa mereka tak tahan diberi usul. …. Maksudku, kita kan jadi ingin berkata: ‘Baiklah, sana tulis saja sendiri kalau begitu’!”—hal. 45
Atau ketika dia diminta memberi
pelatihan menulis. Reaksi Mrs. Oliver sangat menarik, dan mungkin banyak yang
diam-diam sepakat dengannya, baik penulis maupun pembaca.
“Tak bisa kubayangkan mengapa semua orang begitu bersemangat meminta para penulis untuk membahas soal cara menulis—seharusnya sudah jelas penulis itu tugasnya menulis, bukan berbicara.”—hal. 129
Sejujurnya, saya ngakak pas baca
bagian itu.
Sayang, permainan yang dirancang
oleh Mrs. Oliver di cerita ini kurang didetailkan. Saya sendiri tertarik jika
benar-benar ada yang mau merancang misteri pembunuhan dengan petunjuk-petunjuk
dan korban pura-puranya. Sepertinya akan lebih menarik dari game melalui layar.
***
Kover buku ini menarik. Dengan
warna yang cerah tapi tetap berhasil menampilkan kesan suram. Namun, ukuran
buku ini tidak sesuai dengan buku Agatha yang lain. Jika yang lain ukurannya
lebih kecil seperti ukuran terbitan aslinya, maka buku ini berukuran normal
seperti buku di Indonesia pada umumnya (13,5x20cm) sehingga kalau ditumpuk jadi
kurang indah. Oke, alasan itu terlalu mengada-ngada. Selain itu, buku ini jadi
kurang praktis untuk dibawa-bawa. Dan kenapa judulnya di depan sampai
disebutkan dua kali, ya?
Saya masih berharap akan muncul terjemahan
karya Agatha yang lain. Misalnya, naskah drama Mousetrap yang terkenal, juga karya-karyanya yang lain ketika ia
menggunakan nama samaran Mary Westmacott.
“Tak bisa kubayangkan mengapa semua orang begitu bersemangat meminta para penulis untuk membahas soal cara menulis—seharusnya sudah jelas penulis itu tugasnya menulis, bukan berbicara.”—hal. 129
ReplyDeleteikut ngakak