Entri Populer

Friday 13 February 2015

Ulasan buku Lukisan Dorian Gray karya Oscar Wilde



Saya sampai bingung mau mulai membahas buku ini dari segi apa.
Kalau ceritanya, mungkin banyak yang sudah tahu. Bahkan, menonton filmnya.

Belum? Oke, begini kisah singkatnya.




Dorian Gray adalah seorang pemuda tampan ranum *haish* yang memesona. Salah satu orang yang terpesona adalah Basil Hallward, seorang pelukis terkenal. Saat sedang menjadi model lukisan sahabatnya inilah, Dorian yang baru berusia 19 tahun ketika bertemu Lord Henry Wotton.

Lord Henry yang mengajak Dorian berbincang agar tidak jenuh ketika sedang menjadi model Basil ternyata memberi pengaruh besar pada pola pikir Dorian muda. Dia yang masih be;um sepenuhnya terbentuk mulai tertarik dengan pola pikir yang ditawarkan Lord Henry untuk menikmati dunia. Tapi, ada satu hal yang tidak bisa dilawan siapa pun selain kematian yang niscaya: menjadi tua.

Dorian yang tampan perlahan juga tentu akan menjadi tua. Benar kata Lord Henry, dia memang bersinar karena masih muda. Tapi, berapa lamakah ketampanannya ini bertahan dalam kemudaan? Saat melihat ketampanannya pada lukisan Basil, Dorian sadar bahwa dia tidak ingin kehilangan ketampanannya, kemudaannya. Dia khawatir. Sungguh khawatir.

 
Nih, adegan Dorian pas di film...



  “Seandainya ada cara! Seandainya aku bisa tetap selalu muda, dan seandainya lukisan ini saja yang menua, bukannya aku! Seandainya bisa begitu, seandainya bisa seperti itu—aku rela memberikan segalanya. Ya, tidak ada hal lain yang kuinginkan di dunia ini melebihi keinginanku tersebut.”—p. 53


Dan, ternyata keinginannya itu terwujud. Saat menyadari bahwa perubahan tidak akan menyerang jasadnya, tetapi justru menyerang lukisan itu, Dorian merasa benar-benar hidup. Biasanya,  “jejak-jejak perbuatan dosa atau tanda-tanda perjalanan usia” (istilah Oscar Wilde, bagus yak >_<) akan tampak pada fisik manusia, tapi hal itu tidak berlaku bagi Dorian. 

Hal itu seperti tiket emas baginya untuk menikmati hidup, seakan tidak akan pernah tua. Semua bentuk kesenangan dia coba. Toh wajahnya akan tetap muda, lugu seperti tanpa dosa. 

Sementara, lukisan itu semakin menunjukkan jiwanya yang sebenarnya. Semakin lama semakin mengerikan. Apa yang akan dilakukan Dorian saat melihat wajah jiwanya yang sesungguhnya?

***

Belum lama ini, saya membaca kumcer Kompas yang berjudul Smokol. Di sana ada kutipan menarik. Ulasan lengkapnya bisa ditengok di sini.


Di surga kita akan kenyang, terlalu kenyang untuk menginginkan. ….”—p. 8


Nah, yang dialami Dorian ini seperti kebalikannya. Dia pasti sudah kenyang melakukan dosa, lalu apa? Apa lagi yang bisa dilakukan seseorang setelah tidak ada lagi hasrat terhadap apa pun? Kehampaan, mungkin.


Sepertinya buku ini hanya bercerita tentang Dorian, pemuda galau yang mendapat masukan pemikiran dari seseorang yang ternyata berpengaruh besar pada pola pikirnya. Tapi, sebenarnya banyak sekali pelajaran hidup di dalamnya.

Dan persis seperti yang Oscar Wilde bilang melalui Basil, bahwa ketika seseorang membuat karya maka sebenarnya dia sedang menunjukkan jiwanya melalui karya tersebut. Basil khawatir jika Dorian dan dunia menyadari kekaguman Basil kepada orang yang menjadi model lukisannya itu. 

"Bukan si model yang disingkap oleh sang pelukis, tetapi si pelukislah yang tengah mengungkapkan jati dirinya lewat sapuan berwarna di atas kanvas."—p. 16

Singkatnya, Basil khawatir jika ketahuan jatuh cinta pada Dorian. Hal ini juga berlaku pada tulisan. Sebuah novel atau cerpen biasanya digunakan sebagai media untuk menyampaikan pemikiran penulisnya, kan? Atau, kadang sebagai media curhat. Tapi tetap saja, sedikit banyak, ada sebagian dari diri pembuat yang disebarkan melalui karyanya.

Tapi, di bagian Pengantar Penulis, Wilde justru bilang begini: 

Sesungguhnya, seni lebih merupakan pantulan dari para penikmatnya, alih-alih pantulan dari kehidupan.—p. 8

Wah, wah, apaan nih?
Eits, tapi ini juga bener. 

Ketika selesai membuat sebuah karya dan melepasnya untuk dikonsumsi publik, pelukis atau penulis akan melepas karya tersebut bersama sebagian jiwanya (pemikiran, curhat, dlsb.) tadi. Tapi, masalah mau diterima atau tidak bagian pemikiran atau curhat sang pembuat oleh sang penikmat adalah lain hal.

Hal ini terkait dengan latar belakang manusia yang sangat beragam.
Misal, Basil khawatir lukisan itu mengungkap rasa cintanya pada Dorian. Padahal, Dorian yang melihatnya hanya terfokus pada keindahan fisiknya yang begitu sempurna. Berarti, sebagian jiwa Basil yang dia sebarkan melalui lukisan itu tidak sampai kepada Dorian.

Misal lain, kamu menulis cerpen dengan harapan si gebetan yang membacanya akan tersindir, terus nembak.


 
Ternyata, dia malah ngasih buku itu biar dibaca gebetannya. 









(∥ ̄■ ̄∥) *gagal transfer kode ganas* *nyari bahu Al Ghazali buat bersandar*


Saat sebuah karya sudah dibaca penikmatnya, di sinilah kalimat Oscar Wilde tadi berlaku. Bahwa seni merupakan pantulan dari penikmatnya.

Ini kurang lebih sama dengan teori berbahasa, sih.
Bahwa pesan dari sang pengirim belum tentu sama dengan pesan yang diterima sang penerima.
Itulah kenapa berbahasa pun perlu ada ilmunya. Itulah kenapa kehidupan ini rumit. *mulai meluas* *mending dihentikan sekarang*


Hal lain yang bisa dibenarkan adalah pengaruh orang-orang sekitar terhadap kita. Berikut kutipan dari buku ini.

"Karena dengan mempengaruhi seseorang berarti kau telah memberikan satu jiwa yang baru kepadanya. Dia tidak lagi berpikir sebagaimana dirinya, atau tidak digerakkan oleh semangat alaminya. Perilakunya bukanlah perilakunya. Dosa-dosanya—jika memang ada yang namanya dosa—adalah pinjaman."—p. 37



kalo merah berhasil memengaruhi biru, maka warna biru akan jadi sedikit ungu...
gitu kira-kira...


Itu salah satu kalimat ngaco dari Lord Henry. 
Saya sepakat pada dua kalimat awalnya. 
Iya, dengan memengaruhi seseorang, orang itu tidak akan berpikir sama lagi. Ada pemikiran baru dalam dirinya. Tapi, perilakunya tetap perilakunya. Dan dosanya, bukan pinjaman. 

Saat membaca kalimat itu, saya teringat banyak hal. Berapa buku yang sudah saya baca, berapa orang yang sudah berdiskusi dengan saya, berapa banyak hal yang saya dengar dari orang-orang di sekitar, hingga berapa banyak gaya hidup saya yang dihasilkan sekarang yang merupakan hasil dari pengaruh kedua orang tua mendidik saya ketika kecil.


 

Itulah kenapa tanggung jawab menjadi orang tua begitu besar. 
Pengaruhnya bisa jadi melekat seumur hidup si anak.



 
Dalam kasus di novel ini, Dorian begitu terpengaruh oleh kata-kata Lord Henry. Saya awalnya berpikir, hei Dorian itu sudah 19 tahun. Seharusnya dia bisa berpikir mana yang baik dan tidak. Tapi, benarkah semudah itu?
Berikut kutipan lain di buku ini terkait pengaruh dan kata-kata.

Betapa mengerikannya kata-kata! Begitu jelas, tegas, dan keji! Tidak ada yang bisa lolos dari kata-kata. Sungguh, sihir gaib apa yang ada di dalamnya? .... Adakah sesuatu yang lebih nyata dibanding kata-kata?—p. 40-41

Adakah sesuatu yang lebih nyata dibanding kata-kata?

Berapa kali kalian melakukan sesuatu karena pendapat orang lain? Karena kata-kata?

“Rambutnya kok dipotong pendek?”

Kalimat sederhana. Bisa saja tujuannya sekadar bertanya. Basa-basi, bla-bla-bla. Tapi, efeknya?

Bisa jadi, kita kepikiran. Apa jangan-jangan kependekan, ya? Atau, hasilnya jelek? Atau, sebenarnya dia malah sirik?

Bisa jadi, kita ambil tindakan. Nyambung rambut atau mungkin manjangin rambut dan nggak mau potong pendek lagi. Atau justru potong rambut pendek terus sebagai bentuk protes bahwa kita nggak terpengaruh kata-kata orang itu. Tapi, tau nggak, itu juga nunjukin kalo omongan orang itu berpengaruh ke kita.


Jadi, gimana caranya nanggepin omongan orang? 


Disaring.
(mungkin)

Dorian mungkin awalnya berusaha menyaring omongan Lord Henry, tapi ternyata saringannya kurang kuat atau mungkin omongan Lord Henry yang kelewat kuat jadi saringan Dorian pun koyak. Jadilah omongan Lord Henry berpengaruh ke dia.
Nggak perlu semua omongan orang kita masuk-masukin ke otak, apalagi hati. Denger kalo perlu didenger, lalu saring intinya. *ngambil ayakan*


Hadew, jari kriting. *intermeso*


Kurang sip ya contohnya? Oke, ganti pertanyaan, yang umum ditanyain orang pas lagi resepsi nikah.

“Kapan nyusul? Udah punya calon belum?”

Efeknya? Tanya pada diri masing-masing, coba…. *dilempar sanggul*



Tapi, yang perlu diingat, balik ke topik, nggak ada itu dosa pinjaman. Dorian pun sebenarnya tahu yang dia lakukan salah, tapi dia selalu melarikan diri atau menimpakannya kepada orang lain. Kepada leluhur-leluhurnya (di bab 9 yang ampun buset bacanya). Kepada Basil. Siapa pun dia salahkan. Kecuali dirinya. Iya, pelarian. Ketakutan melihat apalagi mengakui kesalahannya sendiri. Ini pun membuat kita kembali berkaca… *sampe sini, ada yang bilang, “Hah? Kita? Lo aja keleus…”? Oke, pake saya aja, deh* Saya berkaca. Berapa kali saya menuding orang yang bertanggung jawab atas kesalahan yang saya lakukan?




"Salah dia!"
Telat masuk gara-gara nggak dibangunin. Yang salah berarti nyokap.

Telat ngumpul sesuai DL gara-gara kebanyakan kerjaan. Yang salah berarti atasan. 

Dan seterusnya. 
Dan seterusnya.

 
Hal lain yang saya temukan di buku ini adalah pandangan tentang wanita. Secara singkat, menurut saya sepertinya Oscar Wilde merasa kalau wanita itu ribet. 

Berikut kutipan lain yang menarik di buku ini. Sisanya saya hapus, karena hari sudah sore dan saya sudah kenyang dengan omongan Lord Henry. *puk2 otak*

Pengakuan kitalah, dan bukannya maaf dari pendeta, yang membebaskan kita dari rasa bersalah.—p. 125


Pokoknya, saya suka buku ini. walaupun banyak dialog berat, tapi sungguh menarik. 

Ah, jadi inget. Kenapa saya bilang pasti banyak yang bahas buku ini dari segi psikologi sastra? Karena tokoh-tokohnya memang menarik. 

Lord Henry, misalnya, saya rasa sebenarnya iri kepada Dorian. Ada sesuatu hal dalam diri Dorian yang tidak dimilikinya, dan tidak akan dapat dimilikinya seberapa kuat pun dia berusaha. Karena itu, dia menggiring Dorian ke jalan yang akan dia tempuh seandainya memiliki anugerah ketampanan seperti Dorian.  Tentu saja Lord Henry cerdas, dan memiliki pesona tersendiri, seperti halnya Hannibal Lecter yang sama-sama suka menganalisa manusia.








Sybil Vane, Alan Campbell, Basil Hallward, dan Dorian Gray juga punya banyak hal yang bisa diulik dari sisi psikologi.


Nah, sekarang minusnya. Selain sedikit masalah editing, saya juga menemukan beberapa pemenggalan kata yang keliru di buku ini. Misalnya: Menin-ggalkan—p. 14, ket-akutan—p. 19, har-us—p. 44. Semoga kalo buku ini cetak ulang, diperbaiki dulu.

Terkait footnote, saya penasaran. Di halaman 183, misalnya, kenapa Dante dikasih keterangan, sementara Gautier nggak? Kemungkinan karena penerjemahnya sudah tau Gautier.
Tapi, saya nggak tau.
( T ▽ T )


Begitu ajalah.
Buku ini pun saya yakin merupakan gambaran sebagian jiwa si Oscar Wilde, pembuatnya. Dan sekarang menjadi pantulan dari saya, si pembaca.
Yang dia kirim, belum tentu sama dengan yang saya terima. Belum tentu sama pula dengan yang kamu terima setelah kamu membaca buku ini. 

Tidak masalah. Justru di situ menariknya. Ahahahahahah….
*<(。≧∀≦)
Sebagai penutup, ini kutipan lain dari Oscar Wilde:

Tidak ada karya seni yang berguna.—p. 8

Apa pula maksudnya itu…? 
*gagal tenang*

( ̄~ ̄;)







Sumber gambar:
Cover buku, Dorian dan lukisan, imajinasi, gebetan dan gebetannya, warna pendapat, blablabla, saring blablabla, menuding, Lord Henry, Hannibal, Bingung.


4 comments:

  1. Detail sekali ulasannya, Anda memang jempolan....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahem. Katanya, kalo memberi pujian itu serupa memenggal kepala, loh...
      (~..~")

      Delete
  2. Waw...baca review ini jadi penasaran dengan bukunya.
    Sepertinya unsur psikologi yang sempat disinggung dalam tulisan
    ini cukup menarik *ada yang mau kasih pinjam bukunya?*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hyakakakkak.... kalo posisi di Jogja, baca punyaku gpp, Mas.
      :D

      Delete

Pages