Entri Populer

Friday 13 September 2013

Senyum Karyamin (Ahmad Tohari)


Judul     : Senyum Karyamin
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia
Halaman: 73 halaman


 
sumber: bp.blogspot.com
Ahmad Tohari penulis yang memiliki kekhasan dari sisi tokoh dan setting. Dia selalu mengambil tokoh dari kalangan ekonomi menengah ke bawah (begini, kan, istilah umumnya?) dengan setting pedesaan yang kuat. Novel triloginya, Ronggeng Dukuh Paruk; Catatan buat Emak, Jantera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Hari yang kemudian diterbitkan ulang dalam bentuk satu buku: Ronggeng Dukuh Paruk telah difilmkan dengan judul Sang Penari.
 Buku ini berisi 13 cerpen ini Ahmad Tohari dari berbagai media, hasil pengumpulan oleh Maman S. Mahayana. Dan pada bagian akhir ada ulasan mengenai cerpen-cerpen di dalamnya oleh Sapardi Djoko Damono. 

Mungkin bagi yang tidak mengerti bagaimana kehidupan pedesaan, kumpulan cerpen ini akan terkesan berlebihan. Tohari mengajak kita melihat kehidupan rakyat kecil dari sudut pandang rakyat kecil. Jangankan memikirkan mau membangun rumah berdinding batu, mereka terlalu sibuk memikirkan hendak makan apa hari ini. *Ya, sudah saya bilang, mungkin terkesan berlebihan. Tapi, sebenarnya tidak. 

            Sebagian tokoh yang bernasib tragis bukan pengangguran, bukan pula pemalas. Tapi seolah keadaan yang memaksa mereka untuk berada di posisi itu. Membuat saya berpikir bahwa inilah alasan orang tua saya berkata agar kami, anak-anaknya, mau belajar dengan keras. Agar tidak perlu kerja fisik yang berat dan dapat dengan mudah digantikan orang lain. Seperti tokoh-tokoh di kumpulan cerpen ini.

          Saya tidak memiliki pengalaman hidup di pedesaan. Hanya melihat dari jauh. Tipe anak penurut yang jika dibilang jangan ke sawah maka saya tidak ke sawah… *begitulah* Tapi, kehidupan mereka juga nggak jauh-jauh amat. Tapi, setidakpengalaman apa pun Anda dengan kehidupan pedesaan, pasti ada tetangga, orang di pasar, di jalan, yang akan teringat oleh pembaca ketika membaca buku ini. 


           Membuat kita berpikir-pikir, mungkin… hidup mereka juga begitu. Mungkin…, orang gila itu seperti si Sulam (cerpen “Wangon Jatilawang”). Dan saya adalah salah satu dari orang-orang yang (kadang otomatis) berjengit ketika berpapasan dengan  orang seperti Sulam. Tak mau berdekatan, apa lagi menerimanya sebagai tamu di rumah. Ada banyak alasan yang bisa kita sampaikan. Bau, jorok, kotor, ngeri, takut mengamuk, bodoh, bebal, bikin malu, dan lain sebagainya. Percuma diberi pakaian, akan segera kotor. Percuma diajak bicara, tidak akan nyambung. Percuma diberi tahu, pasti akan mengulang kesalahan yang sama. Tak akan mempan diberi tahu. Diamkan saja. Jauhi.
Tapi…, bagaimana jika mereka kebetulan lahir di lingkungan keluarga kaya? Yang pasti, masalah kotor, bau, dan jorok kemungkinan sangat jauh berkurang. Sekotor apa pun, akan selalu ada pembantu yang menggantikannya dengan baju yang bersih. Dan bagaimana jika “gila” itu hanya perkara kelebihan kromosom (seperti yang baru2 ini saya lihat di foto fb). Apakah terdengar lebih bermartabat dan membuat kita lebih mau berbaur? 

          Begitu. Memang panjang sekali pikiran saya melantur hanya dari sebuah cerpen. 

Meskipun yang saya jadikan contoh adalah cerpen “Wangon Jatilawang”, cerpen favorit saya di buku ini adalah “Senyum Karyamin”, “Surabanglus”, “Syukuran Sutangbawor”, dan  “Blokeng”. 

Membaca Senyum Karyamin itu… seperti tertampar. saya rasa, aparat pemerintahan mulai dari RT, RW, dan selanjutnya ke atas, sebaiknya membaca cerpen ini. Saya yakin, ada banyak Karyamin di luar sana. Bahkan di lingkungan pedesaan yang dikenal dengan sosialisasi yang baik. Ehm, maksud saya, selalu mengetahui perkembangan terkini mengenai tetangga-tetangganya, lalu mendiskusikannya. *hei, saya nggak bilang rumpi* ~..~”


         Yang sedikit mengganggu, beberapa diksi yang asing dan tidak diberi footnote. Ayolah, buku ini disebar nasional dan tidak semua orang mengerti arti kata-kata dalam bahasa Jawa. Kata seperti nganyar-anyari, mintoni, botoh, dan sebagainya. Mengganggu ritme membaca karena harus bertanya dulu atau googling tentang arti kata-kata itu.
Saya juga mendapat beberapa diksi baru yang masih jarang terdengar: rumpon dan propagandis. :D
Yang menjadi pertanyaan, kata “acuh” di naskah ini masih digunakan untuk mengganti kata “tak peduli”. Jadi penasaran. Kata acuh ini mengalami perubahan makna atau memang kekeliruan penggunaan kata acuh ini sudah sejak dulu?

 …Protes pertama dilayani dengan sikap acuh. Protes kedua dilayani dengan sorot mata yang tajam. Protes selanjutnya dilawan dengan pendekatan persuasif sehingga akhirnya tak ada protes. (p. 51)


Hhh…. Ini utang saya untuk minggu ini.
Semoga besok nggak perlu terburu-buru begini lagi. Haghaghaghaghag….
selamat membaca.
Terima kasih sudah mampir.
(^-^)n

No comments:

Post a Comment

Pages