Entri Populer

Sunday, 17 September 2017

Berhentilah Sok Ingin Jadi Pahlawan Sementara Dirimu Sendiri Butuh Bantuan--Ulasan Buku Vegetarian karya Han Kang





Teknik Bercerita dan Tokoh-Tokoh yang Berbohong


Tokoh-tokoh dalam buku ini tidak bisa dipercaya.

*baca dulu bukunya, ulasan ini mengandung spoiler


*baiklah, setidaknya kamu sudah diingatkan



Model bercerita di buku ini membuat saya langsung teringat Grotesque karya Natsuo Kirino. Tokoh-tokoh lain membicarakan tokoh utama: ketika hidup, sebab kematiannya, hingga efek setelah kematiannya.
Kalau di buku ini, tokoh-tokoh lain membicarakan Yeong Hye: dulu ketika ia masih "normal" dan setelah ia memutuskan jadi vegetarian. Efeknya pada diri si tokoh itu sendiri, dan orang-orang di sekitarnya.


Di Grotesque, si tokoh yang digunjingkan meninggalkan diary untuk bercerita sebagai "aku", kalau di Vegetarian tokoh masih disediakan tempat untuk curhat di sela-sela penceritaan suami.

Berkat itu, kita jadi tahu asal mula kenapa dia memutuskan berhenti makan daging.



Persamaan lain adalah... ketika tokoh bercerita sebagai "aku", berbeda kesan ketika tokoh tersebut diceritakan tokoh lain.

Demikian pula, terhadap orang yang sama, muncul kesan berbeda dari tiap-tiap pencerita.

Ini menarik. Karena seperti dalam kehidupan nyata pun demikian.

Kalau tiap orang mau jujur, ada perbedaan pendapat ketika mereka ditanya tentang seseorang. Misal, muncul pertanyaan tentang X. A akan menjawab X baik, B berpendapat X banyak mengeluh, sementara bagi C si X adalah orang yang munafik. Tapi, seperti sudah kita ketahui, jarang sekali orang mau jujur. Risikonya kelewat mengerikan.

Di Grotesque, misal. Si tokoh jahat menulis kisah tentang dirinya dengan menyatakan bahwa dirinya tertekan kondisi di desanya. Dengan wajahnya yang tampan, ia merasa perlu mendapat kesempatan. Begitu tokoh lain bercerita, dia menggambarkan si tokoh jahat dengan wajah yang jelek. *saya kesel, sih. Soalnya sudah beratus halaman sebelumnya dibuat percaya dengan bualan si penjahat tentang dirinya sendiri. Tapi, sejak saat itu, saya waspada: bukan hanya tokoh-tokoh di novel detektif yang tidak boleh langsung dipercaya pembaca.



Pada buku Vegetarian, tokoh suami Yeong Hye (wanita yang memutuskan jadi vegetarian), berperan seperti suami yang seakan jadi korban. Entah ada pembaca yang merasa iba atau tidak kepadanya, sejak awal saya sudah tidak suka dengan karakter ini. Orang yang memilih istri yang "biasa-biasa saja" hanya agar dia merasa aman sungguh memalukan.

Ada sikap asli yang ditunjukkan sebenarnya. Sedikit. Tapi jelas, karena itu cerita dari sudut pandang Yeong Hye.



"Sial, kamu mau terus bergerak lamban seperti itu?" (p. 23)


Suami yang cuma pingin cari istri agar hidupnya terlayani, dan berucap kasar begitu, membuat saya kesal. Juga kesal kepada istrinya yang manut-manut aja. Tapi ya nyatanya banyak begitu di kehidupan nyata.



Jadi, kesan si suami yang sok pedih adalah omong kosong. Dia mulai merasa ketenteraman hidup yang diangankan terguncang karena istrinya bukan lagi jadi makhluk standar sejak jadi vegetarian.



Kakak Ipar Yeong Hye pun berbohong. Ketika ia bisa terangsang dengan membayangkan tanda lahir, tapi kemudian merasa baik-baik saja karena setelah melihat tanda lahir itu dia masih bisa menahan diri untuk tidak melakukan hubungan.



Sejak awal ia memang hanya ingin merekam tubuh bugil wanita ini, tapi ia tak menyangka bahwa itu tak membangkitkan gairah seksualnya. (p. 107)


Ternyata tidak.

Dia berjuang meminta sang mantan melakukan body painting padanya agar ia bisa mendapatkan tubuh dengan tanda lahir itu.

Bahkan....



“Kuharap aku bisa memundahkan ini ke lidahku.”

“Apa?”

“Tanda lahir kebiruan ini.” (p. 140)


Rangsangan tanda lahir itu demikian kuat baginya. Dan ia memang berjuang demi mendapatkannya, setelah beberapa kali melakukan penyangkalan. Tujuan utamanya tetap seperti yang dia sampaikan di awal bercerita: ia ingin bercinta dengan si pemilik tanda lahir. Segala pertahanan diri dan seni itu hanyalah jembatan untuk mencapai tujuan dengan sesedikit mungkin perasaan bersalah. 

Dia memang sempat merasakan keraguan di halaman 72 dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri. Ketika ia mulai merasakan gairah kepada adik iparnya.  Namun, sebelumnya, pada halaman 67, ia sebenarnya sudah bertekad untuk mewujudkan impiannya. Setelah menonton pertunjukan seni yang ia harap bisa menggambarkan sesuai bayangannya, ternyata ia malah jadi merasa tidak ada yang dapat mewujudkan mimpinya selain dirinya sendiri.

Apakah ini ada hikmahnya? Seandainya ada  ... bahwa akhirnya ia terpaksa mewujudkan mimpinya. Mimpinya--apakah ada orang lain yang bisa menggantikan dirinya untuk mewujudkannya?



Dan coba lihat ketika petugas ambulans datang, si kakak ipar sempat bertekad bahwa tak apa, dia sudah siap menghadapi segalanya karena sudah membuat mahakarya.

Nyatanya, ketika kakak Yeong Hye yang mendapat giliran bercerita, ternyata ada sorot ketakutan di mata suaminya itu ketika petugas datang, dan si pembuat mahakarya pun mencoba bunuh diri.



Yeong Hye sendiri berkata tidak bisa bercinta. Sebabnya, ia bisa merasakan hasrat ingin bercinta justru karena gambar bunga. Ketika body painting selesai, mereka mulai bercinta dalam gelap (mananya yang terangsang karena bunga??) dan Yeong Hye mau hanya karena dia mencium bau cat. -_-"

Selesai bercinta, baru dia minta lampu dihidupkan untuk memperhatikan gambar bunga di tubuh lawan bercintanya. 

Berarti tokoh utama ini pun berdusta. Bukan karena bunga (setidaknya tidak secara visual) dia terangsang.



Dari bagian terakhir, cerita itu mulai menjadi pelengkap puzzle mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Yeong Hye. 



Lagi-lagi, keluarga, kan.

Saya selalu suka buku yang bercerita mengenai sebab-akibat dalam hal-hal yang terjadi dalam sebuah keluarga kepada anak-anak di dalamnya. Karena pelajaran yang bisa dipetik jadi beragam sekali.

Si sulung selalu berusaha menjadi penerima beban tanggung jawab. Selalu berusaha jadi orang baik. Capek pasti dia. Siapa yang nggak capek kalo selalu berusaha jadi orang baik. Hampir gila juga. Kan dia curhat, kalo bukan adiknya, bisa jadi dia yang bakal mengalami.


Tak lama waktu berlalu, ia menyadari sebuah kenyataan, yakni orang yang ingin ia lihat beristirahat justru bukan suaminya, melainkan dirinya sendiri. (p. 158)
Itu juga salah satu curhatannya yang menyatakan bahwa dia sudah sangat lelah. Berusaha, selalu berusaha untuk orang lain. Saya juga tidak suka dengan tokoh ini. Dia berlagak jadi pahlawan, padahal dirinya sendiri butuh bantuan.


Si bungsu tidak terlalu tertekan karena menyalurkan apa yang ia terima. Pukulan dibalas pukulan. Bedanya, yang menerima pukulan balasannya adalah anak tetangga, bukan yang memukuli dia.


Si tengah selalu berusaha menerima. Seakan itu takdir yang digariskan untuknya. Beberapa kali ia pernah mencoba kabur, berontak, keluar. Ia menyatakan tidak mau pulang dari hutan, misal, ketika sedang pergi dengan si kakak. Atau tentang si anjing. Tapi, pada akhirnya, ia memilih menekan hal itu dan memunculkan lagi sikap menerima.



Kebayang nggak betapa melelahkan hidup seperti itu? Ingin berontak tapi harus menerima. Itu semua terekam di bawah sadar, dan tersulut dalam bentuk mimpi karena sebulat darah karena goresan. 



Setetes darah merah mengalir cepat ketika aku mengangkat telunjukku. Bulat, lebih bulat. Hatiku langsung tenang setelah aku memasukkan jariku ke mulut. Anehnya, warna merah dan rasa agak manis ini seakan berhasil menenangkanku. (p. 23)


Saya pernah baca kisah serupa, pemberontakan istri yang tersulut melihat bekas darahnya yang akan dia bersihkan di ujung karpet. Biasanya dia akan menggosok saja bekas darah begitu, dan melanjutkan hidup sebagai istri yang patuh karena lagi-lagi tidak menemukan jalan keluar yang mungkin. Rapi, saat itu seperti mendapat wangsit, dia memutuskan pergi. (Kalau tidak salah ingat, ini karya Stephen King)



Hal lain yang bisa dipetik adalah... orang-orang eh, tokoh-tokoh ini tidak menjadi diri sendiri. Dan efeknya sampai ketika mereka mencari jodoh. Karena tidak menjadi diri sendiri, ketika mendapatkan jodoh juga yang tidak cocok dengan diri mereka, melainkan yang cocok dengan peran yang mereka tunjukkan.


Efeknya, seperti yang dirasakan kakak Yeong Hye misalnya, setelah hidup bersama bertahun-tahun ternyata dia tidak mengenal pasangannya.

Kakak Ipar juga tidak bisa menjadi diri sendiri yang ternyata menyukai permainan ketika melakukan hubungan.

Dan kehadiran seorang anak yang biasa dikabarkan bisa menjadi perekat hubungan suami istri, nyaris tidak memiliki efek untuk itu.



Kalian bisa bilang..., "dia nggak begitu, saya kenal betul."

Tapi, apa kalian yakin benar-benar mengenal orang lain meskipun sudah berdekade hidup di bawah atap yang sama? Yakin memang dirinya yang sebenarnya yang selama ini ia tunjukkan, dan bukan topeng yang sudah demikian sering digunakan hingga menutupi sifat-sifat dan sikap asli?


Yakin orang yang ada di sekitar kalian "normal"? Lagi pula, memangnya "normal" itu apa? Haha. 



Tokoh-tokoh dalam naskah itu ingin bebas, itu jelas. Jadi, cobalah baca, dan lihat... betapa menyedihkan jika kalian tidak pernah mencoba menjadi diri sendiri, dan justru selalu berusaha menjadi seperti yang orang-orang harapkan.

Dan saya rasa bukan cuma wanita kok yang jadi sorotan utama Han Kang. 



Tiga Burung dan Rumah Sakit Jiwa


Yang saya tidak mengerti justru mengenai 3 ekor burung dalam genggaman Yeong Hye. 


Apa maksudnya? Setelah semua upaya penghindaran darah dan daging, mengapa 3 burung itu muncul? Itu... merusak pola, kan?


Atau..., ada yang terlewat oleh saya?


Hal lain yang mengganjal di kepala adalah: memang separah itu ya sikap untuk seorang yang memutuskan jadi vegetarian di negara Han Kang berasal? 

Saya sudah dapat penjelasan, memang. Mengenai betapa daging merajai meja makan di sana, salah satunya dari suami.



Tapi, saya baru sebatas mengetahui, belum mengerti apalagi memahami.



Selain itu, penanganan yang diperlihatkan diberikan pada Yeong Hye selalu berbentuk fisik. Padahal—apakah para dokter itu tidak melihat—kalau sakitnya lebih pada psikis. Saya bayangkan, ketika Yeong Hye dibawa ke rumah sakit karena upaya bunuh diri, tentu muncul pertanyaan: kenapa dia mau bunuh diri? Begitu sewajarnya bukan?


Kenapa? << seandainya lebih banyak orang cukup peduli untuk mengajukan pertanyaan ini.


Setelah diketahui penyebabnya adalah keinginan menjadi vegetarian yang tidak mendapat dukungan keluarga, tentu akan ada penelusuran lebih lanjut. Lewat konsultasi2 itu (?). Setelah itu, tentu akan diketahui sebab-sebabnya di antaranya adalah si bapak dan suami—dan tentu saja dirinya sendiri.


Dan biasanya, keluarganya akan dipanggil pihak dokter dan rumah sakit untuk diberi pengarahan, bagaimana sebaiknya mereka bersikap terhadap Yeong Hye. Karena kesembuhan psikis butuh dukungan orang-orang terdekat.


Tapi, lagi-lagi dengan teknik bercerita, Han Kang menghilangkan waktu-waktu tertentu. Dari masa percobaan bunuh diri yang dikisahkah suami, sudah dua tahun berlalu ketika kakak ipar mulai bercerita. Lalu, sudah berlalu beberapa waktu ketika kakak Yeong Hye bercerita.


Penghilangan setting waktu tersebut bisa jadi karena peristiwa yang terjadi dalam rentang yang hilang dianggap tidak penting, memang. Dan membantu menghemat penjelasan mengenai penanganan medis yang diterima Yeong Hye. Tapi, bukan berarti upaya penanganannya secara psikis tidak ditunjukkan, kan?



Saya tetap lebih suka Lelaki Harimau. Karena, secara kultur saya merasa lebih dekat. Jadi, saya lebih bisa memahami hal-hal yang terjadi di buku itu daripada di buku ini. 

Tuesday, 5 September 2017

Blogtour dan Giveaway Persembahan Teruntuk Bapak karya Adi Zamzam--Pengumuman Pemenang



Judul: Persembahan Teruntuk Bapak
Penulis: Adi Zamzam
Penerbit: DIVA Press
Tebal: 184 halaman
ISBN: 978-602-391-435-7


“Takdir itu harus diupayakan.”


Pak Wiryo dulu adalah seorang dalang ternama. Tapi, sejak grup wayang kulit yang dipimpinnya bubar, ia seperti kehilangan gairah. (hal. 32). Itu yang beredar di masyarakat umum.

Arya adalah anak bungsu Pak Wiryo. Ia memiliki bakat menjadi dalang, namun sekaligus meragukan wayang itu sendiri. Sementara, Bambang, kawannya di SMA, justru sangat suka dengan wayang, dan meletakkan impiannya di sana.

Bambang yang merasa bisa belajar dari Pak Wiryo pun mulai mendekatkan diri ke Arya. Perlahan, mereka berdua menjadi sahabat.

Keduanya menyimpan luka di keluarga masing-masing.

Bambang memiliki postur kearab-araban. Diduga, dia merupakan anak hasil hubungan ibunya dengan sang majikan saat menjadi TKW. Tak peduli apakah ibunya diperkosa atau menggoda, orang-orang tetap mem-bully. Beberapa kali, Bambang nyaris terlibat pertengkaran dengan kawannya yang mem-bully.

Arya juga memiliki konflik yang tidak sederhana. Bukan kejatuhan pamor sang bapak yang membuat keluarga Arya retak. Semua berawal dari bapaknya yang “mendua” dengan salah satu sinden. Luka di hati istri Pak Wiryo mungkin bisa sembuh (atau tidak, tapi dia berusaha tabah menerima). Namun, luka di hati ketiga anaknya membekas keras.

Dalam hati, mereka menetapkan bahwa dunia wayang merupakan salah satu sebab sang bapak berubah. Karena di sanalah ia bertemu sinden itu.

Arya yang berasal dari keluarga dalang menolak menggeluti dunia bapaknya, sementara Bambang yang sangat menyukai dunia wayang melihat bakat besar pada sahabatnya tersebut.

Mana yang akan menang. Perasaan putus asa Arya, atau kegigihan Bambang?

***

Buku ini utamanya berkisah mengenai upaya menyatukan kembali keping-keping yang sudah berserak setelah “kehancuran” sebuah keluarga akibat orang ketiga.

Yang paling menarik adalah karakter-karakter yang kuat. Termasuk, sikap Arya yang penuh kebimbangan pada usia remaja. Hal itu membuat buku ini membuat kita merasa sedang membaca kisah salah satu tetangga kita yang pernah digosipkan di warung-warung atau gardu.

Karakter-karakter di novel (utamanya keluarga Pak Wiryo) begitu manusiawi. Dengan segala unsur yang mungkin ada pada manusia: fisik dan psikologis, konflik individu dan sosial yang mungkin timbul dan kemudian bersinggungan.

Saya rasa, buku ini memang bukan tipe yang menghentak-hentak, namun memaparkan kehidupan sesederhana mungkin.

Karena itu, kisah Arya terasa nyata.

***

Saatnya Giveaway. Akan ada satu buku Persembahan Teruntuk Bapak untuk kamu yang beruntung.

Caranya mudah.


  1. Follow Twitter @divapress01 atau like FB Penerbit DIVA Press
  2. Jawab pertanyaan ini: Kamu akan mengambil profesi mengikuti orang tuamu atau justru mencoba sesuatu yang baru? Berikan alasannya dalam maksimal 3 kalimat. 
  3. Share link giveaway ini melalui media sosial kalian (nggak harus Twitter). Dan boleh mention saya @muhajjah_ atau penerbit DIVA Press. 
  4. Tulis nama, link share, alamat email, dan jawaban pada kolom komentar di bawah.
  5. Pastikan alamat kamu di Indonesia.
  6. Jawaban ditunggu sampai 10 September 2017. Pengumumannya Senin depan, 11 September 2017. 


Jangan lupa pantengin terus perjalanan GA buku ini di blog-blog selanjutnya.



Pengumuman Pemenang


Selamat Kepada:

Lenny


Jawaban: 

Aku akan mengambil profesi yang sesuai dengan passionku.
Kalau profesi kedua orangtuaku sesuai dengan passionku aku akan mengikuti orangtuaku, tetapi kalau tidak sesuai dengan passionku aku akan mencoba sesuatu yang baru, yang pastinya sesuai dengan passionku. 
Karena alangkah lebih baik kalau kita memilih profesi itu sesuai dengan passion kita.


Makasih untuk semua yang sudah ikutan.
Kalau masih penasaran dengan buku ini, lanjut ke bloghost selanjutnya, ya....
Sampai jumpa di GA berikutnya... \(^0^)/

Saturday, 2 September 2017

Imajinasi Pun Butuh Konsistensi--Ulasan Ringan Dua Cerpen Eka Kurniawan



Buku yang saya pilih saat ingin bacaan ringan biasanya memang kumpulan cerpen. Buku Perempuan Path Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi *hosh hosh* baru-baru ini saya temukan di tumpukan, jadi buku inilah yang saya baca.

Dari 15 cerpen di dalamnya, ada beberapa cerpen yang menarik untuk dibahas. Kalau belum baca, saran saya baca dulu. Soalnya, ini ulasan, bukan review, jadi bakal banyak spoiler di dalamnya.

Yang utama menarik untuk dibahas adalah "La Cage aux Folles". Ide untuk menceritakan kemungkinan yang terjadi pada pasangan sejenis yang dituangkan Eka menarik. Misal, A dan B sama-sama laki-laki dan saling jatuh cinta, sebenarnya mereka mencintai fisik atau raga? Mencintai perempuan di dalam tubuh lelaki, atau memang menyukai tubuh lelaki yang bisa diposisikan sebagai wanita ketika berhubungan? 

Awalnya, cerpen dibuka dengan percakapan Kemala dan Martha. 

"Antara Jakarta dan Los Angeles barangkali bukan jarak yang jauh buatku," kata Kemala kepada Martha akhirnya, sebelum melanjutkan, "tapi antara tubuh lelaki dan perempuan, kau akan tahu, ada jarak yang terlampau jauh untuk kutempuh." 

Sampai di sini, imajinasi apa yang terbentuk di kepala pembaca mengenai tokoh-tokoh itu?

Kemala dan Martha sama-sama wanita, dan salah satu di antara mereka--kemungkinan Martha, ingin "mengganti" tubuh. Menjadi laki-laki. 

Iya, nggak? Atau, ada yang mendapat kesan berbeda?

Cerita diteruskan dengan kenyataan bahwa nama asli Martha adalah Marto. 

Oh, oke. Jadi, Kemala siapanya Marto? Keluarga, sahabat, atau kekasih?

Cerita berlanjut mengenai perjuangan Marto benar-benar mengganti tubuh menjadi Martha. Ia memohon kepada kawannya agar dibawa ke Amerika. Di sana, ia terus berkembang hingga mendaftar menjadi penyanyi restoran La Cage aux Folles. 

Kemudian, ada bagian cerita yang menampilkan satu kalimat pendek. 

Melintasi Samudra Pasifik, di dalam lambung pesawat Airbus A380, seorang lelaki mencoba duduk sambil membaca novel Shidney Sheldon, Rage of Angels, yang dibelinya di bandara. Tujuh jam lagi baru ia akan sampai di bandara LAX, Los Angeles.
Lelaki itu Kemala. Ia merasa pesawat tersebut sangat lambat.

Hah? 
Lelaki itu Kemala.
Kemala itu lelaki.
-___-"
Baiklah, saya merasa tertipuh. Itu bukan nama yang membuat saya memiliki kecurigaan sedikit pun bisa dipakai untuk uniseks. Bukan nama yang umum digunakan untuk "menjebak" pembaca. 

Meskipun, sudah ada petunjuk seperti berikut.

Sejujurnya, Kemala tak suka Marto mengubah namanya menjadi Marni dan berkali-kali mengingatkannya, "Kamu tak perlu menjadi perempuan, Sayang."

Nyatanya, saya masih loading saat bagian itu. Saya pikir... jadi, Kemala perempuan yang sebenarnya menyukai perempuan, tapi merasa jatuh cinta pada Marto yang bertubuh laki-laki namun berjiwa perempuan? << Hu um, saat bagian ini, kepala saya makin berdenyut. Dan ternyata jawabannya sesederhana Kemala adalah laki-laki. Ini tidak adil... pilihan nama itu terlalu tidak biaaasssaaaa.... *baiklah, abaikan drama ini. 

Dan di akhir, meskipun menyusul ke restoran dan melihat langsung perubahan Marto menjadi Martha, Kemala merasa sudah tidak lagi mencintainya.

Oke, jadi ide dasar Eka adalah: Bagaimana jika ketika salah satu dari pasangan sejenis memutuskan mengganti tubuh, pasangannya justru tak suka dan memutuskan berpisah? << begitu kira-kira.

Jadi, cinta macam apa yang terjadi di antara Kemala dan Marto?
Apakah bisa kita sebut Kemala mencintai Marto apa adanya, karena dia justru meminta Marto tetap seperti saat itu? 
Atau, justru Kemala tidak mencintai Marto apa adanya, karena ternyata dengan tubuh yang lain Kemala merasa mereka sudah tak bisa lagi bersama?

Berarti, cinta Kemala hanya fisik semata, dong? Ketertarikan sesama jenis artinya terkait fisik, bukan jiwa. Itu yang ingin ditampilkan Eka. Dan menurut saya menarik.


(Tambahan Dimulai)

Nah, nah, demam saya sudah turun. Dan saya teringat. Ada tokoh bernama Laksono yang terlibat selama perubahan bentuk tubuh Marto ke Martha. Awalnya, ketika ditawari bahwa Marto juga bisa "dipakai", Laksono berkata, "Najis, najis."

Tapi..., setelah operasi berhasil dan Martha memilih wajah pemain film dewasa dari Indonesia bernama Anita Karma yang jadi favorit Laksono, dia malah mendatangi Martha.

Dengan wajah memerah, Laksono bertanya, "Bolehkah?"

Perubahan wujud *buset istilahnya Marto menjadi pemain film itu sudah membuat Laksono tak peduli lagi siapa dia sebelumnya. Toh yang tampak di hadapannya adalah wanita yang jadi temannya berimajinasi selama ini.

Jadi, lagi-lagi fisik yang berperan. Perubahan fisik seseorang bisa mengubah perlakuan orang lain kepadanya. Yak. Itu, kita semua tau. Bukan rahasia. Dan dirasa wajar terjadi apa adanya~~~

(Tambahan selesai)

***

Cerpen kedua yang akan saya bahas adalah cerpen "Membuat Senang Seekor Gajah". Cerpen ini dibuka dengan seekor gajah yang gelisah karena cuaca panas. Ia dengar dari kawan-kawannya, manusia memiliki lemari pendingin kecil. Dengan niat menumpang mendinginkan diri di kulkas manusia, Gajah mengetuk pintu. 

Dua anak kecil yang membuka. Tak ada orang tua, tak ada pengasuh. 

"Hei, Gajah. Apa yang bisa kami bantu?" ....
"Aku kepanasan. Aku ingin masuk ke lemari pendingin," kata si Gajah malu-malu.

Tapi, ternyata Gajah terlalu besar.
Beberapa cara sudah dicoba. Kedua anak itu
mengeluarkan rak-rak penyekat, dan si Gajah menggulung belalainya.
Masih tidak berhasil. Hanya sedikit bagian kepala Gajah yang masuk.

Muncullah sebuah gagasan dari salah satu anak itu.

"Mungkin kita harus memotong-motongnya, Potong kecil-kecil sehingga bisa masuk ke lemari."
Si anak barangkali sampai ke gagasan itu setelah mengingat ibunya pernah memotng-motong buah pepaya agar masuk ke mangkuk kecil.
Itu harus dicoba, pikir si anak lelaku. Selama beberapa saat kedua anak sibuk memotong-motong si Gajah.

Oke, cukup sampai di situ. Kutipan itu berurutan, memang begitu adanya.
Sebenarnya, ketika si anak perempuan sudah mengungkapkan secara lisan ide untuk memotong-motongnya, saya sudah menunggu reaksi. Dari si Gajah. Yang dibuat bisa berbincang dengan manusia sejak awal.

Ayolah,ketika dia minta izin mau ngadem di kulkas, perbincangan mereka lancar. Dan ketika mendengar anak-anak itu mau memotong-motongnya, si Gajah diam saja? Tak ada reaksi?

Mungkin, dia tidak mengerti arti kata "potong".

Siapa itu yang berbicara? *tengok kanan kiri
Yup, saya sempat berpikir begitu. Lalu, penuh harap, melanjutkan membaca. 
Tapi....

Pertama, mereka mencopot dan membagi-bagi keempat kakinya, lalu ekornya, lalu kepalanya, lalu telinganya yang lebar dan belalainya yang panjang. 

Dan begitu seterusnya diceritakan kedua anak itu berusaha memasukkan sebanyak mungkin bagian tubuh Gajah ke dalam kulkas. 

Hingga si anak perempuan kemudian menyadari sesuatu.
"Kurasa kita telah membunuh si Gajah." Kata-katanya mengandung sejenis kesedihan.

Oke. Jadi sudah pasti itu Gajah beneran sudah dipotong-potong.
Saya kesal. 
Ketika sebuah benda sudah dipersonifikasi, maka ada hal-hal yang terikat pada benda tersebut.
Dan si Gajah selain bisa berbincang dengan manusia, juga bisa merasakan suhu panas. Itulah kenapa awalnya dia kepingin nyoba masuk kulkas, kan?
Tapi, apa ketika diseset kakinya si Gajah nggak bereaksi? Sama sekali?

No....

Menulis fiksi memang menggunakan imajinasi. Namun, imajinasi pun butuh konsistensi.


Padahal, kalimat menjelang akhir di cerpen ini bagus. 

"Membuatnya senang kupikir hal yang lebih penting daripada yang lain. 
Percuma ia hidup jika tidak senang."

Ah, apa mungkin... Gajah itu adalah boneka gajah, dan dua anak itu berimajinasi seperti si ayah di Fortunately, the Milk karya Neil Gaiman? Hah? 
*baiklah, itu kebablasan. 

Saya berpikir begitu karena darah yang dihasilkan Gajah tidak disebut sedikit pun. Tapi, tidak ada petunjuk kuat kalau gajah itu cuma boneka. Misal, ketika emak-bapak kedua anak itu pulang, menemukan boneka gajah koyak moyak di lantai dan kulkas... *malah ngarang sendiri

Baiklah, ternyata saya cuma kuat bahas 2 cerpen itu saja. 
Setidaknya, saya kembali membaca, dan menulis. 
Ahahahahahahah!!!
<(^0^)>
*kayaknya saya butuh berobat

Sebelum menutup, ada satu cerpen lagi yang menarik. "Jangan Kencing di Sini". Tentang... cewek yang... mmm... silakan dibaca langsung aja, deh. 
*kabur...


Pages