Judul : Senyum Karyamin
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia
Halaman: 73 halaman
Ahmad Tohari penulis yang
memiliki kekhasan dari sisi tokoh dan setting. Dia selalu mengambil tokoh dari
kalangan ekonomi menengah ke bawah (begini, kan, istilah umumnya?) dengan setting
pedesaan yang kuat. Novel triloginya, Ronggeng
Dukuh Paruk; Catatan buat Emak, Jantera
Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini
Hari yang kemudian diterbitkan ulang dalam bentuk satu buku: Ronggeng Dukuh Paruk telah difilmkan
dengan judul Sang Penari.
Buku ini berisi 13 cerpen ini Ahmad
Tohari dari berbagai media, hasil pengumpulan oleh Maman S. Mahayana. Dan pada
bagian akhir ada ulasan mengenai cerpen-cerpen di dalamnya oleh Sapardi Djoko
Damono.
Mungkin bagi yang tidak mengerti
bagaimana kehidupan pedesaan, kumpulan cerpen ini akan terkesan berlebihan. Tohari
mengajak kita melihat kehidupan rakyat kecil dari sudut pandang rakyat kecil. Jangankan
memikirkan mau membangun rumah berdinding batu, mereka terlalu sibuk memikirkan
hendak makan apa hari ini. *Ya, sudah saya bilang, mungkin terkesan berlebihan.
Tapi, sebenarnya tidak.
Sebagian
tokoh yang bernasib tragis bukan pengangguran, bukan pula pemalas. Tapi seolah
keadaan yang memaksa mereka untuk berada di posisi itu. Membuat saya berpikir
bahwa inilah alasan orang tua saya berkata agar kami, anak-anaknya, mau belajar
dengan keras. Agar tidak perlu kerja fisik yang berat dan dapat dengan mudah digantikan
orang lain. Seperti tokoh-tokoh di kumpulan cerpen ini.
Saya
tidak memiliki pengalaman hidup di pedesaan. Hanya melihat dari jauh. Tipe anak
penurut yang jika dibilang jangan ke sawah maka saya tidak ke sawah…
*begitulah* Tapi, kehidupan mereka juga nggak jauh-jauh amat. Tapi, setidakpengalaman
apa pun Anda dengan kehidupan pedesaan, pasti ada tetangga, orang di pasar, di
jalan, yang akan teringat oleh pembaca ketika membaca buku ini.
Membuat
kita berpikir-pikir, mungkin… hidup mereka juga begitu. Mungkin…, orang gila
itu seperti si Sulam (cerpen “Wangon Jatilawang”). Dan saya adalah salah satu
dari orang-orang yang (kadang otomatis) berjengit ketika berpapasan dengan orang seperti Sulam. Tak mau berdekatan, apa
lagi menerimanya sebagai tamu di rumah. Ada banyak alasan yang bisa kita
sampaikan. Bau, jorok, kotor, ngeri, takut mengamuk, bodoh, bebal, bikin malu, dan
lain sebagainya. Percuma diberi pakaian, akan segera kotor. Percuma diajak
bicara, tidak akan nyambung. Percuma diberi tahu, pasti akan mengulang
kesalahan yang sama. Tak akan mempan diberi tahu. Diamkan saja. Jauhi.
Tapi…, bagaimana jika mereka kebetulan
lahir di lingkungan keluarga kaya? Yang pasti, masalah kotor, bau, dan jorok
kemungkinan sangat jauh berkurang. Sekotor apa pun, akan selalu ada pembantu
yang menggantikannya dengan baju yang bersih. Dan bagaimana jika “gila” itu
hanya perkara kelebihan kromosom (seperti yang baru2 ini saya lihat di foto fb).
Apakah terdengar lebih bermartabat dan membuat kita lebih mau berbaur?
Begitu.
Memang panjang sekali pikiran saya melantur hanya dari sebuah cerpen.
Meskipun yang saya jadikan contoh
adalah cerpen “Wangon Jatilawang”, cerpen favorit saya di buku ini adalah “Senyum
Karyamin”, “Surabanglus”, “Syukuran Sutangbawor”, dan “Blokeng”.
Membaca Senyum Karyamin itu…
seperti tertampar. saya rasa, aparat pemerintahan mulai dari RT, RW, dan
selanjutnya ke atas, sebaiknya membaca cerpen ini. Saya yakin, ada banyak
Karyamin di luar sana. Bahkan di lingkungan pedesaan yang dikenal dengan
sosialisasi yang baik. Ehm, maksud saya, selalu mengetahui perkembangan terkini
mengenai tetangga-tetangganya, lalu mendiskusikannya. *hei, saya nggak bilang
rumpi* ~..~”
Yang
sedikit mengganggu, beberapa diksi yang asing dan tidak diberi footnote.
Ayolah, buku ini disebar nasional dan tidak semua orang mengerti arti kata-kata
dalam bahasa Jawa. Kata seperti nganyar-anyari,
mintoni, botoh, dan sebagainya. Mengganggu ritme membaca karena harus
bertanya dulu atau googling tentang arti kata-kata itu.
Saya juga mendapat beberapa diksi
baru yang masih jarang terdengar: rumpon dan propagandis. :D
Yang menjadi pertanyaan, kata “acuh”
di naskah ini masih digunakan untuk mengganti kata “tak peduli”. Jadi
penasaran. Kata acuh ini mengalami perubahan makna atau memang kekeliruan penggunaan
kata acuh ini sudah sejak dulu?
…Protes
pertama dilayani dengan sikap acuh. Protes kedua dilayani dengan sorot mata
yang tajam. Protes selanjutnya dilawan dengan pendekatan persuasif sehingga
akhirnya tak ada protes. (p. 51)
Hhh…. Ini utang saya untuk minggu ini.
Semoga besok nggak perlu terburu-buru begini lagi.
Haghaghaghaghag….
selamat membaca.
Terima kasih sudah mampir.
(^-^)n