Buku ini berisi 14 cerpen yang, sesuai subjudulnya, berkisah
tentang perempuan dan rumah tangga.
Pertama kali melihat kover buku ini melalui monitor, saya
merasa buku ini berisi tentang masalah keluarga. Saya tertarik dan ikut
giveaway yang diadakan blog yuk, membaca buku islami.
Dan setelah menerima bukunya, memang benar. Sebagian isi
buku ini tentang rumah tangga. Terutama perempuan. Tapi, saya menyarankan agar
ini dibaca tidak hanya oleh orang yang sudah berkeluarga.
Jika memiliki seorang sahabat atau kerabat kesayangan yang
sedang terkait masalah serupa di salah satu cerpen ini—terutama—bisa diajak
membaca atau diberi hadiah buku ini.
Bukan rahasia bahwa ketika seseorang jatuh cinta, misalnya,
kita tidak bisa menasihatinya secara gamblang.
Walaupun pria pilihannya diketahui sebagai sosok yang buruk,
seseorang yang jatuh cinta akan selalu menemukan sisi baik sehingga tertutuplah
mata dan pikirannya dari perilaku buruk pria idamannya. *oke, ini belibet*
Intinya, orang yang lagi jatuh cinta, nggak bisa diomongin.
Semua keliatan bagus.
Di sanalah, salah satu cara menyampaikan bentuk kepedulian kita, bisa disampaikan melalui
kisah. Misal, ngasih kado buku ini ke temen kita. *gitu*
Dan kisah-kisah di buku ini tidak menghakimi. Itu yang saya
suka.
Saya sengaja melihat endorsemen dan catatan-catatan lain
setelah selesai membaca semua isi buku. Ini sengaja, karena saya berusaha tidak
terpengaruh apa pun sebelum membaca. Saya ingin membaca buku ini murni menurut
persepsi saya.
Sekilas melihat tentang penulis, saya sudah khawatir akan
menemukan kisah-kisah yang sangat islami hingga menghakimi.
Ternyata saya salah.
Pemikiran penulisnya, Nurul F Huda, tidak melulu hitam
putih. Dunia ini abu-abu—sesuai dengan pemikiran dasar saya. Dan sesuai dengan
endorsemen yang tertulis pula, tulisan-tulisan Nurul memang sederhana. Tapi
tidak sesederhana itu. Pada beberapa cerpen, penulis tetap pandai bermain kata
dan tanda baca. Membacanya seakan kita sedang mendengarkan teman berkisah.
Tapi, untuk jenis masalah yang diangkat, menurut saya cara bercerita ini justru
pas.
Ketika membaca cerpen-cerpen ini, saya teringat majalah Annida
yang sempat saya gandrungi ketika masih SMA. Lalu, beberapa cerpen lain membuat
saya berpikir, “Model cerpen begini bisa masuk majalah Ummi, nih.”
Ternyata, setelah selesai dan membaca pengantar, Nurul memang penulis produktif
dan karyanya sudah tersebar, termasuk di dua majalah tadi.
Cukup panjang pembukaannya. Sekarang, saya bahas perjalanan
membaca buku ini.
Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerpen “Aku adalah Ayah”.
Isinya sederhana sekali. Tentang seorang istri yang pergi meninggalkan suami
dan tiga orang anaknya untuk memberi kesempatan suaminya bisa mengerti peran
seorang ayah. Selama beberapa hari sang istri pergi dan tidak diketahui. Suami
yang ditinggalkan di cerpen ini untungnya berusaha mengerti maksud sang istri
dan bersedia belajar berubah. Ending
di cerpen ini menunjukkan di mana sang istri selama ini bersembunyi.
Sampai sini, saya berpikir. Lumayan, tapi nggak spesial.
Cerpen kedua, “Dua Bunda”, berisi tentang anak yang lebih
dekat dengan pembantu daripada ibu kandungnya, sempat membuat saya berpikir,
“jangan-jangan isi cerpen ini model begini semua.” Soalnya, ceritanya
benar-benar sederhana dan umum, tanpa sedikit pun kejutan hingga akhir cerita.
*harapan saya mulai turun*
Cerpen ketiga, “Bukan Langit dan Bumi”, bercerita tentang
seorang suami yang dibanding-bandingkan dengan ipar. Hoo…, cerita begini banyak
sekali. Tapi, penutupnya dibuat manis oleh Nurul. Hal serupan, ending manis, saya temukan di cerpen
“Mutiara Lembah Hitam” dan “Taksi Plat Hitam”.
Cerpen keempat, “Suami Sempurna”, membuat emosi saya mulai
tergerak. Bercerita tentang seorang suami yang hanya tahu bahwa kewajiban suami
adalah mencari nafkah. Titik. Beneran, nyebelin banget si suami di sini. Masak
Cuman jagain bayi tidur pas istrinya ke warung aja nggak mau?
Saat membaca cerpen ini, saya emosi sekali dengan tokoh
suami dan heran sekali dengan tokoh istri yang sabaaarrr…. “Ini sinetron,” pikir
saya. Tapi, ketika hendak mengomel, saya membaca kalimat ini.
“Yang jelas, sejak kecil Ayah tidak pernah melihat Bapak membantu Ibu.”—p. 57
Jadi, itulah alasan si suami.
Cuma, alasan si istri berusaha sabar masih belum bisa saya
pahami. *iya, saya memang bukan termasuk golongan orang yang sabar*
Dan ending cerpen
ini… ngejengkelin. Bikin geregetan. Dan membuat saya besar harap lagi dengan
cerpen-cerpen selanjutnya.
Di cerpen “Ningsih”, saya mulai memberi perhatian lebih pada
buku ini. Cerpen ini berisi tentang Ningsih yang menerima KDRT dan masih
bertahan.
Saya sejak dulu nggak pernah ngerti jalan pikiran perempuan
seperti ini.
Tapi, kenyataannya, perempuan-perempuan ini ada di sekitar
kita.
(* ̄m ̄)
Apakah memang perempuan mudah memaafkan laki-laki yang menjadi suaminya? Mudah menyerah hanya dengan kata sayang"? Begitu bisa menerima hanya dengan bekal cinta?--p.78
Saya punya seorang kawan dulu, dia dipukuli oleh pacar,
bukan suami, tapi pacar. Dan tetap bertahan.
Saya dulu cenderung tidak peduli.
Bagi saya, hidup kita masing-masing. Kalau kamu menerima diperlakukan demikian,
maka nikmatilah. *iye, rada kejam, ye* (−_−;)
Tapi, teman-teman yang lain baik sekali. Berkali-kali
mengingatkan. Berkali-kali merangkul setelah dia berdarah. Sementara saya
semakin jengkel dan berusaha tidak berteriak “Bodoh!” kuat-kuat. Saya memang
tidak terlalu dekat dengan dia sehingga merasa tidak cukup pantas terlalu jauh
ikut campur. Sama seperti tokoh Tini di cerpen ini. Jadi, dari teman-teman yang
lebih dekat dengannya saya bisa mengorek keterangan.
Ketika ditanya apakah dia tidak mau berpisah, teman kami itu
menjawab, “Tidak.” Soalnya, “Kalian tidak mengerti sosok X (cowok dia).”
Tentu saja kami nggak ngerti. Kami nggak ngerti kenapa dia
bertahan. Kami nggak ngerti apa yang dia pertahankan. Kami nggak ngertiii…. щ(ಥДಥщ) *huff…, tarik napas
dulu*
Dan kalau dia masih mau bertahan, maka kami nggak bisa
melakukan apa-apa. Lagi-lagi, sama seperti tokoh Tini di cerpen ini. Kalau
Ningsih nggak mau memperjuangkan dirinya sendiri, maka orang-orang di
sekitarnya tidak bisa membantu. Kalau kamu sedang akan tenggelam dan tidak
berusaha mengulurkan tangan ke atas, orang-orang tidak bisa menjangkau
tanganmu. Atau malah, jangan-jangan, mengira kamu hanya sedang berenang dan
bukan sedang tenggelam. Jadi, pertolongan pertama adalah dari diri sendiri: kemauan.
Ending cerita
teman kami sudah selesai. Dia akhirnya mau berhenti mempertahankan laki-laki
itu. Syukurlahhh…. Sementara nasib Ningsih, dan mungkin Ningsih-Ningsih lain di
dunia nyata ini, masih belum jelas ending-nya.
“Nada Pasir Kaliadem” juga mengagetkan. Bercerita tentang
laki-laki yang saking ingin menikah dengan perempuan idamannya, menempuh jalan
pintas: memerkosa. Yang membuat saya berkerut adalah ending yang dihadirkan penulis.
“Ini yakin, ending-nya
dibuat begini?” Begitu pikir saya waktu itu.
Secara implisit, penulis menunjukkan bahwa Sarni akhirnya
mau menerima Kamto dan Kamto mau mulai berubah. Begitu saja. Kepasrahan.
Kenapa bukan pesan “lawan” yang disampaikan penulis? Kenapa “pasrah”?
Saya heran. Kalau begini, bisa-bisa jalan ini akan diambil oleh pemuda sebagai
jalan pintas.
Buat cewek yang jadi korban perkosaan atau pernah khilaf melakukan hubungan intim, bukan berarti dunia kalian harus berakhir dengan pelaku atau mantan atau jadi cewek yang ngelakuin hubungan intim lagi dengan pacar yang baru nanti.
Jangan berpikir, "Udah terlanjur, sekalian aja."
Jangan berpikir gitu, ya, jangan.... (´._.`)
Atau mungkin, penulis ingin menunjukkan bahwa kesalahan yang
sudah terlanjur dibuat pihak pria masih bisa diperbaiki?
Atau mungkin, penulis lebih menekankan pesan pada sosok
ustadz muda, Hamdi, yang terlambat memulai mendekati Kamto agar menggunakan
cara santun untuk mendapatkan hati Sarni. Saya rasa demikian. Bagian
Kamto-Sarni adalah pengantar untuk Hamdi-Rima, tokoh yang sesungguhnya ingin
disentil penulis dalam cerpen ini.
Di “Terempas Asa” dan “Kembang Desa Maja”, ceritanya biasa,
tapi ending-nya lumayan.
“Dulu saya dibuang karena aib, sekarang saya dibuang untuk menutup aib.”—p. 113
Mungkin udah ketebak ya ending-nya
dari kutipan itu. Tapi, kutipannya menarik, nggak tahan kalo nggak ditulis. :D
Cerpen-cerpen selanjutnya ber-setting di Batam,
sebelumnya di Jogja. Membacanya, saya yakin penulisnya sempat tinggal di Batam,
bahkan mungkin sebagai pekerja pabrik juga, seperti tokoh-tokoh di
cerpen-cerpennya. Dan ternyata, lagi-lagi setelah membaca pengantar, saya
benar. Soalnya, penulis bisa menceritakan dengan baik sehingga pembaca jadi
bisa membayangkan bagaimana suasana bekerja dan perasaan pekerja pabrik.
Saya langsung bahas cerpen terakhir di buku ini, “Bunga
Karang”.
Soalnya, pemikiran penulis di cerpen ini lagi-lagi bikin
kaget. Bercerita tentang Sasya, seorang pekerja pabrik yang sering menghilang
dari mess dan diduga menjadi pelacur
atau simpanan om-om oleh teman-temannya. Sasya santai saja, tidak menggubris.
“Aku tidak merasa apa yang kulakukan salah.”—p. 222
Itu yang disampaikan Sasya kepada sahabatnya. Tapi, tidak
disertai penjelasan juga. Sehingga kita, pembaca, bertanya-tanya. Jawabannya
ada di akhir.
Saya bingung, ingin membahas, tapi juga nggak mau merusak
kenikmatan pembaca di cerpen ini. Yang pasti, perkataan Sasya tentang hal yang
dia lakukan bisa dibenarkan. Dan itu juga membuat saya kembali berpikir tentang
definisi salah dan benar.
Begitulah perjalanan saya membaca buku ini.
Sebagian kisahnya, seperti yang saya sampaikan, di luar
dugaan. Sebagian yang lain biasa.
Sebagian kisah mengingatkan saya
akan kekuatan doa. Dan bahwa doa itu bukan tanpa usaha.
Nah, terima kasih sudah mengenalkan saya dengan buku ini.
Kalau editing-nya diperbaiki tentu akan lebih baik.
(^-^)
Sumber gambar: kekerasan 1, kekerasan 2, kekerasan 3, doa.
Sumber gambar: kekerasan 1, kekerasan 2, kekerasan 3, doa.
No comments:
Post a Comment