Salah seorang kenalan saya pernah bertanya, “Bagaimana jika
saya menggunakan bahasa baku dalam percakapan sehari-hari?”
Saat itu, dia mahasiswa baru jurusan pendidikan bahasa
Indonesia di salah satu universitas di Yogyakarta. Sementara, saya mahasiswa yang
sudah kelamaan ngampus di universitas lain dalam jurusan yang nggak jauh beda
dengan dia.
Saya bisa saja langsung ngakak, nyeletuk menghina seperti
biasanya, atau mencoba cara lain yang lebih santun, yang intinya sama:
melarang.
Kenapa?
Bahasa adalah salah satu alat untuk berkomunikasi
antarmanusia.
Bahasa Indonesia adalah bagian dari bahasa.
Bahasa Indonesia baku adalah bagian dari bahasa Indonesia.
Fungsi bahasa adalah untuk memperlancar komunikasi.
Kenapa ada bahasa Indonesia? Kita yang berasal dari Lampung, Nusa Tenggara, Sulawesi,
Surabaya, Jawa Barat, Banyuwangi, Balikpapan, dan daerah lain-lain yang berkumpul
di Yogya butuh sarana agar dapat berkomunikasi dengan baik.
Lalu, kenapa kita semua tidak menggunakan bahasa Indonesia
baku dalam kehidupan sehari-hari?
Bukankah dengan demikian, akan lestarilah bahasa Indonesia
tercinta?
Oh, oh, bukannya lestari, saya khawatir justru akan kaku dan
patah jika dipaksakan demikian.
Bahasa Indonesia adalah jembatan bagi semua masyarakat
Indonesia dari semua kalangan sosial, ekonomi, budaya, dan bla bla bla lainnya.
Jadi, memaksakan semua orang menggunakan bahasa Indonesia baku setiap saat adalah perbuatan
mengerikan.
Coba kita lihat pengertian kata “baku” di KBBI.
ba·ku [1] n 1 pokok; utama: beras merupakan bahan makanan -- bagi rakyat Indonesia; 2 tolok ukur yg berlaku untuk kuantitas atau kualitas yg ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar;
Jadi, bahasa Indonesia baku memang adalah bahasa
Indonesia yang pokok, utama; yang menjadi tolok ukur kuantitas dan kualitas
penggunaan bahasa Indonesia.
Tapi, itu hanya berlaku dalam lingkup akademisi.
Jika ingin membuat makalah atau skripsi, haruslah kalian
rela bersusah-susah mengakrabkan diri dengan KBBI dan EYD.
Bahasa Indonesia baku nggak wajib digunakan, kok.
Saya cuma khawatir kenalan saya tadi suatu ketika
disuguhi makanan. Lalu, terjadi percakapan demikian:
“Kok nggak dimakan? Nggak enak, ya?”
“Oh, bukan begitu. Hanya saja, saya menunggu dipersilakan. Setelah dipersilahkan, baru saya akan memakan hidangan ini.”
*lalu malamnya dia susah tidur karena merasa telah
mengatakan kalimat terakhir yang dirasa tidak perlu. Membuat ucapannya kepada
kawannya itu tidak efektif.
*belum lagi, tadi dia pake kata silahkan (ada huruf H kececer waktu dia ngucap kata ini), dan bukan
silakan. Makin susah tidur sudah.
*berabe.
(˘ε ˘″)ノ’
Saya menyarankan kalian terus mempelajari bahasa
Indonesia baku. Tapi untuk menunjukkan kalau kalian paham mana yang baku dan
tidak, bukan dalam kehidupan sehari-hari tempatnya.
Orang yang punya kemampuan bahasa yang baik itu bukan
yang selalu pake bahasa baku, tapi yang bisa menempatkan diri menggunakan jenis
bahasa apa dalam setiap situasi.
Kalo ngobrol dengan tetangga kos, misal, biar keliatan
kalo kita anak bahasa Indonesia, jadilah setiap omongannya kita koreksi. Apakah
itu menunjukkan kita pintar?
Nggak deh kayaknya.
Tapi saya mafhum, sih. Kenalan saya itu masih maba, semangatnya
masih membara.
Nanti kalo udah belajar sosiolinguistik atau ketemu alih
kode, campur kode, Prinsip Kerja Sama, implikatur, dan kawan-kawannya, baru
akan lebih mengerti.
Jadi, bahasa Indonesia baku nggak selalu benar.
Tergantung situasi dan kondisi.
Tergantung situasi dan kondisi.
Gitu.
Sumber gambar:
Mantap!
ReplyDeleteNgahahahah....
Delete:D