Entri Populer

Monday, 2 February 2015

Smokol (Cerpen Kompas Pilihan 2008)



Membaca Smokol dari awal mungkin sebuah kekeliruan. Saya keburu pusing.
Tapi, bisa jadi juga sebuah keberuntungan, sih. Karena setelah cerpen pertama yang cukup berat, disusul cerpen berikutnya yang susah dicerna, saya memutuskan membacanya dari belakang. Judulnya menarik. Isinya, mengerikan—dalam artian, lebih menarik lagi.

Saya suka hentakan dalam cerita. Hentakan itu membuat kita berpikir—walau mungkin sesaat, tentang hidup dan kehidupan. “Smokol” menaburkan hentakan itu pada jeda beberapa paragrafnya. Bercerita tentang Batara yang sering mengadakan smokol (makan antara pagi dan siang). Dalam cerpen ini penuh sindiran terhadap orang yang menjaga diri dari makanan, tata cara makan yang kelewat ruwet, hingga hasrat manusia.


“Akhirat…. Aku curiga cita rasa akhirat akan seperti ini. Kenyang dan bahagia. Di surga kita akan kenyang, terlalu kenyang untuk menginginkan. ….”—p. 8


Hal ini mengingatkan pada ungkapan bahwa ada surga di dunia ini. Mungkin, salah satunya serupa surga yang diungkapkan Batara itu.

Cerpen “Iblis Paris” bercerita tentang perjalanan seorang wanita, wanita yang dicintai seorang raja opium yang berakhir di Paris. Lalu, perjalanan hidup mengantarnya menjadi raja opium lain. Lalu, berakhir dengan pengkhianatan oleh orang terdekatnya.  Baiklah, saya tidak begitu mengerti pesan “berat” yang ingin disampaikan yang biasanya dikandung cerpen-cerpen Kompas. Hanya itu yang saya tangkap. Mungkin, tentang berbahayanya kota Paris—terlalu dangkal? Baik, mungkin tentang kepercayaan dan pengkhianatan.




Dari sini, saya melompat ke cerpen paling akhir, “Perempuan Sinting di Dapur”. Dan, di sini saya menemukan cerpen tipe saya. Hentakan yang mengerikan. Sesuatu yang disembunyikan, membuat pembaca penasaran, menduga-duga, dan akhirnya tetap terkejut karena semua dugaan meleset. Bercerita tentang Mak Saodah yang menolak menjenguk Pak Haji Mail yang sekarat. Kenapa Mak Saodah setega itu? Hingga cerita itu tersampaikan, Mak Saodah tersakiti, suaminya dulu difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang sekampung, hingga dibiarkan mati tanpa harga diri. Lalu, mengapa Mak Saodah menolak ajakan anaknya untuk meninggalkan kampung itu? Alasannya…, mengejutkan. Well, alasannya nggak mengejutkan, sih, cara melakukannya yang bikin shock

Penyampaian kisah di cerpen terakhir ini tidak istimewa, tapi tetap saja ceritanya menarik dan membuat saya memutuskan lanjut membaca…dari belakang :D

Cerpen berikutnya, “Kartu Pos dari Surga”. Menarik. Udah sering, sih, cerita tentang anak yang belum bisa menerima kehilangan orang tuanya, tapi tetep aja menarik buat dibaca. Baningnya—mulanya saya kira nama tokoh ini Bening, tapi ternyata memang Beningnya—merasa kehilangan karena kartu pos dari ibunya tidak lagi datang. Ren, ibu Beningnya, memang sering bepergian. Sementara Marwan, ayah Beningnya, tidak mengerti bagaimana menyampaikan kabar duka kepada putrinya.
Cerpen ini cukup menarik, hingga sebuah kutipan….


Rasanya, ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.—p. 135



Ya ampun! Seno di mana-mana!
Begitulah, saya mulai jenuh. Ending-nya, agak irasional dan mengingatkan saya pada salah satu cerpen yang saya baca, kalo nggak salah di kumcer Kompas juga. Setting-nya sama-sama di kamar, anak-anak bisa berbincang dengan ibunya, sementara sang suami justru nggak bisa. Hanya saja, cerpen yang satu itu berkisah tentang perselingkuhan.

Cerpen “Ratapan Gadis Suayan” cukup menarik, mungkin hanya kelewat sederhana penyampaiannya. Cerpen ini memberi pengetahuan baru, tentang daerah bernama Suayan, daerah yang tidak subur namun panen kecantikan anak-anak gadis mereka, dan kebiasaan orang yang meminang gadis muda di sana. Cerpen ini, meski sama-sama menghadirkan daerah dan tradisi yang sama sekali baru, lebih mudah dinikmati daripada cerpen “Iblis Paris”, menurut saya.

“Berburu Beruang” karya Puthut EA dimulai dengan sedikit maraton. Dua orang kawan lama yang berburu beruang. Dan, ternyata, itu adalah bentuk pelampiasan kemarahan yang tidak tersampaikan. *udah, ah, gitu aja. Ntar spoiler pula* *alasan, padahal mau langsung lanjut baca*

Lalu, saya bertemu karya Triyanto Triwikromo lagi. Saya ingat perkataan Mas Ari, redaktur Jawa Pos, bahwa karya penulis ini salah satu yang dia suka. Baiklah, kami beda tipe dalam hal ini. Tapi cerpen “Dalam Hujan Hijau Friedenau” ini masih lebih mending—lebih mudah dinikmati—dari karyanya yang “Iblis Paris”. Tentang cinta tak sampai….

Membaca “Rumah Duka” sepertinya menarik. Gambar pengantarnya sudah bisa jadi cerita pengantar bahwa ini tentang 2 wanita dan 1 lelaki. Perkara dasi yang jadi pemanis cerita sang istri pun sudah tertebak. Meski begitu, kisah-kisah seperti ini tetap menarik dilihat ending-nya. Ternyata, perjalanan ceritanya pun menarik. Mengambil dua sudut pandang “aku”, sang istri dan selingkuhan,  mereka bergantian bercerita tentang cinta kepada Bim, sang lelaki. Lagi-lagi, saya menemukan cerita bahwa perempuan memilih merelakan laki-laki selingan di luar, selama laki-laki itu masih pulang kepada mereka.


Aku tahu, dan diam-diam aku tak keberatan, dengan syarat perempuan-perempuan itu tetap sebagai “makanan” dan bukan sebagai “anjing”. Ya, sebab jika sudah menjadi “anjing”, berarti dia dipelihara.—p. 94



Maut memang suka bergurau dengan hidup. Inilah kenapa diam-diam aku tak keberatan suamiku “jajan”.—p. 98


Reaksi saya semakin melunak perihal “suami suka jajan” ini. Dulu, karya laki-laki, Ahmad Tohari, yang ini karya perempuan, Ratih Kumala. Mungkin, ini menunjukkan betapa cinta melemahkan wanita. Di satu sisi, ini bisa jadi menunjukkan betapa cinta menguatkan. Aih, batas antara kuat dan bodoh kadang membingungkan jika sudah terpercik perkara cinta. *ahem, mendadak syahdu*

Jika dibandingkan dengan cerpen-cerpen Kompas yang lain, cerpen “Merah Pekat” ini jadi terasa lucu. Saya sudah menduga di tengah, tapi berharap ada hal lain karena masih tidak yakin jika tema pengisap darah akan masuk dalam Kompas. Tapi ternyata demikianlah. Bagus juga untuk selingan. :D

Cerpen “Mangku Mencari Doa di Daratan yang Jauh” ini… bentuk penyampaian seseorang yang ingin dimakamkan dengan diiringi doa, dikubur, bukan dibakar. Apakah tidak menimbulkan pro kontra? Sepertinya tidak, mungkin karena ini digambarkan sebagai keinginan tokoh.
Iya, semakin ke bawah, ulasan saya semakin sedikit. Waktu pinjam segera habis soalnya *ahahahah*

“Sakri Terangkat ke Langit” cukup menarik. Cukup saja. “Cerita dari Rantau” adalah sisi lain dari penjajah. Nggak selamanya mulus. Yang menjajah aja nggak selamanya lancar, apalagi yang dijajah. ~..~” Sementara, cerita “Kiriman Laut yang Terlambat” berisi cerita mistis yang menceritakan asal mula rintihan dari hutan bakau—begitu kira-kira.  

“Terbang” bercerita tentang kekhawatiran Ari—cewek—tentang kemungkinan mati saat terbang. 


Terbang adalah menyetorkan nyawa kepada perusahaan angkutan umum.—p. 53


Karena itu, dia memutuskan selalu terbang terpisah dengan suami. Jadi, kalau yang salah satu mati, yang lain masih hidup untuk menghidupi anak-anak mereka. Lalu, pada sebuah penerbangan, Ari mendapat teman sebangku yang menarik.


Sebetulnya, sudah lama aku tak ingin ngobrol dengan orang seperjalanan. Sia-sia. …. Setidaknya, buku menambah isi kepala. Manusia sering-sering Cuma menghabiskan urat kepala.—p. 54



“Jadi, setiap kamera digital lahir dengan kapasitas sekitar seratus ribu kali memotret?”
“Iya. Tertulis. Cuma orang enggak mau baca.”
“Ada yang bilang, setiap lelaki juga begitu. Lahir dengan sejumlah tertentu kapasitas orgasme.”—p. 58


Woh?! *benerin letak kacamata. Gugling nggak ya, gugling nggak, ya…**ahahahahah*

Ini karya Ayu Utami, dan saya rasa juara di buku ini. Di cerpen ini juga muncul nama Jati. Jadi, nama Parang Jati di novel-novelnya itu sudah mulai ada embrionya di cerpen-cerpennya. Apakah nama ceweknya sama juga, Ari? Saya punya buku Manjali dan Cakrabirawa, tapi belum baca…  Temen saya yang baca duluan, dan jatuh cinta pada si Parang Jati. Tampaknya, memang menarik tokoh-tokoh Ayu Utami ini.

Saya keliru. Cerpen “Senja di Pelupuk Mata” Karya Ni Komang Ariani ternyata juga jadi favorit saya di buku ini. Bercerita tentang sepasang suami istri menghadapi masa tua. Mereka mulai diabaikan anak menantu, bahkan mungkin terlupakan. 


Mengapa setelah tua kita menjadi tak berharga, tak menarik, tak diinginkan. Mungkin dengan rasa yang samalah aku meninggalkan kedua orang tuaku saat menikah. Dengan langkah-langkah panjang, tanpa sekali pun menoleh.—p. 39


Jadi begitu. Serupa karmalah hidup ini. *angguk-angguk sambil menatap anak sendiri*

Aih, review buku ini kacau sekali, ya. 

Iya, saya tulis sehabis membaca satu cerpen. Tidak keseluruhan. Dan tidak saya edit lagi isinya untuk menarik kesimpulan keseluruhan isi kumcer ini. Jadilah seperti pendapat pribadi tentang tiap-tiap cerpen. Tapi biarlah, daripada tidak menulis lalu saya menyesal.
Soalnya, buku ini pinjaman. Saya harus memilih: Ditunda membaca atau terburu-buru membaca. Saya tidak suka keduanya. Tapi kemudian memutuskan bahwa buku ini sayang dilewatkan. Soalnya, kapan lagi bisa dapet pinjaman… *astaga, rupanya masih nggak mau modal* Jadi biarlah, baca buru-buru, daripada tidak membaca lalu saya menyesal.

Cukup banyak yang saya suka di sini. Perempuan Sinting di Dapur menggambarkan dendam dengan baik. Rumah Dukan dan Terbang menceritakan kisah cinta dengan menarik. Senja di Pelupuk Mata mengingatkan akan kerentaan yang niscaya akan kita alami--itu juga kalau kita tidak keburu mati. (^-^")


No comments:

Post a Comment

Pages