Membaca Smokol dari awal mungkin sebuah kekeliruan. Saya
keburu pusing.
Tapi, bisa jadi juga sebuah keberuntungan, sih. Karena
setelah cerpen pertama yang cukup berat, disusul cerpen berikutnya yang susah
dicerna, saya memutuskan membacanya dari belakang. Judulnya menarik. Isinya,
mengerikan—dalam artian, lebih menarik lagi.
Saya suka hentakan dalam cerita. Hentakan itu membuat kita
berpikir—walau mungkin sesaat, tentang hidup dan kehidupan. “Smokol” menaburkan
hentakan itu pada jeda beberapa paragrafnya. Bercerita tentang Batara yang
sering mengadakan smokol (makan antara pagi dan siang). Dalam cerpen ini penuh
sindiran terhadap orang yang menjaga diri dari makanan, tata cara makan yang
kelewat ruwet, hingga hasrat manusia.
“Akhirat…. Aku curiga cita rasa akhirat akan seperti ini. Kenyang dan bahagia. Di surga kita akan kenyang, terlalu kenyang untuk menginginkan. ….”—p. 8
Hal ini mengingatkan pada ungkapan bahwa ada surga di dunia
ini. Mungkin, salah satunya serupa surga yang diungkapkan Batara itu.
Cerpen “Iblis Paris” bercerita tentang perjalanan seorang
wanita, wanita yang dicintai seorang raja opium yang berakhir di Paris. Lalu,
perjalanan hidup mengantarnya menjadi raja opium lain. Lalu, berakhir dengan
pengkhianatan oleh orang terdekatnya. Baiklah,
saya tidak begitu mengerti pesan “berat” yang ingin disampaikan yang biasanya
dikandung cerpen-cerpen Kompas. Hanya itu yang saya tangkap. Mungkin,
tentang berbahayanya kota Paris—terlalu dangkal? Baik, mungkin tentang
kepercayaan dan pengkhianatan.
Dari sini, saya melompat ke cerpen paling akhir, “Perempuan
Sinting di Dapur”. Dan, di sini saya menemukan cerpen tipe saya. Hentakan yang
mengerikan. Sesuatu yang disembunyikan, membuat pembaca penasaran,
menduga-duga, dan akhirnya tetap terkejut karena semua dugaan meleset. Bercerita
tentang Mak Saodah yang menolak menjenguk Pak Haji Mail yang sekarat. Kenapa
Mak Saodah setega itu? Hingga cerita itu tersampaikan, Mak Saodah tersakiti,
suaminya dulu difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang
sekampung, hingga dibiarkan mati tanpa harga diri. Lalu, mengapa Mak Saodah
menolak ajakan anaknya untuk meninggalkan kampung itu? Alasannya…, mengejutkan.
Well, alasannya nggak mengejutkan, sih, cara melakukannya yang bikin shock.
Penyampaian kisah di cerpen terakhir ini tidak istimewa,
tapi tetap saja ceritanya menarik dan membuat saya memutuskan lanjut membaca…dari
belakang :D
Cerpen berikutnya, “Kartu Pos dari Surga”. Menarik. Udah
sering, sih, cerita tentang anak yang belum bisa menerima kehilangan orang
tuanya, tapi tetep aja menarik buat dibaca. Baningnya—mulanya saya kira nama
tokoh ini Bening, tapi ternyata memang Beningnya—merasa kehilangan karena kartu
pos dari ibunya tidak lagi datang. Ren, ibu Beningnya, memang sering bepergian.
Sementara Marwan, ayah Beningnya, tidak mengerti bagaimana menyampaikan kabar
duka kepada putrinya.
Cerpen ini cukup menarik, hingga sebuah kutipan….
Rasanya, ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.—p. 135
Ya ampun! Seno di mana-mana!
Begitulah, saya mulai jenuh. Ending-nya, agak irasional
dan mengingatkan saya pada salah satu cerpen yang saya baca, kalo nggak salah
di kumcer Kompas juga. Setting-nya sama-sama di kamar, anak-anak bisa
berbincang dengan ibunya, sementara sang suami justru nggak bisa. Hanya saja,
cerpen yang satu itu berkisah tentang perselingkuhan.
Cerpen “Ratapan Gadis Suayan” cukup menarik, mungkin hanya
kelewat sederhana penyampaiannya. Cerpen ini memberi pengetahuan baru, tentang
daerah bernama Suayan, daerah yang tidak subur namun panen kecantikan anak-anak
gadis mereka, dan kebiasaan orang yang meminang gadis muda di sana. Cerpen ini,
meski sama-sama menghadirkan daerah dan tradisi yang sama sekali baru, lebih
mudah dinikmati daripada cerpen “Iblis Paris”, menurut saya.
“Berburu Beruang” karya Puthut EA dimulai dengan sedikit
maraton. Dua orang kawan lama yang berburu beruang. Dan, ternyata, itu adalah
bentuk pelampiasan kemarahan yang tidak tersampaikan. *udah, ah, gitu aja. Ntar
spoiler pula* *alasan, padahal mau langsung lanjut baca*
Lalu, saya bertemu karya Triyanto Triwikromo lagi. Saya
ingat perkataan Mas Ari, redaktur Jawa Pos, bahwa karya penulis ini salah satu
yang dia suka. Baiklah, kami beda tipe dalam hal ini. Tapi cerpen “Dalam Hujan
Hijau Friedenau” ini masih lebih mending—lebih mudah dinikmati—dari karyanya
yang “Iblis Paris”. Tentang cinta tak sampai….
Membaca “Rumah Duka” sepertinya menarik. Gambar pengantarnya
sudah bisa jadi cerita pengantar bahwa ini tentang 2 wanita dan 1 lelaki.
Perkara dasi yang jadi pemanis cerita sang istri pun sudah tertebak. Meski
begitu, kisah-kisah seperti ini tetap menarik dilihat ending-nya. Ternyata,
perjalanan ceritanya pun menarik. Mengambil dua sudut pandang “aku”, sang istri
dan selingkuhan, mereka bergantian
bercerita tentang cinta kepada Bim, sang lelaki. Lagi-lagi, saya menemukan
cerita bahwa perempuan memilih merelakan laki-laki selingan di luar, selama
laki-laki itu masih pulang kepada mereka.
Aku tahu, dan diam-diam aku tak keberatan, dengan syarat perempuan-perempuan itu tetap sebagai “makanan” dan bukan sebagai “anjing”. Ya, sebab jika sudah menjadi “anjing”, berarti dia dipelihara.—p. 94
Maut memang suka bergurau dengan hidup. Inilah kenapa diam-diam aku tak keberatan suamiku “jajan”.—p. 98
Reaksi saya semakin melunak perihal “suami suka jajan” ini. Dulu,
karya laki-laki, Ahmad Tohari, yang ini karya perempuan, Ratih Kumala. Mungkin, ini menunjukkan betapa
cinta melemahkan wanita. Di satu sisi, ini bisa jadi menunjukkan betapa cinta
menguatkan. Aih, batas antara kuat dan bodoh kadang membingungkan jika sudah
terpercik perkara cinta. *ahem, mendadak syahdu*
Jika dibandingkan dengan cerpen-cerpen Kompas yang lain, cerpen
“Merah Pekat” ini jadi terasa lucu. Saya sudah menduga di tengah, tapi berharap
ada hal lain karena masih tidak yakin jika tema pengisap darah akan masuk dalam
Kompas. Tapi ternyata demikianlah. Bagus juga untuk selingan. :D
Cerpen “Mangku Mencari Doa di Daratan yang Jauh” ini… bentuk
penyampaian seseorang yang ingin dimakamkan dengan diiringi doa, dikubur, bukan
dibakar. Apakah tidak menimbulkan pro kontra? Sepertinya tidak, mungkin karena
ini digambarkan sebagai keinginan tokoh.
Iya, semakin ke bawah, ulasan saya semakin sedikit. Waktu pinjam
segera habis soalnya *ahahahah*
“Sakri Terangkat ke Langit” cukup menarik. Cukup saja. “Cerita
dari Rantau” adalah sisi lain dari penjajah. Nggak selamanya mulus. Yang
menjajah aja nggak selamanya lancar, apalagi yang dijajah. ~..~” Sementara, cerita
“Kiriman Laut yang Terlambat” berisi cerita mistis yang menceritakan asal mula
rintihan dari hutan bakau—begitu kira-kira.
“Terbang” bercerita tentang kekhawatiran Ari—cewek—tentang kemungkinan
mati saat terbang.
Terbang adalah menyetorkan nyawa kepada perusahaan angkutan umum.—p. 53
Karena itu, dia memutuskan selalu terbang terpisah dengan
suami. Jadi, kalau yang salah satu mati, yang lain masih hidup untuk menghidupi
anak-anak mereka. Lalu, pada sebuah penerbangan, Ari mendapat teman sebangku
yang menarik.
Sebetulnya, sudah lama aku tak ingin ngobrol dengan orang seperjalanan. Sia-sia. …. Setidaknya, buku menambah isi kepala. Manusia sering-sering Cuma menghabiskan urat kepala.—p. 54
“Jadi, setiap kamera digital lahir dengan kapasitas sekitar seratus ribu kali memotret?”“Iya. Tertulis. Cuma orang enggak mau baca.”“Ada yang bilang, setiap lelaki juga begitu. Lahir dengan sejumlah tertentu kapasitas orgasme.”—p. 58
Woh?! *benerin letak kacamata. Gugling nggak ya, gugling
nggak, ya…**ahahahahah*
Ini karya Ayu Utami, dan saya rasa juara di buku ini. Di
cerpen ini juga muncul nama Jati. Jadi, nama Parang Jati di novel-novelnya itu
sudah mulai ada embrionya di cerpen-cerpennya. Apakah nama ceweknya sama juga,
Ari? Saya punya buku Manjali dan Cakrabirawa, tapi belum baca… Temen saya yang baca duluan, dan jatuh cinta
pada si Parang Jati. Tampaknya, memang menarik tokoh-tokoh Ayu Utami ini.
Saya keliru. Cerpen “Senja di Pelupuk Mata” Karya Ni Komang
Ariani ternyata juga jadi favorit saya di buku ini. Bercerita tentang sepasang suami
istri menghadapi masa tua. Mereka mulai diabaikan anak menantu, bahkan mungkin
terlupakan.
Mengapa setelah tua kita menjadi tak berharga, tak menarik, tak diinginkan. Mungkin dengan rasa yang samalah aku meninggalkan kedua orang tuaku saat menikah. Dengan langkah-langkah panjang, tanpa sekali pun menoleh.—p. 39
Jadi begitu. Serupa karmalah hidup ini. *angguk-angguk
sambil menatap anak sendiri*
Aih, review buku ini kacau sekali, ya.
Iya, saya tulis sehabis membaca satu cerpen. Tidak keseluruhan.
Dan tidak saya edit lagi isinya untuk menarik kesimpulan keseluruhan isi kumcer
ini. Jadilah seperti pendapat pribadi tentang tiap-tiap cerpen. Tapi biarlah,
daripada tidak menulis lalu saya menyesal.
Soalnya, buku ini pinjaman. Saya harus memilih: Ditunda membaca atau terburu-buru membaca. Saya tidak suka keduanya. Tapi kemudian memutuskan bahwa buku ini sayang dilewatkan. Soalnya, kapan lagi bisa dapet pinjaman… *astaga, rupanya masih nggak mau modal* Jadi biarlah, baca buru-buru, daripada tidak membaca lalu saya menyesal.
Soalnya, buku ini pinjaman. Saya harus memilih: Ditunda membaca atau terburu-buru membaca. Saya tidak suka keduanya. Tapi kemudian memutuskan bahwa buku ini sayang dilewatkan. Soalnya, kapan lagi bisa dapet pinjaman… *astaga, rupanya masih nggak mau modal* Jadi biarlah, baca buru-buru, daripada tidak membaca lalu saya menyesal.
No comments:
Post a Comment