Entri Populer

Friday, 20 March 2015

Ulasan Buku How to be Interesting karya Jessica Hagy


Buku ini berisi bagaimana cara menjadi menarik dalam sepuluh langkah sederhana.


Sebelumnya, waktu ditunjukin temen buku ini, saya nggak tertarik. Tapi pada suatu siang yang panas, warna kuning ngejreng dengan tulisan ungu di kover buku ini malah terlihat melambai-lambai minta dipegang. 





Jadi, saya ambil buku ini dari meja teman dan mengintip-intip isinya, kali ini dengan netral. Dulu, saya sudah malas melihat perpaduan ungu dan kuning di buku ini. Buat mata minus saya, serasa mencolok, bikin sakit mata.


Ketika mengintip, saya melihat bagian “Jadilah Seorang Detektif”. 


Memerhatikan orang. Mencuri dengar. Mengintai. Berkeliaran. Mendengarkan.
Maka Anda akan belajar kode-kode rahasia orang lain.
Setiap hari bisa menjadi misi rahasia yang menarik.


Yang muncul di otak saya adalah: “Buku apaan, nih?”
Saya paling nggak suka dengan orang yang kepengen tau banget urusan orang lain—sekarang istilahnya kepo, yak. Memangnya hal yang harus diurus dalam hidup dia kurang banyak, ya, sampe ngerasa mesti ikut tau urusan orang?

Begitu dulu. Sebelum ketemu Miss Marple-nya Agatha Christie.
Miss Marple adalah seorang nenek kepo yang nyebelin. Saya ngebayanginnya kayak emak-emak yang demennya nguping dan rumpi. Tapi, karena itulah dia berhasil memecahkan banyak kasus.
Intinya, kepo dia bermanfaat untuk orang banyak.

Oke. Jadi, ada kepo yang bermanfaat. Tapi tetep aja orang kepo itu nyebelin.

Pada waktu-waktu tertentu, saya juga mempraktikkan teori “Jadilah Seorang Detektif” ini. Tapi, model pengkhayal.
Di keramaian, di antara orang-orang yang tidak saya kenal, melihat dua orang yang kelihatannya sedang beradu argumen, saya akan mulai membangun pikiran: Kira-kira apa hubungan di antara keduanya, apa yang membuat mereka berdebat, dan seterusnya.

Tapi, pola pikir saya tentang “kesopanan” yang umum diajarkan orang-orang tua membuat saya berhenti pada tahap memperhatikan. Lalu, berkhayal seperti tadi. Nggak sampe mencuri dengar. 

Sampai saat menulis ini, saya merasa masih belum mau mempraktikkan kepo yang disarankan di sini, sih. Mungkin itu kegiatan yang menarik, tapi menurut saya, itu nggak membuat seseorang menjadi menarik—dalam artian baik.
Sama kayak Miss Marple, sih, banyak yang nggak suka dengan dia. (--__--“)


Tapi, saat membuka lembar awal buku ini, pada bagian “Mengapa Harus Menarik?” 


  • Untuk membatasi penyesalan Anda.
  • Supaya Anda dapat menghormati diri sendiri.
  • Untuk menghilangkan kebosanan. (berarti, bagian jadi detektif masuk di sini)
  • Supaya Anda dapat meninggalkan jasa, bukan noda.
  • Dan terutama karena Anda bisa.


Nah! Saya pun tertarik.
Maka, dimulailah perjalanan saya menjelajahi buku ini. 

Buku ini berisi sedikit tulisan yang diperkuat dengan gambar, jadi nggak membosankan. Gambar yang menemani tulisan-tulisan itu adalah… kurva dan himpunan. Iya, bagian pelajaran matematika itu. Gambar-gambar itu maksudnya untuk membantu kita memahami maksud tulisannya. 

Masalahnya, saya banyak lupa, deh, cara membaca hubungan kurva. (~..~”) Kalo himpunan masih inget.


Karena isinya untuk menggeser pola pikir seseorang, sebaiknya buku ini dibaca dengan kondisi “baik”. Maksudnya, lagi nggak terburu-buru dan nggak banyak masalah. 

Secara keseluruhan, isi buku ini mengajarkan kita untuk lebih berani. Menjadi orang yang lebih baik. Melihat dunia, lalu mengambil kesempatan. Keluar dari zona nyaman, tapi tetap bahkan lebih menikmati kehidupan.

Mungkin karena penulisnya orang Barat, saya menemukan beberapa saran yang akan bertentangan dengan pola pikir orang Timur. Apalagi kalau sudah melibatkan agama. Haghaghag….


Misalnya, pada bagian “Beri Ucapan Selamat Secara Tulus”.

Kata-kata ramah sangat berharga namun tanpa biaya; maka aneh sekali kalau kata-kata itu begitu langka. Ungkapkan yang Anda nikmati. Pujilah orang  yang sukses dalam cara-cra baru. Lakukan itu di depan umum dan sering.

Oookeee…. Kalo di sini, keseringan memuji bisa dianggap menjilat.
Kalo di agama saya, memuji berlebihan diumpamakan dengan memenggal kepala, soalnya bisa bikin orang itu tinggi hati, merasa cukup, lalu berhenti berusaha lebih baik.

Tentu saja ada bagian-bagian yang bisa diterapkan secara umum, tanpa bersinggungan dengan perbedaan latar belakang penulis dan pembaca.

Saya suka sekali Langkah 3 “Kerjakan sesuatu. Apa saja.”
Gambar yang menjelaskan mengapa Anda sedih di sini sungguh masuk akal. 

Makan, tidur, menonton TV. Begituuu… terus. Berputar-putar. Lalu tiba-tiba, Anda merasa heran ketika ada kesedihan yang tidak bisa Anda jelaskan. Kalo istilah Letto, lubang di hati. *hasek*



Sarannya bagus.

Mengobrol. Membuat sesuatu. Bergabung dengan jaringan. Bermain. Membantu. Mencipta. Tidak peduli apa pun yang Anda kerjakan, yang penting Anda mengerjakannya. Duduk-duduk sambil mengeluh bukan “sesuatu” yang dapat diterima.

Di halaman lain, ada saran “Kerjakan yang Anda Inginkan.” 

Kalau memikirkannya saja sudah membuat Anda tertekan: Jangan mengambilnya, menekuninya, atau menyerahkan hidup Anda untuknya.
Seandainya itu tidak penting bagi Anda: Jangan mengerjakannya hanya karena itu penting bagi orang lain.
Anda akan berterima kasih pada diri sendiri.

Jadi, kerjakan APA SAJA. Tapi, pastikan kalau itu adalah hal YANG ANDA INGINKAN. 
*Begitu kira-kira

Banyak pemikiran yang menarik.



Jika keangkuhan Anda lebih menonjol daripada keahlian Anda, Anda termasuk seseorang yang dihindari oleh orang lain.--p. 133

Direktur, walikota, dan penjual ikan. Yang penting bukan gelar atau jabatan; melainkan orang di belakangnya.--p.139

Kesalahan terjadi. Sering. Kadang-kadang itu karena kegagalan Anda dan kadang-kadang itu karena kesialan Anda. Lapangkan hati Anda untuk mengakui keduanya.--p. 153

Jika Anda tidak memiliki keberanian, Anda seperti kebanyakan orang lain, bergunjing tentang seseorang yang berani.--p.211


Bagus-bagus, kan? (づ ̄ ³)~


Silakan pilah-pilah sendiri mana yang sesuai dengan Anda, mana yang cukup pantas untuk dicoba. Kalo mau nyoba semua juga nggak apa-apa, sih.

Sampai sini, ada yang mulai berpikir, “Sebenarnya, saran begini sudah banyak, kan?”

Iya.
Tapi, saran bisa berbeda efeknya pada masing-masing orang, tergantung siapa yang menyampaikan dan bagaimana saran itu disampaikan.

Misalnya, pada bagian “Mulailah” di halaman 32.

Jangan menunggu sampai besok.
Katakan, kerjakan, atau buatlah sekarang. Pergilah ke tempat Anda harus pergi.

Ketika membacanya, mungkin….
  • Ada yang langsung tergerak untuk mulai. 
  • Ada yang sibuk membantah.
  •  Ada yang mulai… membangun alasan untuk menunda memulai.

Tapi, siapa tahu buku ini cocok dengan Anda.
Tidak ada salahnya mencoba. Mulailah. (^0^)/
Karena....

Selama Anda belum mati, Anda masih dapat mengubah sesuatu.--p. 261






Sumber gambar: Bosan, berenang.



Thursday, 19 March 2015

Ulasan buku Koala Kumal karya Raditya Dika



Saya pertama berkenalan dengan Raditya sejak Kambing Jantan. Penasaran dengan buku yang booming itu, saya intip-intip bukunya di rental. Saya baca random, lalu sesekali ngakak, sesekali geleng-geleng takjub, sesekali mengernyit dan berpikir, “ampun aneh banget nih orang.” Tapi, tetep merasa kalau buku itu bukan selera saya. Istilahnya it's not my cup of tea. *eciyeh*

Setelah liat lagi buku Kambing Jantan punya temen yang udah cetakan kesekian puluh, mungkin dulu saya nggak tahan dengan penampakan penulisannya yang “beda”.

Setelah itu, beberapa kali saya ngintip tulisan dia. Di Brontosaurus, Salmon, dan Marmut. *Ini judul buku apa daftar nama kebun binatang?* Cuman ngintip.


Lalu, muncul “Malam Minggu Miko” di Kompas TV. Di sana, saya mulai sering liat muka Raditya dan kelakuannya. Dia tetep aneh. Muka dan kelakuannya aneh. *ngahahahah*

Model muka Raditya Dika ini kayak Agus Ringgo Rahman. Aneh, nggak umum, tapi jadi melekat, susah dilupain. Lalu lanjut ke Stand Up Comedy. Oh, ternyata dia pinter jugak. Lalu saya pun nonton filmnya. Yang ada adegan di atas pom bensin itu, yang dibahas juga di buku ini.
Jadi, awalnya bukan bukunya yang bikin saya tertarik sama Raditya, tapi “Malam Minggu Miko”.

Waktu baca buku ini, saya agak sangsi bakal selesai. Dia memang trendsetter, jadi banyak yang ngikutin. Kisah yang dia certain itu kejadian dalam hidup dia, yang mungkin terjadi pada banyak orang. Mungkin, itulah kenapa banyak orang yang mikir bakal bisa nulis kayak dia juga. Gaya cerita dia juga kayak orang cerita ke kawannya gitu. Simpel. Justru kesederhanaan ini yang menginspirasi banyak orang.



Dia juga menginspirasi banyak orang buat nge-bully dia. Karena kesannya dia orangnya santai.
 
Misalnya gini: 

“Jadi, Bang, rahasia kaki mulus dan berkilat kayak punya elu di kover buku Koala Kumal itu dengan make sunblock sejak dini, toh?”
 

Masalahnya, kalo memang nggak cocok tapi dipaksain, bisa bikin nyesek. Saya sudah beberapa kali intip tapi nggak ada yang selesai. Apa buku yang ini bakal selesai?

Ternyata selesai. :D


Kisah pertama di buku ini, tentang layangan dan bokapnya yang manis, “Ada Jangwe di Kepalaku”, bikin saya bertahan. Penutupnya manis.

Selain kisah pertama, saya sempat beberapa kali hampir berhenti. Bukan, bukan karena isinya nggak bagus. Tapi, kisah tentang cinta yang begini sudah bukan waktunya saya konsumsi. *hindari kata “tua”*


Lalu, tertahan kisah di balik “Malam Minggu Miko”. Saya suka Mas Anca. Terus, ngebayangin Mbak Neni yang sibuk dandan terus cekikikan geli sendiri.*Jangan-jangan Mbak Neni ini yang jadi pacarnya Mas Anca, ya?*

Kisah lain yang menarik adalah “Koala Kumal”. Iya, yang jadi judul buku ini. Lagi-lagi manis.

Nah, udah manis-manisnya, ntar diabetes. Sekarang, saya mau bahas editing.


Waktu saya di tengah-tengah buku ini, halaman 44, saya bahas sebentar dengan temen.
“Ini editing-nya buru-buru kali, ya.”
Soalnya, dibanding dengan buku dari penerbit yang sama yang belum lama ini saya baca, buku ini lumayan banyak yang “kelewat”.

Dari segi penulisan ada di beberapa kata. 

Bepikir, tergiang-ngiang, keliahtan, perengangan, Nenin—mestinya Neni, menganggu, serus—mestinya seru, sebenanya. 

Tuh, lumayan, kan? Lagi-lagi, dibanding buku dari penerbit yang sama yang belum lama ini saya baca. Jadi, lumayan kerasa.

Dari segi cerita, ada di cerita pertama.
Jadi gini, waktu Raditya nulis deskripsi tentang Bahri….


Rambut Bahri belah tengah rapi, yang dia sisir dengan begitu hati-hati hingga terlihat satu garis sempurna membelah kepalanya jadi dua.—p. 6


Waktu pertama baca ini, saya langsung keinget Haji Lulung Mail.

Jadi, pas sampe di komik pertama, saya ngerasa ngganjel (kata ini bisa diartikan, kayaknya ada yang janggal tapi saya belum tahu apa).
Kalimatnya begini:


Formasinya selalu sama: Bahri dan gue tiduran di atap mobil. Sedangkan Dodo, seperti biasa, agak terbuang, di atas bagasi.


Yang saya bayangkan: Raditya dan si belah tengah berjejer di atas kap mobil.

Yang saya temukan: Raditya dan si embul berjejer di atas kap mobil.


Nah, loh, jadi yang mana nih yang Bahri? Untuk meyakinkan diri bahwa ingatan saya masih cukup baik, saya baca ulang deskripsi tentang belah tengah tadi. Ternyata, gambar di komik yang keliru.


Dari segi cerita lagi, ada di cerita ketiga.
Ini cerita Raditya sama ceweknya yang namanya Deska. Deska ini punya temen cowok yang namanya Astra.

Nah, di halaman 66… nama Astra menggantikan Deska. Jadi, kesannya si Radit kayak homo. Di bagian ini, saya malah ngakak karena ngebayangin Raditya beneran omong-omongan sendu begitu sama cowok.


Sebaliknya, beberapa kata dipilih dan diperhatikan dengan saksama penggunaannya.

Misalnya, kata: jomlo. 

Nah, sejak nemu kata ini, saya yakin bukan typo. Lalu, ternyata memang konsisten. Jadi, saya gugling dan ternyata yang baku adalah jomlo, sementara yang umum dipake adalah jomblo.

Lagi, keumuman lawan kebakuan. Mana yang bakal bertahan?


Karena buku ini kayaknya bakal laris manis, ada baiknya diperbaiki dulu sebelum cetak ulang, biar Radit nggak dikira homo lebih sip.


Karena saya sudah kepincut sama Mas Anca Miko, nggak bisa dihindari baca bagian Radit sambil ngebayangin ekspresi Miko. Datar. Tetep dengan mukanya yang aneh. >_<

Nah, begitu aja perjalanan saya di buku ini. 

Salah satu kutipan favorit:

Perlu berapa kali diselingkuhi agar kita kuat menghadapi patah hati?

Raditya sudah menginspirasi banyak muda mudi untuk menulis dan berkarya.
Saya penasaran, bagaimana karya dia nanti kalau sudah berumah tangga. Semoga Miko eh, Radit, cepat ketemu jodohnya. Hohohohoho….


Sumber gambar: Malam Minggu Miko, Mas Anca.


Monday, 16 March 2015

Ulasan buku Suami Sempurna karya Nurul F Huda



Buku ini berisi 14 cerpen yang, sesuai subjudulnya, berkisah tentang perempuan dan rumah tangga. 



Pertama kali melihat kover buku ini melalui monitor, saya merasa buku ini berisi tentang masalah keluarga. Saya tertarik dan ikut giveaway yang diadakan blog yuk, membaca buku islami.

Dan setelah menerima bukunya, memang benar. Sebagian isi buku ini tentang rumah tangga. Terutama perempuan. Tapi, saya menyarankan agar ini dibaca tidak hanya oleh orang yang sudah berkeluarga.



Jika memiliki seorang sahabat atau kerabat kesayangan yang sedang terkait masalah serupa di salah satu cerpen ini—terutama—bisa diajak membaca atau diberi hadiah buku ini. 
 
Bukan rahasia bahwa ketika seseorang jatuh cinta, misalnya, kita tidak bisa menasihatinya secara gamblang.

Walaupun pria pilihannya diketahui sebagai sosok yang buruk, seseorang yang jatuh cinta akan selalu menemukan sisi baik sehingga tertutuplah mata dan pikirannya dari perilaku buruk pria idamannya. *oke, ini belibet*

Intinya, orang yang lagi jatuh cinta, nggak bisa diomongin. Semua keliatan bagus.
Di sanalah, salah satu cara menyampaikan bentuk kepedulian kita, bisa disampaikan melalui kisah. Misal, ngasih kado buku ini ke temen kita. *gitu*


Dan kisah-kisah di buku ini tidak menghakimi. Itu yang saya suka.

Saya sengaja melihat endorsemen dan catatan-catatan lain setelah selesai membaca semua isi buku. Ini sengaja, karena saya berusaha tidak terpengaruh apa pun sebelum membaca. Saya ingin membaca buku ini murni menurut persepsi saya.
Sekilas melihat tentang penulis, saya sudah khawatir akan menemukan kisah-kisah yang sangat islami hingga menghakimi.
Ternyata saya salah.


Pemikiran penulisnya, Nurul F Huda, tidak melulu hitam putih. Dunia ini abu-abu—sesuai dengan pemikiran dasar saya. Dan sesuai dengan endorsemen yang tertulis pula, tulisan-tulisan Nurul memang sederhana. Tapi tidak sesederhana itu. Pada beberapa cerpen, penulis tetap pandai bermain kata dan tanda baca. Membacanya seakan kita sedang mendengarkan teman berkisah. Tapi, untuk jenis masalah yang diangkat, menurut saya cara bercerita ini justru pas. 

Ketika membaca cerpen-cerpen ini, saya teringat majalah Annida yang sempat saya gandrungi ketika masih SMA. Lalu, beberapa cerpen lain membuat saya berpikir, “Model cerpen begini bisa masuk majalah Ummi, nih.” Ternyata, setelah selesai dan membaca pengantar, Nurul memang penulis produktif dan karyanya sudah tersebar, termasuk di dua majalah tadi.

Cukup panjang pembukaannya. Sekarang, saya bahas perjalanan membaca buku ini.


Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerpen “Aku adalah Ayah”. Isinya sederhana sekali. Tentang seorang istri yang pergi meninggalkan suami dan tiga orang anaknya untuk memberi kesempatan suaminya bisa mengerti peran seorang ayah. Selama beberapa hari sang istri pergi dan tidak diketahui. Suami yang ditinggalkan di cerpen ini untungnya berusaha mengerti maksud sang istri dan bersedia belajar berubah. Ending di cerpen ini menunjukkan di mana sang istri selama ini bersembunyi.
Sampai sini, saya berpikir. Lumayan, tapi nggak spesial.


Cerpen kedua, “Dua Bunda”, berisi tentang anak yang lebih dekat dengan pembantu daripada ibu kandungnya, sempat membuat saya berpikir, “jangan-jangan isi cerpen ini model begini semua.” Soalnya, ceritanya benar-benar sederhana dan umum, tanpa sedikit pun kejutan hingga akhir cerita. *harapan saya mulai turun*


Cerpen ketiga, “Bukan Langit dan Bumi”, bercerita tentang seorang suami yang dibanding-bandingkan dengan ipar. Hoo…, cerita begini banyak sekali. Tapi, penutupnya dibuat manis oleh Nurul. Hal serupan, ending manis, saya temukan di cerpen “Mutiara Lembah Hitam” dan “Taksi Plat Hitam”.


Cerpen keempat, “Suami Sempurna”, membuat emosi saya mulai tergerak. Bercerita tentang seorang suami yang hanya tahu bahwa kewajiban suami adalah mencari nafkah. Titik. Beneran, nyebelin banget si suami di sini. Masak Cuman jagain bayi tidur pas istrinya ke warung aja nggak mau?

Saat membaca cerpen ini, saya emosi sekali dengan tokoh suami dan heran sekali dengan tokoh istri yang sabaaarrr…. “Ini sinetron,” pikir saya. Tapi, ketika hendak mengomel, saya membaca kalimat ini.

“Yang jelas, sejak kecil Ayah tidak pernah melihat Bapak membantu Ibu.”—p. 57

Jadi, itulah alasan si suami.
Cuma, alasan si istri berusaha sabar masih belum bisa saya pahami. *iya, saya memang bukan termasuk golongan orang yang sabar*
Dan ending cerpen ini… ngejengkelin. Bikin geregetan. Dan membuat saya besar harap lagi dengan cerpen-cerpen selanjutnya.


Di cerpen “Ningsih”, saya mulai memberi perhatian lebih pada buku ini. Cerpen ini berisi tentang Ningsih yang menerima KDRT dan masih bertahan.
Saya sejak dulu nggak pernah ngerti jalan pikiran perempuan seperti ini.
Tapi, kenyataannya, perempuan-perempuan ini ada di sekitar kita.
(*m)



Apakah memang perempuan mudah memaafkan laki-laki yang menjadi suaminya? Mudah menyerah hanya dengan kata sayang"? Begitu bisa menerima hanya dengan bekal cinta?--p.78

Saya punya seorang kawan dulu, dia dipukuli oleh pacar, bukan suami, tapi pacar. Dan tetap bertahan. 

Saya dulu cenderung tidak peduli. Bagi saya, hidup kita masing-masing. Kalau kamu menerima diperlakukan demikian, maka nikmatilah. *iye, rada kejam, ye* _;)


Tapi, teman-teman yang lain baik sekali. Berkali-kali mengingatkan. Berkali-kali merangkul setelah dia berdarah. Sementara saya semakin jengkel dan berusaha tidak berteriak “Bodoh!” kuat-kuat. Saya memang tidak terlalu dekat dengan dia sehingga merasa tidak cukup pantas terlalu jauh ikut campur. Sama seperti tokoh Tini di cerpen ini. Jadi, dari teman-teman yang lebih dekat dengannya saya bisa mengorek keterangan. 

Ketika ditanya apakah dia tidak mau berpisah, teman kami itu menjawab, “Tidak.” Soalnya, “Kalian tidak mengerti sosok X (cowok dia).” 

Tentu saja kami nggak ngerti. Kami nggak ngerti kenapa dia bertahan. Kami nggak ngerti apa yang dia pertahankan. Kami nggak ngertiii…. щ(Дщ) *huff…, tarik napas dulu*

Dan kalau dia masih mau bertahan, maka kami nggak bisa melakukan apa-apa. Lagi-lagi, sama seperti tokoh Tini di cerpen ini. Kalau Ningsih nggak mau memperjuangkan dirinya sendiri, maka orang-orang di sekitarnya tidak bisa membantu. Kalau kamu sedang akan tenggelam dan tidak berusaha mengulurkan tangan ke atas, orang-orang tidak bisa menjangkau tanganmu. Atau malah, jangan-jangan, mengira kamu hanya sedang berenang dan bukan sedang tenggelam. Jadi, pertolongan pertama adalah dari diri sendiri: kemauan.






Ending cerita teman kami sudah selesai. Dia akhirnya mau berhenti mempertahankan laki-laki itu. Syukurlahhh…. Sementara nasib Ningsih, dan mungkin Ningsih-Ningsih lain di dunia nyata ini, masih belum jelas ending-nya.


“Nada Pasir Kaliadem” juga mengagetkan. Bercerita tentang laki-laki yang saking ingin menikah dengan perempuan idamannya, menempuh jalan pintas: memerkosa. Yang membuat saya berkerut adalah ending yang dihadirkan penulis. 

“Ini yakin, ending-nya dibuat begini?” Begitu pikir saya waktu itu.
Secara implisit, penulis menunjukkan bahwa Sarni akhirnya mau menerima Kamto dan Kamto mau mulai berubah. Begitu saja. Kepasrahan. 

Kenapa bukan pesan “lawan” yang disampaikan penulis? Kenapa “pasrah”? Saya heran. Kalau begini, bisa-bisa jalan ini akan diambil oleh pemuda sebagai jalan pintas. 



Buat cewek yang jadi korban perkosaan atau pernah khilaf melakukan hubungan intim, bukan berarti dunia kalian harus berakhir dengan pelaku atau mantan atau jadi cewek yang ngelakuin hubungan intim lagi dengan pacar yang baru nanti.
Jangan berpikir, "Udah terlanjur, sekalian aja."

Jangan berpikir gitu, ya, jangan.... (´._.`)


Atau mungkin, penulis ingin menunjukkan bahwa kesalahan yang sudah terlanjur dibuat pihak pria masih bisa diperbaiki?
Atau mungkin, penulis lebih menekankan pesan pada sosok ustadz muda, Hamdi, yang terlambat memulai mendekati Kamto agar menggunakan cara santun untuk mendapatkan hati Sarni. Saya rasa demikian. Bagian Kamto-Sarni adalah pengantar untuk Hamdi-Rima, tokoh yang sesungguhnya ingin disentil penulis dalam cerpen ini.


Di “Terempas Asa” dan “Kembang Desa Maja”, ceritanya biasa, tapi ending-nya lumayan.

“Dulu saya dibuang karena aib, sekarang saya dibuang untuk menutup aib.”—p. 113

Mungkin udah ketebak ya ending-nya dari kutipan itu. Tapi, kutipannya menarik, nggak tahan kalo nggak ditulis. :D


Cerpen-cerpen selanjutnya ber-setting di Batam, sebelumnya di Jogja. Membacanya, saya yakin penulisnya sempat tinggal di Batam, bahkan mungkin sebagai pekerja pabrik juga, seperti tokoh-tokoh di cerpen-cerpennya. Dan ternyata, lagi-lagi setelah membaca pengantar, saya benar. Soalnya, penulis bisa menceritakan dengan baik sehingga pembaca jadi bisa membayangkan bagaimana suasana bekerja dan perasaan pekerja pabrik.

Saya langsung bahas cerpen terakhir di buku ini, “Bunga Karang”.
Soalnya, pemikiran penulis di cerpen ini lagi-lagi bikin kaget. Bercerita tentang Sasya, seorang pekerja pabrik yang sering menghilang dari mess dan diduga menjadi pelacur atau simpanan om-om oleh teman-temannya. Sasya santai saja, tidak menggubris.

“Aku tidak merasa apa yang kulakukan salah.”—p. 222

Itu yang disampaikan Sasya kepada sahabatnya. Tapi, tidak disertai penjelasan juga. Sehingga kita, pembaca, bertanya-tanya. Jawabannya ada di akhir.
Saya bingung, ingin membahas, tapi juga nggak mau merusak kenikmatan pembaca di cerpen ini. Yang pasti, perkataan Sasya tentang hal yang dia lakukan bisa dibenarkan. Dan itu juga membuat saya kembali berpikir tentang definisi salah dan benar.


Begitulah perjalanan saya membaca buku ini.
Sebagian kisahnya, seperti yang saya sampaikan, di luar dugaan. Sebagian yang lain biasa.

Sebagian kisah mengingatkan saya akan kekuatan doa. Dan bahwa doa itu bukan tanpa usaha.


Nah, terima kasih sudah mengenalkan saya dengan buku ini.
Kalau editing-nya diperbaiki tentu akan lebih baik.
(^-^)


Sumber gambar: kekerasan 1, kekerasan 2, kekerasan 3, doa.

Pages