Entri Populer

Thursday, 19 March 2015

Ulasan buku Koala Kumal karya Raditya Dika



Saya pertama berkenalan dengan Raditya sejak Kambing Jantan. Penasaran dengan buku yang booming itu, saya intip-intip bukunya di rental. Saya baca random, lalu sesekali ngakak, sesekali geleng-geleng takjub, sesekali mengernyit dan berpikir, “ampun aneh banget nih orang.” Tapi, tetep merasa kalau buku itu bukan selera saya. Istilahnya it's not my cup of tea. *eciyeh*

Setelah liat lagi buku Kambing Jantan punya temen yang udah cetakan kesekian puluh, mungkin dulu saya nggak tahan dengan penampakan penulisannya yang “beda”.

Setelah itu, beberapa kali saya ngintip tulisan dia. Di Brontosaurus, Salmon, dan Marmut. *Ini judul buku apa daftar nama kebun binatang?* Cuman ngintip.


Lalu, muncul “Malam Minggu Miko” di Kompas TV. Di sana, saya mulai sering liat muka Raditya dan kelakuannya. Dia tetep aneh. Muka dan kelakuannya aneh. *ngahahahah*

Model muka Raditya Dika ini kayak Agus Ringgo Rahman. Aneh, nggak umum, tapi jadi melekat, susah dilupain. Lalu lanjut ke Stand Up Comedy. Oh, ternyata dia pinter jugak. Lalu saya pun nonton filmnya. Yang ada adegan di atas pom bensin itu, yang dibahas juga di buku ini.
Jadi, awalnya bukan bukunya yang bikin saya tertarik sama Raditya, tapi “Malam Minggu Miko”.

Waktu baca buku ini, saya agak sangsi bakal selesai. Dia memang trendsetter, jadi banyak yang ngikutin. Kisah yang dia certain itu kejadian dalam hidup dia, yang mungkin terjadi pada banyak orang. Mungkin, itulah kenapa banyak orang yang mikir bakal bisa nulis kayak dia juga. Gaya cerita dia juga kayak orang cerita ke kawannya gitu. Simpel. Justru kesederhanaan ini yang menginspirasi banyak orang.



Dia juga menginspirasi banyak orang buat nge-bully dia. Karena kesannya dia orangnya santai.
 
Misalnya gini: 

“Jadi, Bang, rahasia kaki mulus dan berkilat kayak punya elu di kover buku Koala Kumal itu dengan make sunblock sejak dini, toh?”
 

Masalahnya, kalo memang nggak cocok tapi dipaksain, bisa bikin nyesek. Saya sudah beberapa kali intip tapi nggak ada yang selesai. Apa buku yang ini bakal selesai?

Ternyata selesai. :D


Kisah pertama di buku ini, tentang layangan dan bokapnya yang manis, “Ada Jangwe di Kepalaku”, bikin saya bertahan. Penutupnya manis.

Selain kisah pertama, saya sempat beberapa kali hampir berhenti. Bukan, bukan karena isinya nggak bagus. Tapi, kisah tentang cinta yang begini sudah bukan waktunya saya konsumsi. *hindari kata “tua”*


Lalu, tertahan kisah di balik “Malam Minggu Miko”. Saya suka Mas Anca. Terus, ngebayangin Mbak Neni yang sibuk dandan terus cekikikan geli sendiri.*Jangan-jangan Mbak Neni ini yang jadi pacarnya Mas Anca, ya?*

Kisah lain yang menarik adalah “Koala Kumal”. Iya, yang jadi judul buku ini. Lagi-lagi manis.

Nah, udah manis-manisnya, ntar diabetes. Sekarang, saya mau bahas editing.


Waktu saya di tengah-tengah buku ini, halaman 44, saya bahas sebentar dengan temen.
“Ini editing-nya buru-buru kali, ya.”
Soalnya, dibanding dengan buku dari penerbit yang sama yang belum lama ini saya baca, buku ini lumayan banyak yang “kelewat”.

Dari segi penulisan ada di beberapa kata. 

Bepikir, tergiang-ngiang, keliahtan, perengangan, Nenin—mestinya Neni, menganggu, serus—mestinya seru, sebenanya. 

Tuh, lumayan, kan? Lagi-lagi, dibanding buku dari penerbit yang sama yang belum lama ini saya baca. Jadi, lumayan kerasa.

Dari segi cerita, ada di cerita pertama.
Jadi gini, waktu Raditya nulis deskripsi tentang Bahri….


Rambut Bahri belah tengah rapi, yang dia sisir dengan begitu hati-hati hingga terlihat satu garis sempurna membelah kepalanya jadi dua.—p. 6


Waktu pertama baca ini, saya langsung keinget Haji Lulung Mail.

Jadi, pas sampe di komik pertama, saya ngerasa ngganjel (kata ini bisa diartikan, kayaknya ada yang janggal tapi saya belum tahu apa).
Kalimatnya begini:


Formasinya selalu sama: Bahri dan gue tiduran di atap mobil. Sedangkan Dodo, seperti biasa, agak terbuang, di atas bagasi.


Yang saya bayangkan: Raditya dan si belah tengah berjejer di atas kap mobil.

Yang saya temukan: Raditya dan si embul berjejer di atas kap mobil.


Nah, loh, jadi yang mana nih yang Bahri? Untuk meyakinkan diri bahwa ingatan saya masih cukup baik, saya baca ulang deskripsi tentang belah tengah tadi. Ternyata, gambar di komik yang keliru.


Dari segi cerita lagi, ada di cerita ketiga.
Ini cerita Raditya sama ceweknya yang namanya Deska. Deska ini punya temen cowok yang namanya Astra.

Nah, di halaman 66… nama Astra menggantikan Deska. Jadi, kesannya si Radit kayak homo. Di bagian ini, saya malah ngakak karena ngebayangin Raditya beneran omong-omongan sendu begitu sama cowok.


Sebaliknya, beberapa kata dipilih dan diperhatikan dengan saksama penggunaannya.

Misalnya, kata: jomlo. 

Nah, sejak nemu kata ini, saya yakin bukan typo. Lalu, ternyata memang konsisten. Jadi, saya gugling dan ternyata yang baku adalah jomlo, sementara yang umum dipake adalah jomblo.

Lagi, keumuman lawan kebakuan. Mana yang bakal bertahan?


Karena buku ini kayaknya bakal laris manis, ada baiknya diperbaiki dulu sebelum cetak ulang, biar Radit nggak dikira homo lebih sip.


Karena saya sudah kepincut sama Mas Anca Miko, nggak bisa dihindari baca bagian Radit sambil ngebayangin ekspresi Miko. Datar. Tetep dengan mukanya yang aneh. >_<

Nah, begitu aja perjalanan saya di buku ini. 

Salah satu kutipan favorit:

Perlu berapa kali diselingkuhi agar kita kuat menghadapi patah hati?

Raditya sudah menginspirasi banyak muda mudi untuk menulis dan berkarya.
Saya penasaran, bagaimana karya dia nanti kalau sudah berumah tangga. Semoga Miko eh, Radit, cepat ketemu jodohnya. Hohohohoho….


Sumber gambar: Malam Minggu Miko, Mas Anca.


No comments:

Post a Comment

Pages