Entri Populer

Tuesday, 9 June 2015

Berkaca melalui karya sastra; ulasan FIksi Lotus



Fiksi Lotus berisi 14 cerpen penulis dunia. 




Saya nggak mau bahas semua, ah. Beberapa yang menarik pikiran saya untuk hening lebih lama aja.
Bukan perkara jelek. Menurut saya, banyak hal sebuah karya bisa dibilang bagus. 

Yang paling utama adalah kesamaan pengalaman.
Kisah mengenai “ibu” misal. Bagi saya, biasa saja. Tapi bagi beberapa teman saya, itu tema yang luar biasa.
Kisah mengenai latar belakang desa dengan setting waktu lampau, misal. Bagi suami saya menyenangkan.

Lalu, cara bercerita.

Ada banyak buku berkisah tentang “ibu”, tapi A suka buku X, sementara B suka buku Y. Berarti, gaya bercerita penulis X lebih nyaman dinikmati A. 

Atau, kenapa dari beberapa karya dengan latar belakang desa dan setting waktu lampau, suami saya gandrung dengan karya-karya Ahmad Tohari? Bukan Pram atau Eka Kurniawan, misal. Karena, gaya bercerita AT lebih nyaman bagi suami saya. 

Demikian juga dengan novel metropop atau remaja yang memiliki penggemarnya sendiri. 

Nah, ini jkalo dipanjangin jadinya nanti malah bukan bahas buku pula.


1. Cerpen pertama, Teka-Teki karya Walter De La Mare.

Cerpen ini bercerita tentang seorang nenek tua yang kedatangan tujuh cucunya. Mereka boleh melakukan apa saja di mana saja di rumah itu, kecuali mendekati satu peti di salah satu kamar. Tapi, satu demi satu cucunya justru tertarik mendekati peti itu dan “tertelan”. Salah satu teman saya menamakan peti itu “menuju kebahagiaan”. 

Dan setelah membaca ulasannya tentang cerpen ini, saya masih belum bisa menemukan padanan yang lebih pas.



Kalian bisa menamakannya sesuai keinginan kalian sendiri.
Satu per satu dari kita memang memilih melanjutkan hidup dengan jalan sendiri, meninggalkan yang tua—entah Oma, Opa, Ayah, Ibu. Kita menyukai tantangan dan mengabaikan nasihat untuk berhati-hati.



2. Ramuan Cinta karya John Collier

Saya suka cerpen ini. 

Seorang pemuda miskin mendatangi seseorang yang memiliki banyak ramuan ajaib. Dia menceritakan mengenai ramuan pembersih nyawa yang tidak akan terdeteksi jika digunakan. Harganya lima ribu dolar. 

Tapi, si pemuda mencari ramuan cinta, yang dijamin sangat manjur, ternyata hanya dihargai satu dolar. 

Saya membayangkan, beberapa tahun kemudian, pemuda akan kembali untuk meminta ramuan pembersih nyawa, entah untuk dirinya sendiri atau untuk kekasihnya yang saat ini mati-matian dia perjuangkan cintanya (kemungkinan kedua lebih besar, tentu).

Kenapa?

Oh, itu taktik penjualan.

Jual ramuan cinta, buat si gadis cinta mati kepada pemuda, maka pemuda akan merasa tercekik oleh cinta itu. Semua cinta yang berlebihan lambat laun akan menimbulkan rasa sesak. Hingga dia tidak tahan lagi dan pasti akan kembali untuk meminta ramuan lain. Mungkin sebelum meminta ramuan pembersih nyawa, dia akan minta ramuan pelancar bisnis dulu.

Seperti candu, beri kepuasan kepada pelanggan dengan harga murah hingga dia tergantung kepadamu, lalu beri harga selangit dan dia tetap akan berusaha mendapatkannya.

*Emang jauh amat ini bayangan saya*

Oh, ini kutipan yang menarik di dalamnya:

"Muda-mudi yang memerlukan ramuan cinta jarang sekali memiliki uang sebesar lima ribu dolar, dan kalaupun mereka punya uang sebanyak itu, mereka takkan memerlukan ramuan cinta."--p. 12


Lagian, yakin mau bikin orang yang kamu cinta nggak jadi dirinya sendiri?
 

3. Pemberian Sang Magi karya O. Henry

Bagaimana bisa berpendapat tentang kisah cinta ini, selain “manis”. Tentu saja efeknya tidak seperti pertama kali saya membacanya di buku terjemahan Serambi.


4. Gegap Gempita karya Anton Checkov

Di cerpen singkat ini, tokoh yang muncul di koran heboh. Keliling kota buat ngasih tau. Padahal, dia masuk koran karena kepeleset….
Sepele.

Cuma efeknya…, berapa kali sebenarnya kita berada pada posisi serupa dengan tokoh itu? 

Heboh, gegap gempita dengan kejadian yang—menurut kita—dahsyat. 


Padahal, menurut orang, biasa aja. Biasa banget.

Akibatnya, kita dianggap ndeso.
Padahal, sama aja.
Setiap kita pernah gegap gempita karena sesuatu yang menurut orang biasa aja.

Misal, kita dapet tas dengan harga murah. Padahal, merek Hermes (yang dibaca ekh-me, kata temen saya yang jago Prancis). Jadilah kita gegap gempita. Padahal, bagi yang laen, biasa aja. Mau merek Hermes atau obralan di pasar, sama-sama tas ini.

Misal lain, kita jadi ayah, eh saya cewek, oke, ibu. Menurut kita itu wow banget. Kudu harus mesti semua orang tau. Jadilah kita share ke mana2 foto dan kisahnya. Sementara, di tempat lain, bagi cewek-cewek lain, itu hal biasa. Jadi ibu itu sudah pasti kejadian sama cewek. Beberapa cewek bahkan buang-buang aja janinnya….

Tu, kan, biasa bagi mereka, gegap gempita bagi kita.


5. Charles karya Shirley Jackson

Berkisah tentang kisah Laurie mengenai teman sekelasnya, Charles, yang nakal.

Sama seperti saat membaca Menembus Batas karya Saki di buku ini, saya juga sudah bisa menebak akhirnya. Cuma karena saya baru jadi emak-emak, cerpen ini lebih menyentuh. Halah.


6. Dering Telepon karya Dorothy Parker

Kalau kalian pernah jatuh cinta, wanita terutama, coba baca cerpen ini dan lihat bagaimana kalian menghabiskan waktu.
Lalu segera putuskan. 




Berapa lama lagi kalian mau seperti itu….

Segera, ya. Nggak pake alasan kalo dia nggak kirim WA/BBM/SMS/Line/Instagram sekarang, mungkin saya hanya harus menunggu lagi. Sebentar lagi. Mungkin, sebentar lagiii….

Segera putuskan. Waktu nggak menunggu.

*iya, saya juga pernah*

7. Pesan Sang Kaisar karya Franz Kafka 

Entah dengan pembaca lain. Yang saya tangkap dari cerpen ini…, beberapa kali, eh, kadang, kita memang menanti pesan itu. Terus menanti. Tanpa menyadari bahwa dunia kita sudah berbeda sama sekali.

8. Republick karya Naguib Mahfouz

Ingatkan saya kalau ada yang pernah membaca kisah serupa dan mengingat lebih baik dari saya.

Saya pernah membaca sebuah cerpen dengan penulis Indonesia. Kisahnya, seorang kepala polisi berhasil memberantas kejahatan dari puncaknya. Ketua yang benar-benar ketua berhasil ditangkap sehingga kroco-kroco di bawahnya tidak berani bergerak. 

Ternyata, efeknya justru polisi jadi diremehkan karena penduduk merasa tidak lagi memerlukan mereka. Polisi-polisi mulai depresi hingga malah mulai bikin kerusuhan sendiri.

Hingga suatu ketika, kepala penjahat itu berhasil kabur. Penduduk waspada. Polisi kembali dimuliakan.

Padahal, itu rencana kepala polisi dan kepala penjahat.

Mereka menyadari bahwa harus selalu ada kejahatan dan kebaikan untuk menciptakan ketenteraman.

Cerpen ini mirip. Hanya mirip. Konsep dasarnya sama.

Saya tetap takjub melihat cerpen ini. Imajinasi dasar penulisnya, saya bayangkan, seperti ini: bagaimana jika kejahatan benar-benar berhasil diberantas? Apakah benar-benar jadi tenteram? Ah, nggak juga. Akan tetap muncul konflik. 

Karena terlalu aman, justru orang yang tadinya bertugas memberantas kejahatan jadi resah, merasa tidak dibutuhkan.
Kondisi memang bisa mengubah seseorang.

Bukan hanya kondisi konflik, bahkan kondisi yang terlalu aman pun bisa. 

Setuju?

Saya masih mengawang-awang…, ikut membayangkan bagaimana andai benar-benar terjadi, semua kejahatan berhasil di Indonesia diberantas. Bahkan untuk membayangkannya pun sulit….

9. Kalung Mutiara karya W. Somerset Maugham

Kisahnya seorang pembantu, Miss Robinson, yang tidak sengaja harus menggenapi kursi untuk sebuah jamuan. Rencananya, jamuan itu akan dihadiri 13 orang, mendadak satu orang membatalkan. Entah kenapa nggak dibiarin aja cuma dihadiri 12 orang. Sepertinya zaman dulu ada aturan-aturannya.

Selain Miss Robinson, ada penilai perhiasan yang melihat kalung mutiara yang dikenakan pembantu dan memprediksi harganya tinggi sekali. 

Tidak ada yang percaya, tadinya.

Ternyata, itu memang kalung mutiara yang salah diberikan karyawan toko perhiasan. Sebagai ganti rugi kenyamanan, pihak toko ngasih sejumlah uang ke Miss Robinson. 

Dengan uang itu, Miss Robinson pun berencana plesir. Nggak digubris saran sang majikan untuk menabung uang itu. Ternyata, seminggu sebelum waktu cuti abis, Miss Robinson izin resign karena udah dapet kerjaan di tempat lain. 

Tapi, sebenarnya, Miss Robinson mulai menjajaki dunia “atas”, dunia kaum bangsawan, buat naik kasta. Menikah dengan laki-laki tajir A, lalu bercerai dan menjadi janda kaya. Lalu, mengincar laki-laki lainnya lagi.

Yang menarik, kita mendapat kisah Miss Robinson dari dua cewek yang lagi makan bareng di restoran. Seorang yang cerita ke temennya yang penulis. Dia bilang, kisah itu layak ditulis. Tapi, dia sarankan ending-nya diganti.

Miss Robinson mencintai laki-laki sederhana dan tetap hidup biasa-biasa saja.

“Kok kedengarannya membosankan bagiku.”
“Memang, tapi setidaknya cerita ini bermoral.”—p. 178

Kalau kalian, pilih ending yang mana?

Cerpen terakhir ini berisi banyak hal, menurut saya.




Pilih mana? Menulis cerita yang menarik atau yang bermoral?

Seperti apa pun pilihan kalian, terserah. Dalam fiksi, kalian yang menentukan nasib tokoh. Kalian tuhannya.
Itu…, tidak selalu menyenangkan, saya rasa.



Beberapa cerpen lain bertema peperangan. Saya mumet kalo tema perang.
Semoga nggak ada lagi perang…. (T-T”)


Sumber gambar:


Pages