Teknik Bercerita dan Tokoh-Tokoh
yang Berbohong
Tokoh-tokoh dalam buku ini tidak bisa dipercaya.
*baca dulu
bukunya, ulasan ini mengandung spoiler
*baiklah, setidaknya kamu sudah diingatkan
Model
bercerita di buku ini membuat saya langsung teringat Grotesque karya Natsuo Kirino.
Tokoh-tokoh lain membicarakan tokoh utama: ketika hidup, sebab kematiannya,
hingga efek setelah kematiannya.
Kalau di buku ini, tokoh-tokoh lain membicarakan Yeong Hye: dulu ketika ia masih "normal" dan setelah ia memutuskan jadi vegetarian. Efeknya pada diri si tokoh itu sendiri, dan orang-orang di sekitarnya.
Kalau di buku ini, tokoh-tokoh lain membicarakan Yeong Hye: dulu ketika ia masih "normal" dan setelah ia memutuskan jadi vegetarian. Efeknya pada diri si tokoh itu sendiri, dan orang-orang di sekitarnya.
Di
Grotesque, si tokoh yang digunjingkan meninggalkan diary untuk bercerita
sebagai "aku", kalau di Vegetarian tokoh masih disediakan tempat
untuk curhat di sela-sela penceritaan suami.
Berkat itu,
kita jadi tahu asal mula kenapa dia memutuskan berhenti makan daging.
Persamaan
lain adalah... ketika tokoh bercerita sebagai "aku", berbeda kesan
ketika tokoh tersebut diceritakan tokoh lain.
Demikian
pula, terhadap orang yang sama, muncul kesan berbeda dari tiap-tiap pencerita.
Ini menarik.
Karena seperti dalam kehidupan nyata pun demikian.
Kalau tiap
orang mau jujur, ada perbedaan pendapat ketika mereka ditanya tentang
seseorang. Misal, muncul pertanyaan tentang X. A akan menjawab X baik, B
berpendapat X banyak mengeluh, sementara bagi C si X adalah orang yang munafik.
Tapi, seperti sudah kita ketahui, jarang sekali orang mau jujur. Risikonya
kelewat mengerikan.
Di Grotesque, misal. Si tokoh jahat menulis kisah tentang dirinya dengan menyatakan bahwa dirinya tertekan kondisi di desanya. Dengan wajahnya yang tampan, ia merasa perlu mendapat kesempatan. Begitu tokoh lain bercerita, dia menggambarkan si tokoh jahat dengan wajah yang jelek. *saya kesel, sih. Soalnya sudah beratus halaman sebelumnya dibuat percaya dengan bualan si penjahat tentang dirinya sendiri. Tapi, sejak saat itu, saya waspada: bukan hanya tokoh-tokoh di novel detektif yang tidak boleh langsung dipercaya pembaca.
Pada buku Vegetarian, tokoh suami
Yeong Hye (wanita yang memutuskan jadi vegetarian), berperan seperti suami yang
seakan jadi korban. Entah ada pembaca yang merasa iba atau tidak kepadanya, sejak awal
saya sudah tidak suka dengan karakter ini. Orang yang memilih istri yang
"biasa-biasa saja" hanya agar dia merasa aman sungguh memalukan.
Ada sikap
asli yang ditunjukkan sebenarnya. Sedikit. Tapi jelas, karena itu cerita dari
sudut pandang Yeong Hye.
"Sial, kamu mau terus bergerak lamban seperti itu?" (p. 23)
Suami yang
cuma pingin cari istri agar hidupnya terlayani, dan berucap kasar begitu,
membuat saya kesal. Juga kesal kepada istrinya yang manut-manut aja. Tapi ya
nyatanya banyak begitu di kehidupan nyata.
Jadi, kesan
si suami yang sok pedih adalah omong kosong. Dia mulai merasa ketenteraman
hidup yang diangankan terguncang karena istrinya bukan lagi jadi makhluk
standar sejak jadi vegetarian.
Kakak Ipar
Yeong Hye pun berbohong. Ketika ia bisa terangsang dengan membayangkan tanda
lahir, tapi kemudian merasa baik-baik saja karena setelah melihat tanda lahir itu
dia masih bisa menahan diri untuk tidak melakukan hubungan.
Sejak awal ia memang hanya ingin merekam tubuh bugil wanita ini, tapi ia tak menyangka bahwa itu tak membangkitkan gairah seksualnya. (p. 107)
Ternyata
tidak.
Dia berjuang
meminta sang mantan melakukan body
painting padanya agar ia bisa mendapatkan tubuh dengan tanda lahir itu.
Bahkan....
“Kuharap aku bisa memundahkan ini ke lidahku.”
“Apa?”
“Tanda lahir kebiruan ini.” (p. 140)
Rangsangan
tanda lahir itu demikian kuat baginya. Dan ia memang berjuang demi mendapatkannya,
setelah beberapa kali melakukan penyangkalan. Tujuan utamanya tetap seperti
yang dia sampaikan di awal bercerita: ia ingin bercinta dengan si pemilik tanda
lahir. Segala pertahanan diri dan seni itu hanyalah jembatan untuk mencapai tujuan
dengan sesedikit mungkin perasaan bersalah.
Dia memang sempat merasakan keraguan di halaman 72 dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri. Ketika ia mulai merasakan gairah kepada adik iparnya. Namun, sebelumnya, pada halaman 67, ia sebenarnya sudah bertekad untuk mewujudkan impiannya. Setelah menonton pertunjukan seni yang ia harap bisa menggambarkan sesuai bayangannya, ternyata ia malah jadi merasa tidak ada yang dapat mewujudkan mimpinya selain dirinya sendiri.
Dia memang sempat merasakan keraguan di halaman 72 dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri. Ketika ia mulai merasakan gairah kepada adik iparnya. Namun, sebelumnya, pada halaman 67, ia sebenarnya sudah bertekad untuk mewujudkan impiannya. Setelah menonton pertunjukan seni yang ia harap bisa menggambarkan sesuai bayangannya, ternyata ia malah jadi merasa tidak ada yang dapat mewujudkan mimpinya selain dirinya sendiri.
Apakah ini ada hikmahnya? Seandainya ada ... bahwa akhirnya ia terpaksa mewujudkan mimpinya. Mimpinya--apakah ada orang lain yang bisa menggantikan dirinya untuk mewujudkannya?
Dan coba
lihat ketika petugas ambulans datang, si kakak ipar sempat bertekad bahwa tak
apa, dia sudah siap menghadapi segalanya karena sudah membuat mahakarya.
Nyatanya,
ketika kakak Yeong Hye yang mendapat giliran bercerita, ternyata ada sorot
ketakutan di mata suaminya itu ketika petugas datang, dan si pembuat mahakarya
pun mencoba bunuh diri.
Yeong Hye
sendiri berkata tidak bisa bercinta. Sebabnya, ia bisa merasakan hasrat ingin
bercinta justru karena gambar bunga. Ketika body
painting selesai, mereka mulai bercinta dalam gelap (mananya yang
terangsang karena bunga??) dan Yeong Hye mau hanya karena dia mencium bau cat.
-_-"
Selesai
bercinta, baru dia minta lampu dihidupkan untuk memperhatikan gambar bunga di
tubuh lawan bercintanya.
Berarti
tokoh utama ini pun berdusta. Bukan karena bunga (setidaknya tidak secara
visual) dia terangsang.
Dari bagian terakhir, cerita itu mulai menjadi pelengkap puzzle mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Yeong Hye.
Lagi-lagi,
keluarga, kan.
Saya selalu
suka buku yang bercerita mengenai sebab-akibat dalam hal-hal yang terjadi dalam
sebuah keluarga kepada anak-anak di dalamnya. Karena pelajaran yang bisa
dipetik jadi beragam sekali.
Si sulung selalu berusaha menjadi penerima beban tanggung jawab. Selalu berusaha jadi orang baik. Capek pasti dia. Siapa yang nggak capek kalo selalu berusaha jadi orang baik. Hampir gila juga. Kan dia curhat, kalo bukan adiknya, bisa jadi dia yang bakal mengalami.
Si sulung selalu berusaha menjadi penerima beban tanggung jawab. Selalu berusaha jadi orang baik. Capek pasti dia. Siapa yang nggak capek kalo selalu berusaha jadi orang baik. Hampir gila juga. Kan dia curhat, kalo bukan adiknya, bisa jadi dia yang bakal mengalami.
Tak lama waktu berlalu, ia menyadari sebuah kenyataan, yakni orang yang ingin ia lihat beristirahat justru bukan suaminya, melainkan dirinya sendiri. (p. 158)
Itu juga
salah satu curhatannya yang menyatakan bahwa dia sudah sangat lelah. Berusaha,
selalu berusaha untuk orang lain. Saya juga tidak suka dengan tokoh ini. Dia
berlagak jadi pahlawan, padahal dirinya sendiri butuh bantuan.
Si bungsu
tidak terlalu tertekan karena menyalurkan apa yang ia terima. Pukulan dibalas
pukulan. Bedanya, yang menerima pukulan balasannya adalah anak tetangga, bukan yang memukuli dia.
Si tengah
selalu berusaha menerima. Seakan itu takdir yang digariskan untuknya. Beberapa
kali ia pernah mencoba kabur, berontak, keluar. Ia menyatakan tidak mau pulang dari hutan,
misal, ketika sedang pergi dengan si kakak. Atau tentang si anjing. Tapi, pada akhirnya, ia memilih menekan hal itu
dan memunculkan lagi sikap menerima.
Kebayang
nggak betapa melelahkan hidup seperti itu? Ingin berontak tapi harus menerima.
Itu semua terekam di bawah sadar, dan tersulut dalam bentuk mimpi karena sebulat
darah karena goresan.
Setetes darah merah mengalir cepat ketika aku mengangkat telunjukku. Bulat, lebih bulat. Hatiku langsung tenang setelah aku memasukkan jariku ke mulut. Anehnya, warna merah dan rasa agak manis ini seakan berhasil menenangkanku. (p. 23)
Saya pernah
baca kisah serupa, pemberontakan istri yang tersulut melihat bekas darahnya
yang akan dia bersihkan di ujung karpet. Biasanya dia akan menggosok saja bekas
darah begitu, dan melanjutkan hidup sebagai istri yang patuh karena lagi-lagi
tidak menemukan jalan keluar yang mungkin. Rapi, saat itu seperti mendapat
wangsit, dia memutuskan pergi. (Kalau tidak salah ingat, ini karya Stephen
King)
Hal lain
yang bisa dipetik adalah... orang-orang eh, tokoh-tokoh ini tidak menjadi diri
sendiri. Dan efeknya sampai ketika mereka mencari jodoh. Karena tidak menjadi
diri sendiri, ketika mendapatkan jodoh juga yang tidak cocok dengan diri
mereka, melainkan yang cocok dengan peran yang mereka tunjukkan.
Efeknya,
seperti yang dirasakan kakak Yeong Hye misalnya, setelah hidup bersama bertahun-tahun
ternyata dia tidak mengenal pasangannya.
Kakak Ipar juga
tidak bisa menjadi diri sendiri yang ternyata menyukai permainan ketika
melakukan hubungan.
Dan kehadiran
seorang anak yang biasa dikabarkan bisa menjadi perekat hubungan suami istri,
nyaris tidak memiliki efek untuk itu.
Kalian bisa
bilang..., "dia nggak begitu, saya kenal betul."
Tapi, apa
kalian yakin benar-benar mengenal orang lain meskipun sudah berdekade hidup di
bawah atap yang sama? Yakin memang dirinya yang sebenarnya yang selama ini ia
tunjukkan, dan bukan topeng yang sudah demikian sering digunakan hingga
menutupi sifat-sifat dan sikap asli?
Yakin orang
yang ada di sekitar kalian "normal"? Lagi pula, memangnya
"normal" itu apa? Haha.
Tokoh-tokoh
dalam naskah itu ingin bebas, itu jelas. Jadi, cobalah baca, dan lihat...
betapa menyedihkan jika kalian tidak pernah mencoba menjadi diri sendiri, dan
justru selalu berusaha menjadi seperti yang orang-orang harapkan.
Dan saya rasa
bukan cuma wanita kok yang jadi sorotan utama Han Kang.
Tiga Burung dan Rumah
Sakit Jiwa
Yang saya
tidak mengerti justru mengenai 3 ekor burung dalam genggaman Yeong Hye.
Apa
maksudnya? Setelah semua upaya penghindaran darah dan daging, mengapa 3 burung
itu muncul? Itu... merusak pola, kan?
Atau..., ada
yang terlewat oleh saya?
Hal lain
yang mengganjal di kepala adalah: memang separah itu ya sikap untuk seorang
yang memutuskan jadi vegetarian di negara Han Kang berasal?
Saya sudah
dapat penjelasan, memang. Mengenai betapa daging merajai meja makan di sana,
salah satunya dari suami.
Tapi, saya
baru sebatas mengetahui, belum mengerti apalagi memahami.
Selain itu, penanganan yang diperlihatkan diberikan pada
Yeong Hye selalu berbentuk fisik. Padahal—apakah para dokter itu tidak melihat—kalau
sakitnya lebih pada psikis. Saya bayangkan, ketika Yeong Hye dibawa ke rumah sakit
karena upaya bunuh diri, tentu muncul pertanyaan: kenapa dia mau bunuh diri?
Begitu sewajarnya bukan?
Kenapa? << seandainya lebih banyak orang cukup peduli
untuk mengajukan pertanyaan ini.
Setelah diketahui penyebabnya adalah keinginan menjadi
vegetarian yang tidak mendapat dukungan keluarga, tentu akan ada penelusuran
lebih lanjut. Lewat konsultasi2 itu (?). Setelah itu, tentu akan diketahui sebab-sebabnya
di antaranya adalah si bapak dan suami—dan tentu saja dirinya sendiri.
Dan biasanya, keluarganya akan dipanggil pihak dokter dan
rumah sakit untuk diberi pengarahan, bagaimana sebaiknya mereka bersikap
terhadap Yeong Hye. Karena kesembuhan psikis butuh dukungan orang-orang
terdekat.
Tapi, lagi-lagi dengan teknik bercerita, Han Kang menghilangkan
waktu-waktu tertentu. Dari masa percobaan bunuh diri yang dikisahkah suami,
sudah dua tahun berlalu ketika kakak ipar mulai bercerita. Lalu, sudah berlalu beberapa
waktu ketika kakak Yeong Hye bercerita.
Penghilangan setting waktu tersebut bisa jadi karena
peristiwa yang terjadi dalam rentang yang hilang dianggap tidak penting,
memang. Dan membantu menghemat penjelasan mengenai penanganan medis yang
diterima Yeong Hye. Tapi, bukan berarti upaya penanganannya secara psikis tidak ditunjukkan, kan?
Saya tetap lebih suka Lelaki Harimau. Karena, secara kultur saya merasa lebih
dekat. Jadi, saya lebih bisa memahami hal-hal yang terjadi di buku itu daripada
di buku ini.