Entri Populer

Thursday, 23 June 2016

Mengintip Karya Agatha yang Tertunda--Ulasan Buku Hercule Poirot dan Pesta Pembunuhan


Sumber Foto: Koleksi Pribadi

Judul: Hercule Poirot dan Pesta Pembunuhan
Penulis: Agatha Christie
Penerbit: Gramedia Pustakan Utama
Terbit: 2016
Tebal: 167 halaman
Harga: Rp48.000,00
Cover: soft cover
ISBN: 9786020328973


“Pernahkah Anda merenungkan, Madame, betapa besarnya peran desas-desus dalam hidup ini.”—Hercule Poirot, hal. 133

Ketika melihat-lihat gramedia.com untuk mencari buku terbaru, saya melihat buku ini. Awalnya saya kira ini adalah cetak ulang buku-buku lama Agatha dengan kover terbaru. Tapi, ketika membaca keterangan bahwa buku ini belum pernah diterbitkan, saya menelusuri lebih lanjut. Dan ternyata memang ini adalah bentuk awal dari naskah Agatha yang kemudian berkembang menjadi novel Dead Man’s Folly (Kubur Berkubah).

***

Berkisah tentang pengarang novel detektif, Ariadne Oliver, yang menghubungi Poirot secara tiba-tiba, memintanya datang menemaninya. Rupanya, Mrs. Oliver sedang diminta untuk menyusun teka-teki pembunuhan untuk meramaikan acara yang akan diadakan di rumah Sir George Stubbs yang baru, Greenshore.

Meskipun hanya berdasarkan intuisi Mrs. Oliver, Poirot yang sudah mengenal karakter penulis itu menyanggupi tinggal di sana dan mengawasi agar tidak terjadi pembunuhan sungguhan.

“Kita menyebut sesuatu dengan nama yang berbeda-beda. Menurut pendapatku, Anda tidak tahu apa yang Anda ketahui itu. Anda boleh menyebutnya intuisi kalau mau.”—p. 44

Begitulah, Poirot pun mulai ikut tinggal di rumah itu dan ikut jamuan makan, mempelajari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dia mulai berbincang dengan orang-orang yang ditemuinya. Pemilik rumah, istri pemilik rumah, arsitek muda, sekretaris, pemilik rumah yang lama, dan beberapa warga. Sambil melakukan itu, Poirot berusaha mempelajari penyebab kegundahan hati kawannya, Mrs. Oliver—siapa yang mungkin jadi korban, siapa yang mungkin jadi pelaku, dan apa motifnya—hingga hari pelaksanaan acara pun tiba.

Dan memang kemudian ada korban sungguhan, yang tidak diduga-duga orangnya.

***

Salah satu hal yang menjadi kekuatan Agatha adalah dia fair. Dia akan mengajak pembaca mengenal para tokoh dan memahami situasi yang mereka alami. Termasuk, memunculkan berbagai kecurigaan yang mungkin terjadi dan masuk akal. Di antara hal itu, dia menyelipkan petunjuk. Kemudian, di akhir, dia akan membuka tabir yang membuat pembaca merasa bahwa seharusnya hal itu dapat terlihat dengan jelas.

Untuk penggemar berat Agatha, mungkin sudah bisa menebak pelaku sebenarnya—terutama jika masih ingat buku Kubur Berkubah. Dan karena ini adalah novela, tentu lebih pendek dari novel Agatha biasanya. Beberapa hal yang biasanya dipanjangkan oleh Agatha agar pembaca mengenal lebih dalam tiap karakter tokoh kurang terasa di buku ini.

Namun, bagi yang sudah khatam membaca 80-an karya Agatha dan merindukan sesuatu yang baru, bagi saya, buku ini cukup mumpuni sebagai pengobat rindu pada Poirot. Dibandingkan dengan karya Sophie Hannah yang ingin “menghidupkan” kembali Poirot, saya tentu saja jauh lebih menyukai buku ini. Terutama untuk melengkapi koleksi buku Agatha Christie. 

Selain kisah tersebut, di dalam buku ini juga ada beberapa pengantar: dari Tom Adams, pembuat kover buku-buku Agatha terbitan awal; Mathew Pritchard, cucu Agatha; dan John Curran, penulis Agatha Christie’s Secret Notebooks. Dua orang di awal terkait langsung dengan Agatha, sementara yang disebutkan terakhir mengulik-ulik catatan Agatha, dan menyodorkan sedikit bocoran isinya di buku ini sehingga pembaca bisa melihat cara Agatha membangun cerita, mengembangkan ide, hingga kemudian dieksekusi menjadi naskah ini.

Seperti yang sering dilakukannya ketika menuliskan alur sebuah kisah baru, Christie merancang motif dan latar dan daftar variasi A, B, C, dan D ini sering muncul di sepanjang Notebook.—p. 161

Saya membayangkan, di tengah proses menulis, Agatha pun mengalami perluasan ide. Namun, dia tidak berhenti dan menetapkan pilihan dari banyak pilihan yang terpikir di kepalanya. Ide yang tersisa, saya rasa, akan digunakan pada bukunya yang baru. Itulah kenapa bukunya banyak sekali—dan bahkan itu masih terasa kurang, bagi saya setidaknya.  

***

Menariknya, melalui Ariadne Oliver kita bisa melihat reaksi penulis terhadap beberapa hal yang sensitif—yang bukan tidak mungkin dialami oleh Agatha sendiri dan dibuat curhatan melalui tokohnya ini.

“Jika Anda tahu-menahu soal penulis, Anda akan mengetahui bahwa mereka tak tahan diberi usul. …. Maksudku, kita kan jadi ingin berkata: ‘Baiklah, sana tulis saja sendiri kalau begitu’!”—hal. 45

Atau ketika dia diminta memberi pelatihan menulis. Reaksi Mrs. Oliver sangat menarik, dan mungkin banyak yang diam-diam sepakat dengannya, baik penulis maupun pembaca.

“Tak bisa kubayangkan mengapa semua orang begitu bersemangat meminta para penulis untuk membahas soal cara menulis—seharusnya sudah jelas penulis itu tugasnya menulis, bukan berbicara.”—hal. 129

Sejujurnya, saya ngakak pas baca bagian itu.
Sayang, permainan yang dirancang oleh Mrs. Oliver di cerita ini kurang didetailkan. Saya sendiri tertarik jika benar-benar ada yang mau merancang misteri pembunuhan dengan petunjuk-petunjuk dan korban pura-puranya. Sepertinya akan lebih menarik dari game melalui layar.

***

Kover buku ini menarik. Dengan warna yang cerah tapi tetap berhasil menampilkan kesan suram. Namun, ukuran buku ini tidak sesuai dengan buku Agatha yang lain. Jika yang lain ukurannya lebih kecil seperti ukuran terbitan aslinya, maka buku ini berukuran normal seperti buku di Indonesia pada umumnya (13,5x20cm) sehingga kalau ditumpuk jadi kurang indah. Oke, alasan itu terlalu mengada-ngada. Selain itu, buku ini jadi kurang praktis untuk dibawa-bawa. Dan kenapa judulnya di depan sampai disebutkan dua kali, ya?

Saya masih berharap akan muncul terjemahan karya Agatha yang lain. Misalnya, naskah drama Mousetrap yang terkenal, juga karya-karyanya yang lain ketika ia menggunakan nama samaran Mary Westmacott. 


Pages