Dari kovernya yang manis, sudah bisa
ditebak kisahnya. Dulu, pengemasan komik seperti ini, ada sampul luarnya. Dan,
dilabeli; serial cantik, serial misteri, dan serial top—saya baru tau malah
kalo ada serial top.
School bercerita tentang problematika di sekolah buangan. Pada sebuah
desa, hanya ada dua SMA, Nishi dan Taihei. Semua yang gagal masuk Nishi, masuk
ke SMA yang tersisa, Taihei. Karena itu, sekolah ini terkenal dengan sebagai
sekolah buangan.
Ayumi, salah satu murid SMA Taihei tadinya
hanya gadis biasa yang menikmati masa-masa SMU. Walaupun sekolah buangan,
banyak kebahagiaan kecil di sana. Hingga ada sebuah kasus.
Anak kelas 3 SMU Taihei dikabarkan memukuli
anak SMU Nishi. Akibatnya berdampak pada seluruh sekolah. Mulanya, tentu mereka
membenci para pelaku pemukulan. Tapi, begitu tau alasan terjadinya pemukulan itu...,
yah, wajar aja sih kalo emosi.
Ada kisah cinta bersegi-segi di dalamnya.
Tentang keberanian menyatakan cinta, dan keberanian untuk tinggal atau pergi.
“Kalau cewek yang disayangi diganggu orang, mana bisa aku diam?”—Hiroshi.
Yang menarik adalah, kenyataannya, kita
memang melabeli beberapa sekolah dengan label rendah. Bahwa SMA X Unggulan,
sementara SMA Y tempat kumpul anak-anak nakal.
Bayangkan bagaimana perasaan mereka sudah
mendapat cap “orang terbuang”, “murid sisa”, “daripada nggak sekolah”, atau
“murid nakal”, dan sebagainya, sejak mereka terdaftar sebagai murid SMA hingga
mereka kelas 3 dan lulus—kalau lulus. Karena sudah telanjur dicap seperti itu,
sebagian tentu memilih jalan “aman” dengan menjadi anak biasa-biasa saja,
sementara sebagian lagi memilih untuk sekalian basah dengan menjadi sebagaimana
label yang disematkan kepada mereka.
Kalau berbuat baik toh dikira ada maunya, dicurigai
ada maksud terselubung, jadi sekalian saja bikin jengkel mereka.
Perasaan “terbuang” yang dialami
murid-murid SMA inilah yang ingin disorot Yuka Takase. Menyoroti guru dan
sekolah pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
“Oh, anak SMA X itu. Pantes. Di sana kan memang tempat anak-anak bodoh.”
Lebih luas lagi.
“Oh, rumahnya di daerah Y. Pantes. Di sana kan memang tempat tinggal preman-preman.”
Lebih luas lagi.
“Oh, orang dari provinsi Z. Ya iyalah, orang sana kan kasar-kasar.”
Dan pemukulrataan lainnya.
Jangan-jangan, kita salah satu pemberi label2 itu....
Jangan-jangan, kita salah satu pemberi label2 itu....
Hingga akhirnya, orang-orang itu lelah
berusaha menjadi lebih baik, dan memilih “terserah”. Kalaupun berbuat nggak
baik toh reaksi mereka pasti malah biasa aja, malah memaklumi.
Begitu, dah.
Tapi, di sekolah ini jadi berbeda karena
mereka menolak diam saja.
Memang kenapa kalau kita dicap buangan?
Kalau diam, berarti kita membenarkan mereka. Begitu kira-kira yang ingin
disampaikan pembuatnya.
“Setelah kita diwisuda... hanya kenangan sedih yang diingat! Kalian mau begitu?”—Ayumi.“Kalau belum bergerak saja sudah putus asa, kapan mau memulainya?”—Daichi.
Ayo, mulai bergerak!
(^0^)/