Entri Populer

Monday 16 November 2015

Untuk Menerima Pinangan Memang Butuh Banyak Pertimbangan--Ulasan Critical Eleven karya Ika Natassa



Judul: Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia

In life, there are no heroes and villains, only various state of compromise.—p. 113


Sebelumnya, saya ingetin..., di sini ada spoiler-nya.... >_<


Ide buku ini sederhana. Tapi, bisa jadi kisah yang panjang. Berkisah tentang Ale dan Anya, sepasang kekasih yang berusaha menghadapi permasalahan di antara mereka, dan sekaligus permasalahan dengan diri masing-masing.

Iya, masing-masing mereka belum berdamai dengan diri sendiri.
Saya rasa, itu kenapa konflik di antara mereka terjadi cukup lama. Masalah di antara mereka bukan lagi ekonomi, tapi lebih pada masalah individual. 


Anya adalah seorang cewek mandiri yang tanpa Ale pun sudah bisa hidup nyaman. Jadi, apa yang membuat Anya menerima pinangan Ale dulu? Cinta? Ya, cinta Ale ke Anya bisa keliatan orang di sekitar bahkan dari jauh. Tapi, bagaimana bisa Anya sampai pada kalimat: “Kadang cinta aja nggak cukup, Le.”?

Kalau saya sebutkan masalahnya, saya khawatir—saya sering bimbang ingin bercerita atau menyimpan—merusak kenikmatan kalian membaca bagi yang belum membaca. Jadi, ada satu perkataan Ale yang menyakiti Anya. Sedemikian sakit sampai dia kuat memilih cara marah versi cewek yang sulit: diam.

Banyak yang bilang, diamnya cewek lebih mengerikan daripada marah. Di buku ini mungkin kita bisa liat gambarannya. Seperti saya bilang, cowok macam Ale ini memang sudah jarang, tapi masih ada. Tipe cowok yang entah gimana keliatannya nggak ada kurangnya. Ya, kecuali pendiam kalau di dekat orang yang nggak bikin dia nyaman.

Sementara cewek kayak Anya….
Saya juga cewek, dan saat membaca saya nggak bisa membayangkan bertindak sekeras Anya. Tapi, penulisnya meramu dengan dukungan lain. Pertama, Ale kerjanya jauh dan jarang pulang *bukan Bang Toyib*, jadi memungkinkan Anya bersikap diam selama itu. Dan terbukti kan sempat luruh. Kedua, momen Ale bilang begitu pas banget. Pas waktu-waktu Anya sensi akut. 

Cewek, kalau sudah milih marah dengan diam, berarti marahnya sudah di ubun-ubun. Karena sadar, mau berteriak sekeras apa pun percuma, maka lebih baik diam. Dan biarkan waktu berjalan seperti biasa. Para cewek akan menganggap orang yang bikin dia marah juga seperti halnya waktu yang memang harus berjalan, harus berada di garis hidupnya, jadi diamkan saja.

Masalahnya, di lain sisi, cewek sangat butuh tempat curhat. Masalah sepele aja kadang mereka butuh tempat cerita, apalagi masalah serius. Dan di sanalah Anya bertahan menampung semua lukanya sendirian dengan diam, nggak cerita ke siapa-siapa, termasuk ibu dan sahabat-sahabatnya.

Kalau “kenapa” lagi yang muncul, ya karena nggak semua masalah akan mendapat solusi dengan diceritakan. Dan pernikahan semakin mengajarkan hal itu. Kadang, ada hal yang ketika diceritakan justru akan semakin runyam. Masalah dalam rumah tangga termasuk di dalamnya. Anya dan Ale pun sadar, bercerita kepada orang lain tidak akan menimbulkan solusi. Karena hanya mereka yang paling memahami masalahnya dan perasaan sesak yang timbul tenggelam dalam permasalahan mereka.

Karakter Anya ini sulit sekali. Apakah wanita serumit ini?
Iya.

Kalau ada kalimat menyakitkan, maka cewek juara dalam mengingatnya.

Kata orang, waktu akan menyembuhkan semua luka, namun duka tidak semudah itu bisa terobati oleh waktu.--Critical Eleven p. 95 
Dan untuk berdamai dengan rasa sakit itu sulit, lho—bagi cewek. Ahahahaha.


Karakter Anya yang sulit juga terlihat dari bagaimana dia memperlakukan kamar Aidan.


Agak ke psikologis sebenarnya masalah Anya dan Ale, ya siapa sih manusia yang nggak punya masalah psikologis. Tapi, Anya dan Ale lumayan parah. Anya menolak ke makam, Ale menolak ke kamar Aidan. Itu kenapa saya bilang, masing-masing masih belum berdamai dengan diri sendiri. Ada hal yang masih belum bisa mereka terima, tapi juga tidak mereka bagi. Jadilah mengendap dan bersarang di hati masing-masing.

Hal yang saya kurang suka dari novel ini adalah… terlalu banyak detail diulang. Bagi sebagian orang mungkin menyenangkan, tapi dalam novel ini banyak sekali. Cerita Anya tentang apa yang akan dia lakukan dengan Aidan. Cerita Ale tentang apa yang dia suka dari Anya. Cara bercerita yang model diulang.

Misal:
Malam ini, aku merasakan dia memijatku lembut, seperti dulu. Dia elus punggungku dan kedua lenganku, seperti dulu. Lalu dia merengkuhku, memeluk dari belakang, seperti dulu. Aku memejamkan mataku, seperti dulu, Le. (versi Anya)

Sementara:

Gue pijat pundaknya, gue elus rambutnya, dan gue cium rambutnya dan bahunya. (versi Ale)

Nah, model Anya itu yang sering terkesan beralur lambat dengan detail-detail perasaan. Bosaaan….Tapi, di sisi lain, sekaligus membedakan, gimana kalo cewek yang cerita dibandingkan dengan gimana kalo cowok yang cerita.

Hal lain adalah penyelesaian masalah mereka bisa dibilang adalah karena “bantuan Tuhan”, ini ada istilahnya dalam dunia penelitian sastra, tapi saya lupa. Intinya, bukan hasil kontemplasi tokoh sendiri, melainkan karena tokoh mengalami kejadian besar--yang seakan sudah digariskan Tuhan.

Terus, Critical Eleven kan tentang 3 dan 8. Tadinya, saya pikir, akan ada tentang yang 8 menit.

Begitulah.
Yah, saya tetap suka. Dan masih dikit baca buku model beginian.
Ketika ditanya kawan, sedih apa nyesek? Setelah baca novel ini. Saya bilang, nyesek lebih tepat.

Ada quote menarik tentang pernikahan di buku ini.


Saat kita duduk di depan meja penghulu dan melaksanakan ijab kabul, semua kita “pertaruhkan”.—p. 153

Saya rasa, kalimat ini perlu diperhatikan kawan-kawan saya sebelum menikah. Pertaruhan yang sebenar-benarnya.
Jadi, memutuskan untuk menerima pinangan memang perlu banyak pertimbangan. 

Itu resensi lama saya. Dulu, semangat bikin karena efek yang ditimbulkan buku ini.
Dan. Sekarang, dapet kabar. Buku ini akan difilmkan. Uwow~~~
(*0* )

Beberapa hal ini adalah harapan saya. Disesuaikan dengan situasi ketika saya membangun imajinasi visual saat membaca buku ini.

1. Adegan ketika Anya kumpul dengan sahabat-sahabatnya dan dia merasa berada di titik balik dalam hidupnya kudu dimasukin. Karena bagian itu pasti ngena. Saat kita mendengarkan sahabat yang menceritakan kabar gembira sementara kita sedang mati-matian melawan kegetiran dalam diri kita.

2. Fokus tentang Anya dalam novel ini lebih pada kondisi psikologis. Saya rasa, akan baik kalau ada satu dua adegan yang menunjukkan bagaimana perubahan seorang wanita menjadi seorang ibu dalam hal fisik. Misal, perut yang berubah atau air susu yang akan tetap menetes tanpa bisa dikontrol oleh tubuh pemiliknya. 


3. Adegan pembuka di buku ini menurut saya bagus. Orang-orang akan bertanya-tanya: "Apa yang terjadi antara mereka berdua?"
Filmnya bisa dimulai dari tempat serupa, nggak? :D


4. Pilih pemain yang ekspresi wajahnya bisa menunjukkan penghayatan dengan hal yang dialami Ale dan Anya, please. Jangan cuma ganteng dan cantik. 

5. Kalau judulnya tetap Critical Eleven. Bisakah lebih menunjukkan kekritisan makna 3 + 8 yang disebut dalam buku agar lebih "ngena" ke penonton?



Yak, syudah.... Kalo kebanyakan minta dibantai. Memang saya mau memproduseri, kok banyak maunya, ngahahhahahahahah....

Can't wait. >_<

2 comments:

  1. Ah iya, salah satu yang bikin lama mungkin karena frekuensi ketemuan mereka yang sangat jarang ya. *manggut-manggut

    ReplyDelete
  2. Eimb. Aslinya mah cewek juga nggak tahan lama2.
    Buktinya, Anya pas uhuk langsung ehem. *hasyah*

    ReplyDelete

Pages