Entri Populer

Tuesday 10 November 2015

Pastikan Kamu Cukup Usia Saat Membaca--Ulasan Buku Aksara Amananunna karya Rio Johan




Judul: Aksara Amananunna
Penulis: Rio Johan
Editor: Pradikha Bestari
Penerbit: KPG
Cetakan Pertama, April 2014



Buku ini berisi 12 cerpen unik karya Rio Johan. Kalau ditanya kesamaan semua karyanya, secara garis besar adalah kemampuan penulisnya menyeret pembaca menuju dunia rekaannya. Seaneh apa pun kedengarannya—atau kelihatannya—pembaca bisa dibuat terbawa bahwa dunia itu benar-benar ada. Sehingga, ketika berakhir, kita baru sadar bahwa sedang berada dalam dunia fiksi.


Beberapa cerpen pertama dalam buku ini setipe, menawarkan dunia tak terbayangkan dengan akhir yang tidak mudah dilupakan. Undang-Undang Antibunuhdiri, cerpen pembuka, termasuk salah satunya.

Dibanding cerpen-cerpen lain, Aksara Amananunna menurut saya malah biasa aja—typo-nya yang luar biasa. Sama seperti Pisang Tidak Tumbuh di Atas Salju. Tapi, yang disebutkan terakhir masih memberi pengajaran bahwa tidak apa-apa mengambil tindakan yang tidak sebagaimana umumnya. “Apa Iya Hitler Kongkalikong dengan Alien?” menurut saya malah seperti lelucon. Ending-nya tidak semenarik cerpen-cerpen lain, seperti Tidak ada Air untuk Mikhail, misal.

Kevalier D’orange tentang kekuatan gunjingan. Orang-orang penasaran dengan jenis kelamin Kevalier D’Orange. Dia seorang Kevalier, loh. Sudah memimpin banyak pertempuran dan menang. Masak, sih, cewek? Tapi, dia misterius banget, loh. Kamarnya nggak boleh dimasukin siapa pun dan mukanya kelewat cantik buat seorang cowok. *lalu teringat cowok-cowok cantik Korea* Hal yang awalnya lelucon menjadi serius. Masalahnya, ditanya pun nggak mau jawab yang serius. Jadi, sebenarnya dia cewek atau cowok? (˘ε ˘)
Temukan jawabannya di akhir cerpen.

Ginekopolis merupakan imajinasi yang ruwet. Seandainya dunia didominasi wanita saja, atau pria saja, seperti apa jadinya? Saya membayangkan lingkup dunia yang lebih kecil saat membaca cerpen ini. Seperti rumah tangga. Siapa yang lebih mendominasi, dan bagaimana jadinya?

Ketika Mubi Bermimpi Menjadi Tuhan yang Melayang di Angkasa juga menarik. Sebenarnya, kamu sedang bermimpi atau tidak saat ini? Kadang, saat mimpi lebih indah dari kenyataan, kita jadi memilih lebih meyakini mimpi.

Ada tiga cerpen khas yang menyentil tentang dunia seksualitas yang mungkin belum kita ketahui dalam buku ini. Komunitas, Riwayat Benjamin, dan Robbie Jobbie. Saya juga cuma pernah tau segelintir. Misal, kalau ada orang-orang yang suka melakukan hal-hal dalam Komunitas, walau nggak kebayang bakal ada yang menampung dan memfasilitasi sebegitunya. Riwayat Benjamin langsung mengingatkan saya pada adegan sebuah film—yang sayangnya saya lupa judulnya—karena adegannya sama-sama dari belakang *lah* dan di taman cenderung kebun sekitar rumah zaman dulu *et buset*. Efeknya bagi yang melihat pun sama-sama besar. Saya sudah curiga dari awal, sih. Waktu saudagar itu mengelus2 pipi Benjamin. Hih! Nah, kalau yang Robbie Jobbie, saya bener-bener baru tau kalau ada model orang yang menikmati beginian. Ending-nya logis, nih.  Saya suka ketiganya…tapi ini nggak mau dikasih tulisan peringatan 21+ gitu, tah?

Saya menulis semua itu sebelum membaca cerpen terakhir, Susanna, Susanna!.

Begini, masing-masing orang memiliki tahapan untuk mencerna sebuah kisah. Dan masing-masing orang memiliki tahapan-tahapan juga untuk dapat mengambil hikmah dari sebuah kisah. Dan kisah yang terakhir ini bisa saya cerna tapi tidak bisa saya tangkap hikmahnya. Buat yang tertarik dengan isu LGBT, kisah ini mungkin menarik. Bagi saya, terlalu seronok. Seperti membaca stensilan—atau menonton AV, yang bukan biasanya pula—pada beberapa bagian. Dan ending-nya pun hanya seperti itu. Saya tidak suka. Apalagi, di tengah-tengah persidangan, ada adegan dagelan antara pelacur dan Pak Hakim. Tentu saja, setting sosialnya dipilih kalangan pelaut, yang terkenal serampangan, dan setting waktunya juga memungkinkan adegan itu, mungkin. Tapi, tetap saja, cerpen terakhir ini tidak memberi banyak hikmah atau pemikiran baru atau pemikiran lain, setidaknya bagi saya.

Dan, kenapa cerpen itu masuk ke dalam kumcer ini? Jika tiga cerpen sebelumnya masih bisa saya maklumi—dan saya bahkan menyarankan peringatan 21+—tapi tidak dengan cerpen ini. Saya tau ada yang suka dengan cerita model demikian, tapi bukankah biasanya sudah ada warning, semacam penanda, bahwa isinya akan demikian? Kumcer ini, yang diterbitkan KPG, seakan berbicara tentang karya sastra umumnya, berbicara kritik sosial dan semacamnya. Mungkin ada kritik terselip dalam cerpen terakhir, tapi… bagi saya, sudah keburu tenggelam dalam lautan berahi yang dipaparkan demikian gamblang.

Saya jadi teringat, sebagian orang tua masih melarang anak-anak mereka untuk membaca komik atau bahkan novel. Karena tidak berguna, atau bahkan bisa membentuk kepribadian yang buruk. Awalnya, bagi saya tidak masuk akal pemikiran demikian. Tapi…, sebenarnya tentu saja ada benarnya. Tergantung, bacaan seperti apa yang dilahap anak-anak Anda? Apakah sudah sesuai dengan umurnya, atau mungkin lebih tepat jika dikatakan, apakah sudah sesuai dengan daya tangkapnya?

Pada usia tertentu, hal-hal yang diterima otak demikian meraja, salah satunya dari lagu, bacaan, game, pola pikir kawan, dan sebagainya. Jika…, jika buku ini dibaca oleh anak yang belum paham…saya hanya khawatir. Karena, rasa penasaran biasanya berkuasa pada jiwa anak muda.

Mengenai penilaian, sejujurnya, typo yang muncul seharusnya tidak sepanen ini pada buku terbitan penerbit sekaliber KPG membuat saya mengurangi satu bintang. Apa editornya nggak fokus karena terlarut dalam ceritanya? *halah* Jadi, bukan salah penulis sepenuhnya mungkin, tapi tetep aja, yang saya nilai adalah wujud buku yang saya pegang, dan typo termasuk di dalamnya. Bukan typo-typo sederhana saja. Kalau nggak percaya, baca, deh. :D

Ditambah cerpen terakhir, membuat saya langsung menurunkan satu bintang. Cerpen serupa ini memang bukan selera saya. Seperti saya yang sampai saat ini belum sanggup membaca tuntas Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan karena terlalu banyak adegan hosh hosh *istilah apa pula ini* di awal... cuma kuat sekitar 100-an halaman. 


Padahal, biasanya saya satu selera dengan Mas Dion, tapi ternyata pendapat kami kali ini berbeda. Jika menurutnya cerpen terakhir paling menarik, bagi saya justru paling nggak, deh. 


Kalo menurut kamu?
Etapi..., pastikan kamu sudah cukup dewasa untuk membaca.


No comments:

Post a Comment

Pages