Judul: Misteri Perkawinan Maut
Penulis: S. Mara Gd.
Penerbit: Gramedia
Halaman: 552 halaman
Di kover buku ini, ada tulisan: penulis thriller no
#1 di Indonesia. Sebenarnya, thriller itu apa?
Saya nggak begitu paham.
Yang saya tau, S. Mara Gd. Penulis cerita pembunuhan dengan
tokoh polisi Gozali dan Kosasih. Kalo nggak salah, Gozali ini mantan penjahat,
ya (?) Saya lupa. Membacanya pertama kali dulu… bersamaan dengan gandrungnya saya
terhadap karya-karya Agatha Christie. Tapi karena kalah menarik dengan Agatha—menurut
saya—maka saya tinggalkanlah Gozali dan menempel pada Poirot.
Bercerita tentang kisah perkawinan yang berujung maut.
Hamidah Bakar adalah sekretaris sekaligus simpanan Rudolf Lusong. Tentu saja
Hamidah hanya mengincar hartanya. Seperti kebanyakan kisah tentang wanita
penggoda, perlahan Hamidah mulai menuntut dinikahi. Tapi, Rudolf menolak. Dia
masih cukup waras untuk menyadari bahwa kebersamaannya dengan Hamidah hanya
selingan.
Sayang, perselingkuhan itu akhirnya terkuak.
Dilihat
langsung oleh anak pertamanya, Evi. Saya tidak bisa membayangkan shock
yang dialami Evi ketika mendapati ayahnya dan perempuan lain berbalut pakaian
tidur di apartemen. Dia masih 12 tahun, tapi cukup mengerti apa yang terjadi.
Bagaimana bisa anak itu berada di apartemen dan melihat semua itu? Bisa dibaca
sendiri. Ceritanya menarik.
Tidak bisa tidak, Rudolf bercerai dari istrinya, Gabrielle
Lusong. Setelah perceraian itu, Rudolf menikahi Hamidah.
Dan di sinilah semuanya bermula.
Seperti diceritakan di back cover buku ini. Hamidah
justru seakan direnteti kesialan. Karena keserakahan dan ketidaksabarannya,
sih.
Pacarnya, lelaki tersembunyi yang ikut andil dalam rencana
mengeruk harta Rudolf, lebih penyabar dan cerdas memilih jalan. Tidak gegabah
seperti Hamidah. Akibatnya, dia tidak mendapat apa-apa dan justru ditemukan
mati.
Setelah itu, Gozali dan Kosasih muncul, menelisik satu demi
satu petunjuk, saksi, bukti, kebohongan, hingga perlahan mengarah kepada
pelaku. Sementara, sudah jatuh korban-korban berikutnya.
Yang menarik dalam novel ini justru pelajaran hidup yang
disampaikan melalui tokoh-tokohnya setelah mengalami guncangan dalam hidup
mereka.
1. Gabrielle Lusong,
tadinya istri yang tabah menerima apa-apa perlakuan suami. Tipe istri penurut
yang jika ada apa-apa yang salah, dirinya yang patut ditengok terlebih dahulu.
Ini tipe cewek “malaikat” gitu kalo di sinetron. Tapi, S. Mara Gd. Berhasil menyampaikannya
dengan lebih masuk akal. Setelah perselingkuhan suaminya, dia bangkit, memupuk
percaya diri, didukung orang-orang sekitar.
“Ya. Sebetulnya dia adalah ayah yang baik. Aku saja yang
gagal menjadi istrinya.”
....
“Mungkin karena aku jadi gemuk lalu aku sudah tidak menarik
lagi baginya. Andaikan saja aku dulu lebih pintar menjaga tubuhku….”—p. 85
*tuh, dia tipe cewek begini…*
Dari Gabrielle, cewek-cewek bisa belajar pentingnya merawat
diri dan menghargai diri sendiri. Secinta apa pun kepada sang lelaki.
Tapi, yang cowok jangan langsung hore-hore. Ada kutipan
menarik dari salah satu tokoh, menyahuti keluh introspeksi di atas.
“Seorang suami yang meninggalkan istrinya hanya karena dia
menjadi gemuk setelah melahirkan dua anak untuknya bukanlah suami yang patut
dipertahankan,” kata Citra.—p. 85
2. Rudolf Lusong, tadinya suami yang menganggap istrinya “cuma”
seorang istri. Tipe laki-laki sukses yang setelah memberi cukup uang belanja merasa
sudah sewajarnya mendapat perlakuan istimewa di rumah. Setelah perceraiannya,
dan tahu bahwa Gabrielle cukup cantik untuk diinginkan laki-laki lain, dia baru
menyadari kehilangannya.
Apalagi Hamidah punya kelebihan. Payudaranya besar dan
montok. Entah itu hasil suntikan, entah asli, tidak jadi soal bagi Rudolf. Yang
penting…, bisa langsung membuat gairahnya meledak tak tertahankan.—p.13
Rudolf membuka pintu kamar tidur dan melihat istrinya sedang
asyik menonton film dari atas tempat tidurnya. Dia hanya mengenakan rok dari
kaus ketat tanpa pakaian dalam, karena kedua putting susu dan lekuk-lekuk
tubuhnya tampak jelas di balik kausnya. Bedanya, semua itu sekarang tidak
membuat gairahnya bergejolak lagi. Semuanya jadi biasa.—p. 51
Dari Rudolf, cowok-cowok bisa belajar bahwa selingkuh
seringnya menarik karena dilakukan diam-diam. Dan hampir bisa dipastikan akan
berujung pada penyesalan.
3. Hamidah Bakar. Cewek yang mengandalkan kecantikan dan kesaksiannya
untuk memikat laki-laki eh, lebih tepatnya, harta laki-laki.
Cewek-cewek mungkin bisa belajar sedikit lebih pintar dari
dia jika ingin menggaet laki orang. *buset…*
Serius, buat cewek-cewek, sayang-sayang waktu yang terbatas
dalam hidup kita kalo dipake buat nggaet suami orang. Sia-sia. Hamidah ini
contohnya.
“Ini sungguh kondisi yang ironis, bukan?” kata Kosasih. “Semasa
hidupnya Hamidah Lusong tampaknya seperti seorang wanita yang banyak didambakan
lelaki. Bosnya menginginkannya, kekasih gelapnya menginginkannya. Tapi begitu
dia mati, semua meninggalkannya. ….”—p. 363
Dan masih banyak lagi dari tokoh-tokoh lain.
Sayang, penempatan porsinya menurut saya sungguh berat di
drama (romance-nya). Jadi, saya hampir bosan dan merasa bukan sedang
membaca novel pembunuhan ketika sudah hampir separuh buku belum juga menemukan tokoh
yang mati. Dan tidak lama setelah menemukan mayat kedua, saya sudah bisa
menduga pelakunya.
Kosasih dan Gozali memang dua polisi yang jujur. Coba lihat
kutipan ucapan mereka. Jadi, ceitanya salah satu mayat yang mereka temukan
adalah preman jahat (preman baik tu kayak di “Preman Pensiun”).
Kosasih berkata bahwa dia nggak peduli siapa pembunuh preman
itu. Toh artinya pembunuh sudah mengurangi populasi orang jahat di dunia ini.
Tapi, kata Gozali….
“Kita bukan Tuhan, Kos. Kita tidak menghakimi. Kita Cuma petugas
yang berusaha menjalankan tugas kita sebaik mungkin. Balasan itu urusan Tuhan.
Urusan kita adalah melakukan tugas dan kewajiban kita.”—p. 349
Luar biasa Gozali ini, pantaslah cewek-cewek meleleh, walau
tampangnya sangar.
Dan saya berharap, benar-benar berharap, ada polisi seperti
ini di dunia nyata, di Indonesia.
Hal lain yang menarik dan membuat saya merasa langsung
tergerak untuk mengutipnya adalah pemikiran Rudolf Lusong.
Bagi Rudolf yang chauvinistis, kalau laki-laki berselingkuh
itu bisa dimaklumi. Tapi kalau seorang istri, wah, itu sudah keterlaluan! Dalam
suatu hubungan seks, laki-laki adalah seorang pelepas, seorang pembuang, sedangkan
wanitanya adalah seorang penerima, seorang penampung. .... Jadi laki-laki yang
membuang tidak menjadi kotor, tapi perempuan yang menerima, tubuhnya menjadi
kotor. Begitu teori Rudolf.--p.160
|
Oke..., gambar ini... e... maksudnya perumpamaan. Oke, anggep aja bonus. |
Ada banyak hal dari kutipan itu. Salah satunya, teknik
menyampaikan amanat. Hal ini terkait dengan tulisan saya di sini.
Biasanya, novel atau cerpen adalah salah satu sarana penulis
menyampaikan pola pikirnya pada dunia. Ini salah satunya. Apakah itu artinya S.
Mara Gd setuju dengan pemikiran Rudolf? Belum tentu. Bisa saja dia
menampilkannya justru agar diperdebatkan oleh nurani pembaca.
Setidaknya, saya jadi sedikit mengerti pola pikir laki-laki
yang lebih memaklumi jika laki-laki berselingkuh. Sementara jika wanita yang
berselingkuh, seolah-olah dia adalah pelacur. *sori kalo terlalu gamblang
Dalam hal editing, editornya—yang tidak tertulis—baik
sekali.
Hanya…, ada beberapa diksi yang mengganjal, mungkin terkait
waktu penggunaan (?) buku ini pertama kali cetak Mei 2003.
Beberapa contoh: Konsern, labah-labah, lesung pipi.
Begitulah. Buku ini memberi banyak pelajaran mengenai kehidupan. Terutama kehidupan berumah tangga.