Saya tidak akrab dengan nama Poe. Atau mungkin dulu saya
pernah baca dalam sebuah kumpulan cerpen tapi tidak termasuk yang bisa diterima
otak saya.
Pantas saja jika penerbitnya me-launching buku ini
menjelang Heloween, isinya memang cenderung suram.
Seperti judulnya, buku ini berisi tujuh cerpen karya Edgar
Allan Poe.
“Kucing Hitam” dan “Jantung yang Berkisah” memiliki garis
besar yang sama, tentang rasa bersalah. Beberapa bagian mengingatkan saya pada
teori yang diselipkan Agatha Christie—apa mungkin Agatha terinspirasi oleh Poe,
ya?—bahwa pembunuh memiliki kecenderungan untuk bersikap sombong. Kesombongan
yang tercipta dari keberhasilan mencabut nyawa orang dan tidak ada satu pun
orang lain yang tahu.
Setelah membaca dua cerpen yang menarik itu, muncul “Kumbang
Emas”, cerpen panjang yang, tidak seperti dua cerpen sebelumnya, bercerita
mengenai pencarian harta karun bajak laut. Memang masih misteri, tapi bukan
pembunuhan lagi. Yah…, saya sempat kecewa. *eh* Bagian suramnya diletakkan pada
kehidupan bajak laut yang hartanya dicari. Namun, secara keseluruhan, menurut
saya cerpen ini suram-suram bahagia. *istilah apa pula ini*
Cerpen “William Wilson” tidak spesial bagi saya. Bisa
ditebak dan dengan akhir yang ee… klasik. Anu, kalau dibahas saya khawatir
spoiler. Skip aja.
Cerpen kelima, “Potret Oval Seorang Gadis” adalah cerpen
singkat yang mengandung cerpen yang lebih singkat lagi.
“Runtuhnya Kediaman Keluarga Usher” saya baca terburu-buru dan
akibatnya tidak mengerti dengan masalah di keluarga Usher ini. Ternyata,
penyampaiannya terlalu halus bagi saya, atau saya yang kelewat kasar?—sehingga inti
ceritanya justru terlewat. Setelah bertanya ke penerjemahnya langsung, saya
baru paham. Ini cerpen tentang keluarga inses. Zaman dulu memang bisa ya
begitu? Maksud saya, nggak ada aturan yang melarang? Oke, skip aja.
Mulai lelah, saya ambil jeda dua hari sebelum melanjutkan
membaca. Dan, cerpen ketujuh kembali membuat tertarik. Menarik bagaimana
mengikuti diskusi Allamistakeo dengan para peneliti tubuhnya di “Obrolan
Bersama Sesosok Mumi”. Sekumpulan dokter dan peneliti mendapat izin untuk
membedah mumi. Setelah berhasil membuka peti, mereka menemukan mumi yang masih
utuh. Iseng, mereka menyetrum mumi itu. Dan ternyata muminya hidup. Yang saya
heran, awal percakapan mereka kok muminya tau nama peneliti-peneliti itu? Jadi,
tidak seperti mumi lain, mumi dari keluarga Scarabeus tidak dibuat dengan mengeluarkan
otak mereka dari lubang hidung atau membedah tubuh bagian samping untuk
mengeluarkan organ dalam. Mereka diawetkan dengan utuh. Sebagian bahkan sengaja
minta diawetkan dengan meninggalkan wasiat agar dibangkitkan dalam jangka
beberapa waktu berikutnya. Saya jadi inget film Underworld. Akhir perdebatan
itu memberi pengaruh pada tokoh “aku” sehingga dia mengambil keputusan besar
dalam hidupnya.
Di cerpen terakhir ini ada kutipan menarik.
Ketika salah satu peneliti berkata, “Saya kira kumbang scarab
adalah salah satu dewa yang dipuja bangsa Mesir,” Allamistakeo terkejut, saya
rasa sedikit marah dan tersinggung.
Lalu, berkata:
“Tidak ada bangsa di muka bumi ini yang menyembah lebih dari satu dewa. Kumbang scarab, burung ibis, dan binatang-binatang lain yang kami sucikan (sebagaimana bangsa-bangsa lain juga memiliki binatang suci mereka sendiri) hanyalah simbol atau media yang kami gunakan untuk membujuk rakyat agar menyembah Sang Pencipta, karena Dia terlalu agung untuk dihampiri secara langsung.”
Saya…, agak terpekur. Jadi, manusia yang sekarang kalah
dengan mumi, eh, masyarakat Mesir zaman dulu tentang konsep ketuhanan? Ketika
zaman sekarang orang sibuk menuding sana dan sini salah dalam beragama, jangan-jangan
malah lupa kepada Tuhan itu sendiri.
Setiap orang punya cara masing-masing untuk menemukan
Tuhannya. Ketika caranya berbeda dengan kita, tidak berarti kita berhak
mencerca dan menghina. Itu tidak membantu. Jangan-jangan justru menjauhkan Tuhan
dari kita. Karena…, bukankah merasa paling benar merupakan salah satu tanda
munculnya kesombongan?