Judul : Oliver Twist
Penulis : Charles
Dickens
Penyadur :
Dion Yulianto
Penerbit :
Laksana
Tahun :
2013
Halaman :
179
cover buku Sumber: https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/p480x480/1270_579369572083780_1993847364_n.jpg |
Saya baru saja selesai membaca
Charles Dickens, Oliver Twist, versi
terbitan Laksana. Mungkin, banyak dari kalian yang sudah membaca karya ini.
Tapi, tetap akan saya berikan
gambaran singkat mengenai novel ini.
Sebelumnya, di pengantar penerbit
sudah disebutkan bahwa penyaduran naskah oleh penerbit ini dilakukan dengan
penyederhanaan.
“Upaya penyaduran dilakukan untuk
lebih memperkenalkan karya ini kepada pembaca muda, yang rata-rata lebih
memilih buku bacaan yang tidak tebal dan bisa selesai dalam sekali-dua kali
duduk.” (p.6)
Itu…, saya banget. Pembaca muda.
*ahem* Selesai membacanya dalam… lebih dari dua kali duduk, sih. Soalnya
disambi manasin aer buat bikin teh, bikin teh, ngambil camilan di meja, setoran
ke kamar mandi, nyuci rendemen cucian, dan lain-lain. Jadi… lebih dari
sekali-dua kali duduk
Di pengantar penerbit juga ada
saran untuk membaca versi terjemahan lengkapnya yang sudah banyak di Indonesia.
Btw, di jurusan bahasa asing, ada nggak sih perbandingan terjemahan? Ada
kayaknya…, mungkin novel dengan banyak versi terjemahan begini bisa buat
kajian, nih. Saya juga mau…, kalo karya Agatha Christie ada yang udah nggarap
selain Gramed. Eh…, udah ada, ding. The
Mysterious Affair at Styles. Sapah
yang mao ikhlas ngebeliin versi penerbit laen itu? *kedip2* Tapi nggak dalem
paling hasil analisisnya, bukan anak jurusan sastra bahasa asing, sih. (yaelah,
ngulas naskah ae masih begini, mau ngadain perbandingan) haghaghaghag…. Mending
g usah kali, yak. :D
Okay…, lanjut ke novel ini.
Ceritanya tentang anak yang sejak
kecil sudah sengsara. Lahir ditinggal mati ibunya, tinggal di panti asuhan yang
tidak mengasuh. Diperjualbelikan sebagai budak.
Sampai di sini, saya teringat
film “Perfume”. Saya bayangkan kondisinya serupa seperti si tokoh utama waktu
kecil di film itu.
Setelah lari dari tuannya, si
Oliver ini terperangkap ke dalam komplotan pencopet. Dimulai lagilah episode
memilukan selanjutnya dalam hidupnya.
Sampe sini, saya ngebayangin
anak-anak itu sepertinya diperlakukan nggak separah di film “My Name is Khan”. *Ah?
Apa intermezo seperti ini mengganggu? Kalau membaca kan kita memvisualisasikan.
Dan visualisasi itu kita dapat dari rekaman di otak. Yang nyangkut pertama kali
waktu baca bagian itu ya film itu. (The first “itu” refers to? And the second
“itu” refer to?*halah*)Kalau kalian lebih banyak referensi, sepertinya
imajinasi kalian akan lebih luas pula… kan banyak pilihan.
*nah, sudah dulu ngaconya*
Terus, gimana nasib anak ini
akhirnya? Hm…, nggak boleh, nggak boleh dikasih tau. Baca dan temukan sendiri
efeknya buat kalian, haghaghag…. 3:)
Sayangnya, beberapa hal yang dihilangkan
membuat cerita pada beberapa bagian janggal.
Misalnya, si Oliver cuman minta
tambah sup aja reaksi orang-orang di panti sosial dan dewan kota segitunya.
Saya jadi berpikir, “Buset…, lebay amat reaksinya? Tu anak kan cuma bilang
minta tambah sup. Nggak boleh ya bilang aja nggak boleh.” Entah kalo di naskah aslinya ada penjelasan.
Kalo dari buku ini, saya rasa karena kemiskinan yang sangat membuat orang-orang
sensitif dan mudah naek darah.
Ada salah nama *Argh, saya
sebal sekali kalau menemukan ini.* (p. 35.)
Beberapa kutipan menarik.
“Begitulah salah satu sifat gelap
manusia, ketika ia tidak bisa membalas dendam pada orang-orang yang
menyakitinya, sering kali ia melampiaskannya kepada orang yang lebih lemah
darinya.” (p.34)
“Ada kepalsuan di balik air mata,
banyak juga keceriaan yang diselubungi tangisan pura-pura dan topeng dukacita.”
(p.37)
Begitu pun, maksud yang
disampaikan di pengantar penerbit memang sampai. Bacaan ini termasuk ringan.
Saya pikir, saya harus mulai dengan berkerut-kerut karena akan membaca salah
satu karya klasik. *ketauan jarang baca karya klasik, haghaghaghag….
Nah,
begitu saja.
Terima
kasih sudah mampir.
(^0^)/
No comments:
Post a Comment