Entri Populer

Monday, 24 July 2017

Erstwhile; Persekutuan Sang Waktu--Ulasan dan Giveaway Plus Pengumuman Pemenang




Judul: Erstwhile; Perksekutuan Sang Waktu
Penulis: Rio Haminoto
Penerbit: Koloni 
Cetakan: 2017
Tebal: 368 halaman


Tahun 2013, Rafa berburu sebuah perkamen yang menceritakan perjalanan Picaro, seorang warga kota Paris. Yang membuat Rafa tertarik adalah karena perjalanan Picaro termasuk di Kerajaan Majapahit. Bahkan, Picaro menetap paling lama di kerajaan itu daripada tempat lainnya.

Bertekad membawa catatan itu ke Indonesia, dalam masa penyembuhannya atas perasaan terluka karena cinta, Rafa berangkat ke pelelangan.
Rupanya, perjalanan itu mengantarkannya kepada seorang penerjemah perkamen yang cantik bernama Emma Watts. Berdua, mereka masuk dalam cerita Picaro. Bukan hanya perjalanan, tetapi juga alasan dan kisah cintanya yang berusaha sekuatnya ia jaga.

***

Perjalanan Picaro, tanpa saya duga, bisa saya nikmati. Ciri fisik, keadaan alam, hingga kehidupan masyarakat yaitu cara bersosialisasi dan berdagang, disampaikan dengan apik dan mengalir.  Termasuk, sosok-sosok dalam Kerajaan Majapahit.

Gajah Mada tetap paling menonjol, tentu. Penggambaran fisik dan karakternya membuat saya bisa memaklumi kekaguman dan kesetiaan Picaro kepadanya.

“Apa yang kulakukan adalah perlu. Tidak ada satu pun yang berhak menertawakan sumpahku untuk membawa Majapahit menuju gerbang keemasan.”—p. 240

***

Saya memang tidak suka kisah cinta—tidak terlalu. Yang menarik, dua tokoh laki-laki di buku ini memiliki cara berbeda dalam hal memperjuangkan cinta.

Rafa lebih suka merasakan sensasi dengan Artjana. Mereka melakukan perjanjian untuk melakukan pertemuan 10 tahun kemudian. Sebelum 10 tahun, mereka tidak boleh saling menghubungi. Singkatnya, biar greget.

Picaro, lebih memilih mencintai Solence dalam diam selama dua tahun pertama. Dia memang kalem. Tapi begitu mendapat kesempatan, Picaro mengerahkan segala daya dan upaya untuk mendapatkan Solence.

“Mungkin inilah hukum yang tak tertulis dalam kehidupan bahwa kita akan menikah dengan orang yang sebenarnya tidak terlalu kita cintai, tetapi dapat memberikan rasa tenang dan pasti.”—p. 74

***

Jika ada yang perlu saya sampaikan ke penulis adalah mengenai pesan tertulis Rafa kepada Artjana yang diceritakan di halaman 93. Kalau tidak salah, perjanjian mereka tidak saling menghubungi, bukan? Mereka sudah melampaui berbagi sensasi hubungan seperti itu 10 tahun. (p. 63). Apakah kemudian aturannya berubah? Selain itu—ini pendapat pribadi—saya terganggu dengan kehadiran Tabby. Tapi saya rasa penulis memiliki pertimbangan tersendiri.

Selebihnya, buku ini memang nyaris komplet. Ada cinta dan pesan kemanusiaan yang disampaikan dengan halus dalam balutan sejarah.

***



Nah, nah. Saatnya Giveaway.
Caranya mudah. 
  1. Like fanspage komik koloni di facebook, atau Follow Instagram koloni publishers. Boleh salah satu aja. 
  2. Jawab pertanyaan berikut.
Kalau kamu laki-laki, kamu memilih mencintai dengan cara ala Rafa atau Picaro? Kenapa?

Kalau kamu perempuan, kamu memilih dicintai dengan cara ala Rafa atau Picaro? Kenapa?

Alasan maksimal tiga kalimat aja, ya. Biar nggak panjang.



  1. Tulis jawaban beserta nama, email, dan link like kalian di kolom komentar.
  2. GA berlangsung dari tanggal 24-30 Juli 2017. Pengumuman akan saya sampaikan tanggal 31 Juli 2017.
  3. Pastikan alamat kamu di Indonesia.
  4. Semoga beruntung. (҂'́)9

Sorry, telat banget bikin pengumumannya.

Selamat buat Irliyani



Jawaban: 

Voilaa, aku lebih milih dicintai dengan cara ala picaro lah. Setiap wanita tuh cuma butuh kepastian ya. Thats right! wanita tuh beda sama pria, gak perlu banyak cinta untuk bisa menikah, tapi yang memberi rasa nyaman, tenang, dan pasti yang cool hehe.


Buat yang lain, lanjut ikutin blogtournya di siniii, yaaa....



Monday, 17 July 2017

Masa Kecil dan Kedewasaan--mengulik sepenggal cerpen Paradisa Apoda karya Eko Triono



“Bukankah benar masa kecil adalah orang tua bagi manusia dewasa?”—Paradisa Apoda


Pada sebuah percakapan dengan kakak beberapa waktu lalu, setelah melihat beberapa kasus di media sosial mengenai bagaimana seseorang memperlakukan orang lain, saya teringat kalimat dari Eko Triono tersebut.

Di antaranya, mengenai mahasiswa yang mengerjai rekan sesama mahasiswa, dan anak SMP yang bawa genk-nya untuk menekan salah satu anak seumuran mereka.

Mereka melakukannya menurut saya karena mereka tidak merasa bahagia dengan diri mereka sendiri. Mereka merasa bisa mendapatkan kebahagiaan dengan menindas orang yang mereka anggap lemah—dan tampak lebih bahagia daripada mereka. Kadang, dengan berbuat demikian, mereka merasa "ada". Karena bisa jadi, mereka tidak dianggap ada bahkan oleh orang-orang terdekat mereka. 
Dan kenapa bisa muncul tabiat demikian pada anak-anak muda?
Penyebabnya adalah kita semua. Baik sebagai ibu, guru, atau sesama manusia.

***

Kalimat Eko Triono itu membuat saya tertegun cukup lama ketika dulu pertama kali membaca. Dan ternyata saya hafal di luar kepala.
Saking terasa kebenarannya.
Benar sekali!

Sebenarnya, bekal kita untuk menjalani kehidupan sebagai manusia dewasa justru terbentuk ketika kita masih kecil. 


Banyak ahli psikologi anak sudah membuktikannya.
sumber 

Anak yang dibesarkan dengan sering dimarahi, atau dikecilkan, atau dibandingkan, akan berbeda dengan anak yang dibesarkan dengan pengertian akan kelebihan dan kekurangan masing-masing.




Berapa banyak anak yang menjadi korban orang tua hanya agar “seperti kawan-kawanmu”.
"Kok kamu belum bisa baca, to? Si anu sudah."
"Kayak si itu, lho. Nggak pernah rewel kalo disuruh berangkat sekolah."
"Kamu kok masih nggak bisa perkalian, to? Anak itu, lho, sudah pintar pembagian."


Itu sebagian kecil. Dan dilakukan dalam lingkup pertama. Rumah.
Belum lagi sekolah. Belum lagi sekitar rumah.


sumber
Pernah mendengar sekumpulan orang yang menggosipkan ayah atau ibu seorang anak di hadapan anak tersebut? Seakan anak itu tuli dan buta, tak memiliki rasa? Alasannya, dia kan anak-anak, masih belum ngerti. 

Padahal, anak-anak—dan orang berusia yang jiwanya tidak beranjak dewasa—justru menjadi spons terkuat. Ia akan menyerap tiap kata dan gesture merendahkan yang ditujukan kepada keluarganya, kepada dirinya.

“Lalu, mengapa kita hanya memberi mereka kereta kelinci yang berjalan dengan roda mobil dan mengalah di perlintasan? Sebaiknya jangan membuat arwah penemu kereta api merasa sedih.”

Lalu mengapa kita berusaha membatasi ruang anak-anak--dengan memberinya kereta-keretaan, dan bukannya mengajak naik kereta api sungguhan--?

Kenapa kita melindungi anak-anak tersebut dengan perumpamaan-perumpamaan, dan kadang amarah, ketika ada pertanyaan anak yang ajaib? Kenapa tidak berusaha memberi penjelasan sebisanya? Dan akui ketika kita juga ternyata sama tidak mengetahuinya dengan dia.


Tiap bulan pemerintah mengumpulkan data guru yang tidak menyenangkan untuk dibina atau dipecat, sebab merusak generasi.


Ini arena Eko untuk unjuk kegelisahan—meskipun saya tidak bulat sepakat. Karena, guru yang tidak menyenangkan itu berbeda persepsi bagi tiap personal.

Kenapa murid yang sering disalahkan? Kenapa tidak para guru juga melakukan introspeksi diri? Ketika tanpa sengaja memandang remeh kemampuan akademis murid yang berisik, misal?


Kereta Paradisa Apoda mulanya akan mengganggu jalur kereta lain. Sebelum kemudian keluar kota dan mengambil jalurnya sendiri; melintasi kebun-kebun, perbukitan, lembah, dan daerah perbatasan dengan tidak tergesa-gesa, tidak tergesa-gesa.
 (italic ditambahkan oleh saya).

Ketika membaca ulang cerpen "Paradisa Apoda" di buku Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon?, sebelumnya buku ini pernah saya bahas, saya masih belum mengerti maksud Eko memberi nama kereta tersebut Paradisa Apoda, nama cendrawasih kuning-besar—yang menurut Google-Wiki memiliki arti “cendrawasih tak berkaki”.

Apakah semacam ironi untuk menunjukkan keindahan yang tak mungkin digerakkan?
Keinginan penulis untuk menunjukkan beberapa alternatif jalan keluar—salah satunya tentang anak-anak tadi—namun sekaligus menunjukkan bahwa jalan tersebut tak dapat dijalankan?

Jika pemahaman saya tersebut keliru, tak mengapa.
Kadang saya masih keceplosan memperlakukan Kira dengan tidak adil. Membaca kalimat itu akan mengingatkan saya, bahwa saat ini adalah masa Kira mendapatkan orang tuanya, untuk bekalnya kelak. Agar tidak mencari kebahagiaan dengan cara menindas orang lain. Karena masing-masing dari mereka spesial. 
Kelak, jika perjalanan hidup saya lebih luas, bisa saja bisa memahami maksudnya. Saat ini, mengerti secupliknya saja membuat saya mendapat pelajaran berharga.

Dan saya mensyukurinya.

Note: Semua kalimat warna biru merupakan kutipan dari cerpen "Paradisa Apoda" karya Eko Triono. 



Pages